Kenziro & Lyodra pikir menikah itu gampang. Ternyata, setelah cincin terpasang, drama ekonomi, selisih paham, dan kebiasaan aneh satu sama lain jadi bumbu sehari-hari.
Tapi hidup mereka tak cuma soal rebut dompet dan tisu. Ada sahabat misterius yang suka bikin kacau, rahasia masa lalu yang tiba-tiba muncul, dan sedikit gangguan horor yang bikin rumah tangga mereka makin absurd.
Di tengah tawa, tangis, dan ketegangan yang hampir menyeramkan, mereka harus belajar satu hal kalau cinta itu kadang harus diuji, dirombak, dan… dijalani lagi. Tapi dengan kompak mereka bisa melewatinya. Namun, apakah cinta aja cukup buat bertahan? Sementara, perasaan itu mulai terkikis oleh waktu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann Rhea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tentang Aura
Wajah lelaki itu tetap dingin meski semua mata kini tertuju padanya. Aura gemetar, napasnya memburu, sementara Gea sudah tertegun melihat ekspresi kaku Nadeo.
"Aku hanya ingin mengingatkan kalian," ujar lelaki itu perlahan, suaranya berat, menekan udara. "Tentang siapa sebenarnya Aura."
Aura melangkah mundur, tubuhnya kaku. "Berhenti..." bisiknya lirih.
Namun lelaki itu tersenyum miring, getir. "Dia... adalah perempuan yang dulu kujadikan istriku. Perempuan yang kuterima meski dipaksa keluarganya menikah denganku. Aku mencintainya, lebih dari hidupku sendiri."
Kenziro, Lyodra, bahkan Gea membeku.
Lelaki itu mendekat, matanya menatap Aura lurus-lurus, begitu dalam, penuh luka yang selama ini terkubur. "Tapi apa yang dia lakukan? Dia kabur di malam pernikahan kami. Menghilang... meninggalkanku dalam kehinaan, sementara aku... tetap menunggu, bertahun-tahun."
Aura merasa dadanya pecah. "Gue.. gue punya alasan—"
"Alasan?" lelaki itu tertawa pahit. "Alasan apa yang bisa membenarkan menginjak hati seseorang yang mencintaimu dengan seluruh jiwanya?"
Hening. Tegang. Tak seorang pun berani bersuara.
Lelaki itu lalu mengangkat sesuatu dari dalam sakunya, sebuah foto usang pernikahan mereka, dengan Aura bergaun putih, tatapannya kosong. Ia menatap semua orang. "Kenali siapa yang selama ini kalian percayai."
Aura membeku, mata berkaca-kaca. "Lo... lo nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Lelaki itu menunduk sejenak, lalu tatapannya berubah tajam. "Oh, aku tahu... semua."
Aura yang sedari tadi menghindari tatapannya kini tampak pucat. Untungnya resto kali ini sedang sepi pembeli. Hanya saja ia gelisah dirinya di kuliti.
"Aku pikir kamu akan tetap menyangkal, Aura," suara lelaki itu berat, dalam, tapi menyakitkan. "Tapi sampai kapan kamu mau sembunyi dari masa lalu kita?"
Aura meremas gaun di pangkuannya. "Berhenti bicara atau gue robek mulut lo."
Namun lelaki itu tersenyum miris, matanya tak lepas dari Aura. "Mereka semua berhak tahu. Kau—istri sahku, yang kabur di hari pernikahan kita. Aku menunggu... bertahun-tahun. Dan ternyata kamu—" ia menoleh ke Nadeo dan Kenziro. "Menikmati hidup seolah tak terjadi apa-apa."
Meja berguncang ketika Aura berdiri dengan napas tersengal. "Diam!" serunya, tapi air mata sudah menetes.
Kenziro terlihat terkejut, Lyodra menutup mulutnya, dan Gea... Gea justru menunduk, wajahnya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam.
Lelaki itu mendekat satu langkah, lalu berkata pelan, namun terdengar jelas ke seluruh ruangan. "Aku masih mencintaimu, Aura. Tapi kau harus bertanggung jawab atas bayi kita yang tak pernah lahir."
Keheningan membeku. Aura hampir terjatuh, kursi berguling jatuh ke lantai. Semua terhenti dan di luar jendela, petir menyambar seakan langit pun ikut marah.
"Karena gue gak mau jadi istri kedua!"
"Jadi... ini alasan kamu kabur, Aura?" ucapnya lirih, namun setiap kata seperti cambuk. "Kamu tinggalkan pernikahan kita, membawa lari semua aset yang sudah aku percayakan, lalu berpura-pura jadi gadis bebas yang bekerja keras dari nol?"
Aura memucat. Jemarinya bergetar di bawah meja. "Lo... seharusnya tidak di sini," desisnya.
Pria itu tersenyum miring, getir. "Aku di sini untuk mengembalikan namamu dan merusak kedokmu sekaligus. Kepala Keuangan yang kamu tipu sampai bangkrut… aku sudah melunasi kerugiannya. Semua. Atas namamu."
Gea yang duduk di sudut ruangan terperanjat, hampir tak percaya. "Aura… lo udah nikah? Lo… bohongin kita semua? Seriusan lo sejahat itu manipulatif orang lain."
Aura menatap Gea dengan mata basah, kemudian beralih pada pria itu. "Gue gak sanggup, gue keberatan jadi istri kedua dan harus ngurus istri tua lo yang sakit-sakitan itu!" serunya akhirnya, meledak.
Hening. Kalimat itu meluncur seperti bom yang meledakkan segala kedok.
Pria itu terdiam sejenak, lalu menatap Aura dengan tatapan sakit yang ditahan. "Jadi… selama ini alasanmu kabur hanya karena aku sudah menikah… sebelum kita dijodohkan? Kau bahkan tak tahu… aku menceraikannya sehari sebelum akad kita, hanya untukmu."
Aura terdiam, wajahnya pucat. Selama ini ia selalu berlari dari kenyataan, bersembunyi di balik topeng ambisi.
Pria itu menatapnya tajam, matanya memerah menahan marah sekaligus luka. "Aku relain semua, Aura. Nama baikku, bisnis keluargaku, bahkan diriku sendiri demi kamu. Dan kamu kabur cuma karena... gengsi?"
Gea yang sejak tadi terpaku, akhirnya bersuara lirih, "Jadi... semua ini cuma permainan buat lo, Ra?"
Aura menggertakkan gigi, air mata hampir jatuh tapi gengsinya menahan, "Gue nggak mau hidup di bawah bayangan wanita lain. Gue pengen jadi satu-satunya!"
Pria itu mendekat, suara bergetar, "Sekarang kamu satu-satunya... dia sudah meninggal sekarang. Tapi harga yang kamu bayar udah menghancurkan kita semua."
Aura terpaku. Kata-kata lelaki itu menusuk dadanya lebih tajam daripada belati. Suaranya berat, dalam, dan mengandung getir yang sulit dijelaskan.
"Kamu pikir kamu bisa lari dari apa yang sudah disepakati, Aura?" Lelaki itu mendekat, tatapannya tajam, nyaris mengintimidasi. "Sebelum kita sempat menikah, kamu kabur. Kamu tinggalkan aku, harga diriku, dan semua yang sudah aku korbankan untukmu."
Aura mundur selangkah, tangannya bergetar. "Gue... gue nggak pernah mau pernikahan itu. Gue cuma..."
"Cuma apa? Cuma memutuskan segalanya sepihak? Cuma menghancurkan hidup orang yang sudah bertaruh segalanya buatmu?" suara lelaki itu meninggi. "Aku ditertawakan, keluargaku dipermalukan, dan aku… tetap bertahan. Bertahan karena kupikir kamu hanya butuh waktu. Tapi apa balasannya? Kamu hilang. Kamu anggap aku tak berarti!"
Aura merasakan tenggorokannya tercekat. "Gue... takut. Gue nggak mau dipaksa menikah waktu itu. Gue mau hidup sendiri."
Lelaki itu menatapnya lama. Senyumnya tipis, sinis, tapi sarat luka. "Dan sekarang kamu akan menanggung harga dari keputusan itu, Aura. Kamu akan kembali padaku. Bukan karena cinta tapi karena aku akan pastikan kamu merasakan sakit yang sama seperti yang kamu berikan padaku."
Aura merasakan dunia di sekelilingnya runtuh. Lelaki yang dulu hanya ia kenal sebagai calon suami yang dingin dan diam, kini berdiri di hadapannya sebagai badai yang siap menghancurkannya.
"Tolong siapapun tolong gue!" jeritnya ketika tangannya mulai dipegang pria itu.
Pria itu menepuk bahu Kenziro. "Maaf ya udah bikin kacau. Tapi thanks, gue udah cari dia lama."
Aura tertegun. Nafasnya tercekat, tubuhnya membeku di hadapan tatapan pria itu. Ruangan yang tadinya riuh mendadak hening. Semua mata tertuju pada mereka.
"Sudah cukup kamu kabur-kaburan dengan gangguan jiwa mu itu!"
Aura menggeleng. "Gue gak gangguan jiwa lo yang sinting. Kita gak pernah ada hubungan. Inget itu woi."
"Kita sudah menikah sayang jadi ayo pulang," ucap pria itu pelan, namun cukup nyaring untuk terdengar semua orang. Suaranya tenang, tapi di baliknya tersimpan bara.
Aura menatapnya tajam. "Lo bohong. Gue gak pernah nikah sama lo!"
Pria itu tersenyum miring, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya selembar kertas tebal dengan cap resmi. "Ini surat nikah kita. Kamu udah pastiin semuanya sah di mata hukum. Kamu gak bisa kabur, Aura."
Aura merasakan lututnya lemas. Itu nggak mungkin. Dia ingat jelas bagaimana dia kabur sebelum hari pernikahan. Bagaimana mungkin?
Pria itu mendekat, meraih dagunya dengan kasar. "Kamu pikir bisa mainin aku lagi? Hancurin harga diri aku di depan semua orang? Kamu bakal aku bawa pulang malam ini, dan aku pastiin kamu ngerti arti jadi istri aku."
Aura berontak, air matanya mulai menggenang. "Lepasin! Gue nggak akan pernah jadi milik lo!"
Pria itu terkekeh, dingin. "Sayang… kamu udah jadi milik aku sejak lama. Kamu cuma belum sadar."
Semua orang di ruangan itu menatap Aura dengan tatapan campur bingung dan prihatin. Pria itu berdiri di tengah, tenang tapi tajam.
"Kalian juga harus tahu," katanya dengan suara lantang. "Selama ini Aura menunjukkan perilaku yang… tidak stabil. Emosinya sering meledak-ledak, kadang terlalu dramatis, kadang manipulatif. Ini bukan kebetulan." Ia tersenyum miring ke perempuan itu.
Aura membuka mulut, hendak membantah, tapi pria itu memotongnya.
"Diam. Semua yang terjadi bukan salah kalian, tapi kalian harus melihat fakta. Dia mudah tersinggung, terlalu cepat marah, dan selalu mencari perhatian. Kalian lihat sendiri, kan? Semua itu tanda… gangguan kepribadian."
Seorang pegawai menunduk, ragu. "T-tapi… selama ini dia terlihat normal, Pak…"
Pria itu mencondongkan tubuh, matanya tajam. "Profesional? Hanya di depan kalian. Tapi di balik itu, lihat caranya menekan orang, memanipulasi situasi, membuat kalian merasa bersalah. Itu ciri khas seseorang dengan gangguan histrionic personality. Bukan tuduhan kosong, lihat perilakunya sendiri."
Aura menatap semua orang, matanya berbinar, ingin membantah, tapi kata-katanya tercekik. Setiap gerakan dan kata yang selama ini biasa ia lakukan, sekarang diputarbalikkan menjadi bukti bahwa ia tidak waras.
"Kamu lihat kan, semua sudah jelas." Pria itu menambahkan, suaranya lembut tapi menusuk. "Itu sebabnya selama ini dia selalu… tidak bisa dipercaya, mudah tersinggung, dan manipulatif. Pantesan dia begitu."
Mulut-mulut kecil di ruangan itu mulai bergumam, saling menatap.
"Oh… pantesan dia gitu."
"Ah… iya, sekarang masuk akal."
"Jadi selama ini kita kira dia normal, ternyata… tidak juga."
Aura terdiam. Semua mata tertuju padanya, masing-masing menilai, menghakimi, dan mempercayai versi cerita pria itu. Ia mencoba bicara, tapi suaranya tercekat. Sekali lagi, kata-katanya dipelintir di telinga semua orang.
Pria itu tersenyum tipis, puas. "Sekarang, kalian paham. Dan semua keputusan kalian… akan lebih mudah dibuat jika kalian tahu fakta sebenarnya."
Aura menatapnya, matanya penuh api, ia tahu ini baru permulaan.
--✿✿✿--
Aura duduk di pojok ruangan, diam, tapi matanya menyala. Semua orang mengira ia terdiam karena takut atau kalah, padahal pikirannya bekerja cepat, menenun strategi dari setiap kata yang terlontar.
Pria itu tersenyum puas, yakin bahwa semua orang sudah percaya versi ceritanya. Namun Aura, di balik penampilan tenangnya, tersenyum tipis, senyum yang hanya ia sendiri yang mengerti artinya.
"Biarkan mereka berpikir gue gila," gumamnya pelan. "Kalau mereka sudah lengah, semua langkah gue akan sempurna."
Ia tahu, orang-orang sekarang akan menyepelekan dirinya. Mereka akan menganggap semua ide dan perkataan Aura hanyalah omongan orang dengan gangguan histrionic. Itu artinya, semua yang ia lakukan sekarang bisa bergerak di balik bayangan.
Satu demi satu, ia mulai menyusun rencana: siapa yang harus didekati, siapa yang harus diperalat, dan siapa yang harus dijauhkan. Dari posisi yang seakan tak berdaya ini, Aura akan membalikkan keadaan.
Pria itu menoleh kepadanya, senyum masih menempel di wajahnya, tapi Aura sudah memetakan titik lemah, ia tahu bahwa dalam sekejap, semua yang ia perdebatkan di masa lalu akan jadi senjata.
"Biarkan mereka semua percaya gue gila," bisik Aura pada dirinya sendiri, matanya menatap langsung ke pria itu. "Tapi tunggu saja… semua yang kalian remehkan akan menjadi kehancuran bagi kalian sendiri."
Mata Aura menatap sengit ke pria yang tengah menyiapkan obat. Lalu menyuruhnya meminumnya secara paksa. Padahal Aura yakin dirinya tidak sakit.
Akhirnya setelah obat itu berhasil ditelan, Aura tertidur sangat pulas.