Aura, seorang penulis amatir dari keluarga miskin, terjebak dalam novel ciptaannya sendiri. Ia bangun di tubuh Aurora, selingkuhan jahat dari cerita Penderitaan Seorang Wanita. Padahal, dalam draf aslinya Aurora direncanakan mati tragis karena HIV, sementara sang istri sah, Siti, hidup bahagia bersama second male lead. Kini, Aura harus memutar otak untuk melawan alur yang sudah ia tulis sendiri, atau ikut binasa di ending yang ia ciptakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia Z.N, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BMKG Pun Tak Bisa Memprediksi
Pengacara bernama Aditya itu berjalan dengan tatapan tajam menembus udara. Setiap langkahnya terdengar berat namun mantap, seolah lantai yang dipijaknya ikut bergetar oleh wibawanya. Orang-orang sekitar spontan menoleh, bisik-bisik kecil terdengar, tapi tak ada yang berani menatapnya terlalu lama. Dari kejauhan saja, aura maskulin penuh intimidasi sudah menyeruak, membuat suasana seolah dipenuhi tekanan tak kasat mata.
Santoso berdiri sigap, seakan tahu posisi siapa yang baru saja memasuki arena. “Silahkan duduk, Pak Aditya!” ucapnya setelah menarik sebuah bangku dan meletakkannya di meja.
Kini Aurora duduk berhadapan dengan Aditya. Tatapannya berusaha santai, wajahnya tetap datar, namun denyut di pelipisnya sudah mengkhianati keadaan otaknya yang tidak tenang.
'Astaga… kenapa justru sekarang? Otakku benar-benar tidak stabil untuk menghadapi ini…'
---
"Oh, my, oh, my God!" Divisi pertanyaan random langsung bernyanyi riang.
"This blood's pumpin' crazy!" sahut divisi ide kreatif, ikut larut dalam kekacauan.
"Oh, my, oh, my God!" Divisi pertanyaan random bernyanyi lagi, makin keras.
"Cause I know you'll save me!" balas divisi logika sebab-akibat, ikut melompat-lompat.
Divisi roasting berdiri, tubuhnya kaku, kepala tertunduk. Sekejap kemudian, ia mendongak tajam, merentangkan kedua tangan dengan gaya dramatis. Kepalanya sedikit dimiringkan, kedua kakinya menyilang, lalu satu tangannya meraba leher sendiri. Dengan penuh penghayatan, ia menirukan koreografi sambil bernyanyi lantang, "Come here and get some! Namgyeojwo on my neck Ne georan jeunggeo! Just come over and bite me!"
"Hey! Hey! Fokus!" teriak moderator otak, menghentak meja imajiner di dalam kepala Aurora. "Kalian sadar nggak kalau ini fenomena langka?! Fenomena langka dimana kita— Aku ulangi! Kita benar-benar menyukai seorang pria! Tapi waktunya sangat tidak tepat! Kalau sudah malam nanti, baru kita bikin fanfiction romantis sama pengacara tampan itu! Sekarang kembali ke masalah Siti!"
---
Suara berat dan dewasa dari Aditya menyayat kekacauan itu, menghentikan seluruh riuh imajiner di kepala Aurora seolah seseorang menekan tombol pause.
“Baiklah, jadi masalahnya soal perselingkuhan dan KDRT, ya?”
Aurora tersentak kembali ke dunia nyata. Tatapannya lurus ke depan, menatap Aditya yang kini tengah berdiskusi serius dengan Santoso.
“Benar, jadi ibu Siti ini memiliki suami yang hobi selingkuh dan KDRT,” jelas Santoso.
Aditya mendengarkan dengan penuh konsentrasi, sorot matanya menajam seperti pisau yang siap menguliti kasus. “Selalu seperti itu,” gumamnya lirih namun terdengar jelas, ada kemarahan yang ditahan di nada suaranya. “Kenapa para pria ini tidak bisa bersikap wajar seperti manusia normal pada umumnya? Dari mana mereka semua mendapatkan energi untuk melakukan semua kejahatan itu?!”
Aurora berusaha keras mempertahankan ekspresi wajahnya tetap datar, tapi ia gagal total. Dalam dirinya, gumaman pengacara itu terdengar jauh lebih romantis dibandingkan gombalan manis mana pun.
'Astaga… dia serius sekali membicarakan kasus, tapi kenapa telingaku justru menangkapnya seperti kalimat cinta?'
Jantung Aurora berdetak kencang. Setiap kali mata Aditya sedikit bergerak, setiap nada tegas keluar dari bibirnya, tubuhnya terasa bergetar halus.
'Sudah tampan, waras… beruntung sekali yang menjadi istrinya…'
Aurora menelan ludah, matanya berusaha tak beralih dari Aditya, meski pikirannya semakin kacau. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar tidak bisa fokus pada masalah orang lain. Otaknya hanya dipenuhi satu hal: rasa asing yang menyesakkan dada—jatuh cinta.
Aditya menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu mencondongkan tubuh ke depan. Tatapannya tajam, penuh ketegasan, seolah tidak ada ruang bagi keraguan.
"Baiklah, saya sudah mengerti garis besarnya," ucapnya tegas. "Ini kasus yang sangat mudah. Jika kita punya bukti kejahatan pelaku, maka kita akan—"
Aurora tiba-tiba mengangkat tangan tinggi-tinggi, menghentikan kalimat itu.
Aditya sontak menoleh, menatap lurus ke arah Aurora. Sorot matanya menusuk, penuh wibawa. "Silakan, apa yang mau anda katakan?"
"Saya bisa membantu untuk bukti perselingkuhannya! Saya punya cukup banyak bukti." Aurora cepat-cepat membuka tas branded-nya, jemarinya merogoh ke dalam dengan gerakan gugup namun penuh keyakinan. Sekilas terlihat bagaimana nafasnya memburu, matanya berbinar seolah menemukan celah kemenangan. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam tas, mencengkeramnya dengan erat seakan benda itu adalah senjata pamungkasnya.
"Baik. Terima kasih. Ini akan semakin mudah jika ada bukti berupa foto atau video perselingkuhan." Aditya mengangguk singkat, tersenyum tipis, matanya melirik penuh ketertarikan pada semangat Aurora yang meluap.
Sejenak, Aditya menatap Aurora dan Siti secara bergantian. Tatapannya dalam, penuh analisis.
'Wanita ini... yang muda itu tampak begitu berapi-api. Ada sorot antusias di matanya, terlalu menyala untuk sekadar perkara orang lain. Jika dugaanku benar, gadis itu ingin sekali agar ibunya segera bercerai dari ayah yang busuk. Dialah yang mendorong semua ini. Sementara wanita paruh baya itu… wajahnya kusut, matanya bengkak, penuh keraguan. Masih bergelayut pada kenangan, atau pada ikatan yang seharusnya sudah mati. Persetan dengan cinta dan kesetiaan! Itu semua cuma jerat yang membuat mereka jadi tawanan dalam rumah tangga sendiri.'
"Bapak-bapak sekalian, apa benar saya harus bercerai dari suami saya?" suara Siti pecah, bergetar di ujung kalimatnya. Air matanya berlinang deras, pipinya basah. "Kami sudah bersama selama kurang lebih dua puluh tahun. Saya tidak mau melepaskan suami saya. Saya juga masih punya anak-anak kecil yang masih butuh—"
Aditya mendengus tajam. Dengan gerakan mendadak, ia bangkit berdiri. Kursi bergeser keras menimbulkan suara yang membuat semua orang di sekitar menoleh. Tatapannya menusuk langsung ke arah Siti, dingin sekaligus menghantam.
"Ibu, pikirkan baik-baik!" suaranya menggelegar, tegas namun tidak kehilangan kendali. "Apa yang paling ibu takutkan dari sebuah perceraian? Takut akan status janda? Takut ucapan orang-orang sekitar? Atau takut tidak ada yang memberi nafkah?"
Siti terdiam. Tubuhnya gemetar. Tatapan Aditya seakan menelanjangi hatinya, menyingkap semua ketakutan yang berusaha ia sembunyikan.
"Tentu tidak!" Siti akhirnya bersuara dengan nada putus asa. "Kenapa anak muda seperti kalian selalu saja dengan mudah menyarankan perceraian! Pernikahan adalah komitmen! Tidak bisa—"
"Ibu tahu bahwa pernikahan adalah komitmen," potong Aditya tajam, suaranya merendah namun menghantam lebih kuat. "Dan pernikahan dilakukan oleh dua orang. Jadi kenapa hanya satu orang yang menjaga komitmen, sementara yang lain melanggar?"
Siti membeku. Bibirnya bergetar, tetapi tak ada kata keluar. Kata-kata Aditya memukulnya lebih keras dari apapun.
"Marahi dia, pak pengacara!" Aurora menyahut dengan semangat, seolah menyalakan api yang sudah mulai membakar ruangan. Ia menyodorkan ponselnya ke arah Aditya dengan penuh antusias. "Ini bukti perselingkuhannya, pak pengacara!"
"Terima kasih," ucap Aditya singkat. Ia kembali duduk dengan tenang, kontras dengan ledakan emosinya barusan. Tubuhnya condong ke depan, menunduk untuk melihat layar ponsel Aurora.
Namun sesaat setelah matanya menangkap foto di layar itu, ekspresinya berubah. Sorot matanya membesar, alisnya terangkat, dan rahangnya mengeras.
Apa yang ia lihat membuatnya terperanjat. Seorang pria paruh baya… dan seorang gadis muda. Gadis itu—persis seperti wajah Aurora sendiri.
Aditya mengangkat pandangannya, menatap Aurora dengan tajam, dingin, dan penuh tanda tanya. "Jadi," ucapnya perlahan, suaranya menekan, "selingkuhannya adalah anda sendiri?"
Aurora terkekeh pelan. "Wah siapa sangka! BMKG pun tak bisa memprediksi."