Gendhis Banuwati, wanita berusia 20 tahun itu tidak percaya dengan penyakit yang dialami sang Ayah saat ini. Joko Rekso, dinyatakan mengalami gangguan mental, usai menebang 2 pohon jati di ujung desanya.
Hal di luar nalar pun terjadi. Begitu jati itu di tebang, darah segar mengalir dari batangnya.
"KEMBALIKAN TUBUH KAMI KE TEMPAT SEMULA!"
Dalam mimpi itu, Pak Joko diminta untuk mengembalikan kayu yang sudah ia tebang ke tempat semula. Pihak keluarga sempat tak percaya. Mereka hanya menganggap itu layaknya bunga tidur saja.
Akan tetapi, 1 minggu semenjak kejadian itu ... Joko benar-benar mendapat balak atas ulahnya. Ia tetiba menjadi ling lung, bahkan sampai lupa dengan jati dirinya sendiri.
2 teman Pak Joko yang tak lain, Mukti dan Arman ... Mereka juga sama menjadi gila.
Semenjak itu, Gendhis berniat mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan tempat yang di juluki dengan TANAH KERAMAT itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jati Keramat 10
Sementara Bu Asih. Ia sejak tadi hanya diam. Benar ia saat ini sedang duduk. Namun jiwanya sekaan tertinggal, tidak rela dengan hal yang baru ia terima. Sorot mata itu melemah menahan luka. Batinya terkoyak, sulit sekali untuk di jabarkan dengan kalimat.
Apa aku akan kuat? Apa aku akan mampu? Hal semacam ini, kapan berakhirnya? Kalimatnya tertahan, hingga menumbuhkan sesak yang tak berkesudahan.
"Bu ... Kalau lapar, kita mampir makan siang dulu?!" Ucap Nandaka memandang lamunan Bu Asih dari kaca di depanya.
Bu Asih tersadar. Ia memfokuskan matanya ke depan. Lalu menjawab, "Nggak usah, Nda! Ibu masih kenyang. Kita pulang saja!" Tolaknya dengan lembut.
Nandaka mengangguk. Lalu sedikit menambah kecepatannya untuk segera pulang.
Pukul 12 lebih, keluarga Pak Lurah baru tina di desa Sendang Wangi.
Begitu melewati gapura yang sudah bersih itu, Nandaka mengedarkan mata, kala tempat itu sudah sepi. "Sudah selesai kerja baktinya." Ucapnya sendiri.
Bu Asih juga ikut bahagia melihat Desanya tampak bersih, "Ya ... Mungkin sudah pada pulang, Nda. Ini sudah jam 12. Dan sudah waktunya sholat, istirahat." Sahutnya.
Dan tak lama itu, mobil Pak Woyo sudah berbelok memasuki halaman rumah joglonya. Dan sama seperti biasa, ke senyapan mulai menjalar dalam darah Bu Asih kala memandang rumah suaminya itu.
***
"Buk, bagaimana keadaa Bapak?"
Gendhis baru saja pulang, setelah mengantarkan Nita ke rumah Buleknya, Wina.
"Badanya tiba-tiba demam, Ndis! Kecapean mungkin." Bu Siti baru saja keluar sambil membawa baskom air.
"Tadi Mas Arman pingsan, Bu, saat kerja bakti. Ini tadi Gendhis habis dari rumah Mbak Wina." Kata Gendhis lagi, sambil menyibak korden kamar Ayahnya.
Bu Siti tersentak. Ia urungkan niatnya ke belakang. "Lha terus, di bawa kemana sekarang?"
"Di Puskesmas, Bu!"
Gendhis kini sudah menutup kembali korden kamar ayahnya. Setelah meminum ramuan obat-obatan, kini Pak Joko terlelap dalam tidur.
***
Hari silih berganti dengan cepat. Ta terasa, 1 minggu sudah sakit yang di derita Pak Joko, dan Arman. Niat hati hari ini Mukti ingin menjenguk Iparnya itu. Karena rumah mereka agak jauh, jadi Mukti menggunakan sepedanya.
Menuju rumah Pak Joko, Mukti harus melewati jembatan kayu, yang di bawahnya terdapat sungai mengalir begitu jernih. Sungai itu tida begitu lebar, juga tidak terlalu kecil. Di pojok jembatan terdapat pohon beringin yang merebat begitu besar.
Masih pukul 5 sore, namun keadaan Desa sudah terasa sunyi. Mukti menghentikan sepedanya. Dari arah sebrang sungai, terdapat kabut pekat, hingga membuat darah Mukti mengalir cepat. Suara kicauan burung hampir tak terdengar dalam pendengarannya. Angin tampak malu bersenandung, hingga suasana tiba-tiba terasa mencekam.
"Loh ... Ini jembatannya kok nggak ada? Ini benar apa nggak, sih?" Mukti menyandarkan sepeda bututnya pada tubuhnya, lalu mengucak matanya dengan kuat.
Ia buka kembali matanya, namun tetap saja jembatan itu tidak ada. Entah datangnya dari mana, tiba-tiba banjir bandang memenuhi aliran sungai itu. Sehingga, air yang semula jernih, kini berubah keruh bewarna coklat.
"Wah ... Ini sudah nggak benar! Aku harus cepat pulang," Mukti membelokan sepedanya, lalu segera melenggang dari sana.
Hampir 1 jam menggayuh, lagi-lagi Mukti berhenti di dekat pohon beringin itu. Dan bukan hanya itu, jembatan itu juga tidak ada disana.
Mukti terpaku. Ia merogoh jam tangan kunonya. Seharusnya saat ini sudah memasuki waktu magrib. Namun tidan ada suara adzan yang terdengar.
Merasa lelah, Mukti memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya. Ia bersandar di bawa pohon besar tadi. Sayup-sayup, Mukti mendengarkan suara gamelan jawa bersenandung. Tidak hanya itu, sura gong beserta penyanyinya sinden, kini memekik gendang telinganya.
DENG!!
DENG!!!
Mukti semakin di buat nyenyak dalam tidurnya, seolah ada seseorang yang mengelus rambutnya serta mengipasi tubuhnya dengan lirih.
Dan tepat jam 9 malam, Mukti di nyatakan hilang.
Mbak Niken sudah menangis frustasi di rumah Iparnya, Bu Siti. Ia semakin terisak, kala beberapa orang tampak nihil mencari Mukti.
"Apa kamu salah dengar, Ken? Mungkin saja Mukti pergi ke rumah temanya di kecamatan?!" Meski wajahnya tak kalah cemas, Bu Siti mencoba mengusap pundak Iparnya dengan kasar.
"Nggak, Mbak! Pamitnya saja mau jengukin Mas Joko! Kok disini juga nggak ada." Isakan tangis Niken semakin menjadi.
"Sudah, kita tunggu Gendhis sama Nita pulang dulu. Dia sama pemuda kampung sedang ke ujung desa. Ya ... Siapa tahu Mukti lagi ngobrol di sana." Timpal kembali Bu Siti.
Sementara di lain tempat, kini para pemuda desa Sendang sedang melakukan pencarian di ujung desa. Yanto dan Bima berhenti di rumah Lurah Woyo untuk memberi kejadian itu.
Tok!! Tok!!!
"Permisi, Pak Lurah ....!" Seru Yanto dari luar.
Dan tak lama, pintu tiba-tiba tebuka.
Kriett ...!!!
Eyang wuluh sudah berdiri di tengah-tengah ruangan dengan penampilanya yang menyeramkan. Rambutnya ia biarkan terurai putih, kain jarik yang warnanya pudar, lalu atasan kebaya hitam yang menempel.
Yanto dan Bima saling tatap. Meski rasa takutnya lebih besar, namun berita hilangnya Mukti harus segera tersampai pada Pak Lurah.
Tubuh kedua pria itu sontak saja meremang, bahkan hawanya kini mendadak panas sekali.
"Cari siapa?" Akhirnya Eyang wuluh membuka suara.
"Pak Lurah, Eyang!" Baru saja bilang seperti iru, Nandaka tiba-tiba muncul dari ruang samping. Dan fokus mereka berdua tertaut pada pria muda itu.
"Ada apa, Mas Yanto, Mas Bima?" Nandaka sudah berdiri didepan kedua pria tadi.
Namun ketika Yanto dan Bima menoleh kembali, tiba-tiba Eyang Wuluh sudah menghilang di tempatnya.
Deg!!!
Mereka berdua kembali saling tatap.
"Ada apa, Mas? Kok kayak bingung?" Tegur Nandaka mengeryitkan dahi.
"Itu ... Eyang kemana? Tadi berdiri di sana, Mas Nanda?!" Kata Yanto sambil menunjuk ke arah belakang Nanda.
Nanda reflek menoleh. Ia semakin memicingkan matanya, "Eyang saja ada di ruang samping baru saja selesai di pijet Bapak!" Sahutnya. "Sebentar, tadi Mas Yanto mau bilang apa?"
Yanto maupun Bima mencoba mengenyahkan pikiran negatif itu. "Itu, Mas Mukti hilang, Mas Nanda! Sejak pukul 5 sore sampai sekarang belum pulang! Padahal ini sudah pukul 9 lebih!"
Nandaka tersentak. Sorot matanya berubah kuat, "Ya sudah, ayo kita cari sama-sama, Mas! Sebentar, saya mau bilang sama Bapak dulu."
Kedua pria tadi langsung pergi dari rumah Lurah.