sesekali kamu harus sadar kalau cowok cool, ganteng dan keren itu membosankan. lupakan kriteria "sempurnah" karena mereka tidak nyata.
hal - hal yang harus diketahui dari sosok pian :
1. mungkin, sedikit, agak, nggak akan pernah ganteng, cool, apalagi keren. bukan berarti dia jelek
2. nggak pintar bukan berarti dia bodoh
3. aneh dan gila itu setara
4. mengaku sebagai cucu, cucu, cucunya kahlil gibran
5. mengaku sebagai supir neil armstrong
6. mengaku sebagai muridnya imam hanafi
7. menyukai teh dengan 1/2 sendok gula. takut kemanisan, karena manisnya sudah ada di pika
8. menyukai cuaca panas, tidak suka kedinginan, karena takut khilaf akan memeluk pika
9. menyukai dunia teater dan panggung sandiwara. tapi serius dengan perasaannya terhadap pika
10. menyukai pika
ada 4 hal yang pika benci didunia ini :
1. tinggal di kota tertua
2. bertemu pian
3. mengenal sosok pian, dan....
4. kehilangan pian
kata orang cinta itu buta, dan aku udah jadi orang yang buta karena nggak pernah menghargai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fchrvlr0zak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PIAN BERULAH
Saat jam istirahat kedua dimulai. Selesai menunaikan ibadah salat zuhur bersama teman-temannya-dan tentu saja musalah kembali diramaikan dengan kehadiran Pian.
Untungnya, kali ini dia tidak bikin masalah. Pian salat dengan tenang. Hanya saja Pian tetap menjadi cowok yang super duper menyebalkan bagi Pika. Apalagi ketika mengambil air wudu. Pian sengaja menyenggol Pika sampai-sampai si Pika jadi harus mengambil wudu lebih dari sepuluh kali.
"Pik, kamu udah pilih ekstrakurikuler belom?" selesai salat, Dayat yang kebetulan menjabat sebagai ketua kelas di kelas Pika menghampiri cewek itu-saat sedang memakai sepatu sambil duduk di kursi.
"Belum, Yat," jawab Pika lembut. Menyelipkan sejumput rambutnya yang tergerai begitu saja.
"Nih formulir untuk ekskul di sekolah kita. Wajib dipilih dan diikuti. Bebas mau pilih apa aja. Yang penting setiap hari sabtu, kamu harus ngumpul di ekskul yang kamu pilih nanti." Dayat menjelaskan sambil memberikan selembar formulir kepada Pika.
"Oh iya, Yat." Pika menerimanya.
"Nanti kalau udah diisi, kasih ke aku aja ya. Aku mau ke kelas duluan. Di sini ada setan." Dayat melirik ke sisi kanannya. Sudah ada Pian yang duduk tepat di sebelahnya sambil melongokan kepala dengan rasa ingin tahunya.
Dayat beranjak dari kursi dan segera pergi. Pian berteriak. lebih tepatnya meneriaki Dayat. "Dadah temannya Setan."
"Mau ikut ekskul apa Agen Pika?" Pian berjalan di samping Pika ketika cewek itu hendak menuju kelas.
Pika diam.
"Mau gak ikut teater. Biar aku punya pasangan. Biar kita jadi pemeran utama, menggantikan posis Romeo and Juliette." Pian mulai mengoceh.
"Enggak, makasih. Gue nggak berminat tuh, ikut teater. Takut gila."
"Takut tergila-gila sama aku maksudnya?" Kata Pian asal. "Oh ...," lalu kepalanya menoleh ke samping, berbicara dengan orang-orang yang lewat di sekitarnya. "Eh, si Pika nggak mau ikut teater. Dia takut tergila-gila sama aku. Dia takut, kalau nanti aku bisa bikin dia nyaman ada di dekatku. Dia takut kalau nanti, aku bisa bikin dia nangis karena kehilangan aku. "Mereka hanya menanggapi dengan menggelengkan kepala.
"Kamu percaya nggak kalau aku bisa bikin kamu tergila-gila sama aku?" tanya Pian lagi pada Pika.
"Nggak usah geer. Nggak bakalan!" seru Pika ketus.
Lalu tanpa diduga-duga, Pian berbisik tepat di telinga Pika. "Lihat aja nanti. Mungkin nggak sekarang, tapi nanti."
Cowok itu pun berlalu begitu saja. Selama di kelas, bisikan kas setan ala Pian terus teringiang di telinga Pika. Bahkan buku pelajaran yang sudah terbuka lebar di atas mejanya, sudah tak menarik minatnya lagi. Suara isakan tangis Widya merusak lamunannya.
"Kenapa kamu Wid. Kok nangis?" tanya Tika dengan wajah panik.
"Waktu masuk ke lab komputer tadi, sepatuku dimaling sama si Sarab. Katanya sepatuku udah diceburin ke got." Widya menangis hingga sesenggukan. Matanya sembab.
"Kok bisa dimaling si Sandi sih? Buat apa sepatu lo sama dia?" Pika bertanya karena penasaran.
"Ye. Si Sarab itu memang sering gangguin Widya. Bahkan sejak kelas satu, yang selalu bikin Widya nangis itu ya si Sarab. Emang beneran sarab tuh anak, nggak ada kerjaan," sambung Nilam menjelaskan. "Katanya nih ya, Sarab udah lama suka sama Widya. You know lah, untuk menunjukan perasaan suka yang sulit diungkapkan dengan kata-kata caranya adalah dengan mengganggu orang yang dia suka juga." Tika menyambar sambil tertawa cekikikan.
Widya menyikut lengan Tika. "Apalah ini. Amit-amit deh, aku sama si Sandi. Dia itu udah ketularan gila kayak Pian."
"Pssh, Ageeen." Mendadak bisikan familier terdengar di kelas. Hingga teman-teman yang lain sama-sama menoleh ke arah pintu kelas.
Pian melongokan kepalanya di depan pintu.
"Eh, mau apa ke sini?" tanya Tika galak. Cewek bertubuh besar itu langsung menghalangi depan pintu. Berkacak pinggang.
"Ndut, ada Pika nggak?"
"Mau apa cari-cari Pika, Ha?" Tika masih galak.
"Bilang. Pian titip salam." Pian berbisik di telinga Tika, namun dengan suara yang keras. Dasar aneh!
"Bilang aja sendiri, situ kan punya mulut. Memangnya sini burung penitip pesan!"
"Memangnya punya?"
"Punya apa?" Tika mengerutkan dahi bengong.
"Itu burung."
"Kutabok mulutmu Pian!" amarah Tika akhirnya membeludak.
"Maksudnya burung penitip pesan, emang punya? Suudzon aja sih, pantesan makin....'
Pian membentuk kedua tangananya melebar, lalu terkekeh kemudian. "Hehehe. Enggak ding, nggak jadi."
Tika mengepalkan kedua tangan geram. Seolah ingin mencekik leher Pian hidup-hidup. Tapi cowok itu masih bersikap santai, justru ia melongokan kepalanya ke dalam kelas.
"Agen Pika ada yang titip salam, namanya Alvian Satria anak 11 IPA3. Kali ini bukan Hamba Allah yang tersembunyi." Pian berteriak kencang hingga semua pasang mata yang ada di kelas menoleh ke arah Pika. Tatapan meledek.
"Hoi Pian, pergi sana ke kelasmu. Jangan jadi tukang rusuh di kelas kami!" Dayat mulai terusik dengan kehadiran Pian.
"Eh, temannya setan kan ya? Apa kabar?" tanya Pian kalem. Dayat ikut kesal, ia menoleh ke arah Pika.
"Pik, usir sana pacarmu sebelum aku rukkiyah tubuhnya si Pian itu!"
"Ih, dia bukan pacar gue. Ogaah ah!" Pika merengut sebal, kembali membaca buku pelajarannya meski pikirannya tidak selaras lagi.
"Wid, ini sepatumu yang tadi dicuri sama Sarab. Mau dikembaliin nggak?" kali ini Pian berbicara kepada Widya. Lantas Widya bangkit dari kursinya, tapi
Pian kembali mencegat. "Eits, syaratnya harus Agen Pika sendiri yang ambil. Kalau enggak, sepatu kamu beneran aku lempar ke got."
"Pik, please ambilin sepatuku." Widya berbicara penuh mohon, kemudian menyenggol bahu Pika terus-menerus.
"Nggak mau ah. Gue males ketemu sama cowok gila itu lagi." Pika menolak mentah-mentah.
"Ayolah, Pik. Cuma kamu yang bisa bantu aku."
"Iya, Pik. Kasihan tuh, si Widya." Bujuk Nilam.
Pika tetap diam. Sedangkan Pian mulai melantunkan syair andalannya lagi. "Itulah benih yang ditaburkan oleh Ishtar, dewi cinta, dari suatu tempat yang tinggi. Mata mereka menaburkan benih di dalam ladang hati, perasaan memeliharanya, dan jiwa membawanya kepada buah-buahan. Pandangan pertama, karya Kahlil Gibran."
Semua teman-teman bersorak meledek Pika.
"Pirikitewwww, cuit cuit! Pikaaaa nih ye.
"Cie... cieeeeeek, duo, tigo!"
"Eaak, eaak, huuu! Saat ini Pian sedang membobol hati lawan. Apakah gol sodara-sodara."
Lalu suara Pak Dadang-penyapu sekolah-juga ikut berteriak dari luar kelas.
"Agiah taruih, yuang!" (Arti: hajar terus, nak) Pika berusaha menahan malu yang sudah menjalar di sekujur tubuhnya. Berpikir selama sepuluh menit, akhirnya Pika berjalan menghampiri pintu kelas.
"Sini sepatunya." Pika mengulurkan tangan, berpaling wajah. Enggan memandang wajah Pian yang bikin hatinya malah semakin dongkol.
"Psshh... Agen rahasia Pika, di sini agen rahasia Pian. Sekarang aku sudah mendarat di Bulan. Bertemu dengan benderanya Neil Armstrong. Dan menghajar ribuan monster menyerupai laba-laba berkaki 100. Karena satu kakinya patah, jadi total kakinya ada 99. Dan agen rahasia Pian berhasil menyelamatkan sang putri. Dia bersinar terang seperti bintang, bercahaya bagaikan mentari, gigi kelincinya putih bersih, senyumannya kas bulan sabit. Oh, tapi sepertinya dia agak marah. Sekarang sang putri berdiri tepat di depanku. Ganti!" Pian menjadikan tangannya sebagai Handy Talky. Pika menoleh kesal dan ikut menirukan gaya Pian.
"Agen rahasia Pian, di sini agen rahasia Pika. Gue cuma mau bilang kalau monster laba-labanya ada di depan gue. Dan sekarang total kakinya tinggal 97, karena dua kakinya bakalan gue injek!" Pika menginjak kaki kiri dan kanan Pian secara bergantian; kemudian mengambil sepatu Widya, terakhir membanting pintu kelas.
Pian meringis kesakitan. "Agen rahasia Pika, aku terluka. Tapi aku nggak akan nyerah. Karena sekarang, aku akan kembali mendarat ke bumi. Menjelajahi mesin waktu untuk bertemu Kahlil Gibran dan bertanya, syair apa yang cocok untuk menaklukan hati cewek cantik bergigi kelinci."
"Wong edan!" seru Pika sarkartis.
"Hei Pika...." Pian kembali menyebut nama cewek itu. Kali ini suaranya terdengar pelan dari balik pintu kelas yang sudah tertutup rapat. Sedangkan Pika berdiri tepat di depan pintu, mendengarkan Pian dengan hikmat.
"Percaya nggak kalau aku punya sepeda motor Nasa?" ujar Pian lagi.
Pika hanya diam mendengarkan.
"Kemarin baru aja aku kasih nama. Namanya si Napi. Nasa Pian dan Pipi. Kapan-kapan aku bakalan bawa kamu naik si Napi."
"Lo percaya nggak kalau gue melihara Anjing di rumah. Namanya Pian!" Pika membalas telak.
"Keren! Nama yang bagus. Pasti Anjingnya juga jago syair kayak aku. Arrrgh, Auggghh... Auggh.... Gug... Auuuuuu." Pian menirukan suara anjing. "Kan Anjing ya, jadi kalau syair pasti begitu."