NovelToon NovelToon
TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Obsesi / Identitas Tersembunyi / Sugar daddy
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: aufaerni

Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.

Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.

Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MEMIKIRKAN UCAPAN FREDRICKA

Keesokan paginya, Nayara duduk di meja makan, menatap sarapan di depannya tanpa minat. Sendok di tangannya hanya mengaduk-aduk bubur yang sudah mulai dingin, tanpa benar-benar berniat menyuapkannya ke mulut.

Pikirannya masih dipenuhi ucapan pedas Fredricka semalam. Bukan hal baru, memang. Kata-kata menyakitkan sudah menjadi makanan sehari-hari sejak kecil. Namun, entah mengapa, setiap kali diucapkan, tetap terasa seperti luka lama yang kembali disayat.

"Kenapa aku selalu berharap dia berubah..." gumam Nayara lirih, hampir tak terdengar. Matanya menatap kosong, seolah mencari jawaban di dasar mangkuk yang tak tersentuh itu.

Nayara melirik jam dinding dan tersentak. Waktu ternyata telah berlalu lebih cepat dari dugaannya. Ia segera berdiri, membereskan sisa sarapan yang tak disentuh, lalu mencuci piringnya dengan cepat.

Tanpa banyak pikir, ia mengambil tas dan bergegas meninggalkan apartemen, menuju kampus berharap hari itu bisa memberinya sedikit jeda dari segala kekacauan pikirannya.

Di tempat berbeda, Kaelith masih tertidur di rumah orang tuanya. Setelah pertandingan semalam, ia memutuskan untuk menginap karena hari ini Kevin akan menghadiri acara keluarga Vemund semacam pertemuan menjelang pernikahannya. Kaelith pun diharuskan hadir dan ikut andil, meski sebenarnya ia sama sekali tak berminat mengikuti acara tersebut.

"Ting... Tong.. Ting... Tong.."

Kaelith terlonjak kaget saat alarm keramat di rumah keluarga Vemund meraung keras, menggema ke seluruh penjuru rumah.

"Alarm sialan," makinya sambil menutup telinga dengan bantal, berusaha meredam suara yang memekakkan itu.

Namun alarm tetap meraung tanpa henti, hingga akhirnya Alaric sendiri yang mematikannya dari ruang utama.

"Aarrggh," erang Kaelith frustasi, masih membenamkan wajahnya ke bantal.

Inilah salah satu alasan mengapa Kaelith tak betah tinggal di istana Vemund. Baginya, tempat itu lebih mirip neraka dan penciptanya tak lain adalah ayahnya sendiri, Alaric Vemund. Pria paruh baya itu menuntut segalanya terlihat sempurna di matanya, tanpa peduli perasaan orang-orang di sekitarnya.

Kaelith yang sudah telanjur terbangun segera meraih ponselnya, lalu menekan nama Nayara.

Beberapa kali ia menelepon, tapi tak satu pun dijawab oleh gadis itu. Rahangnya mengeras, napasnya mulai tak beraturan karena kesal.

Tanpa pikir panjang, ia segera mengetik pesan singkat dan mengirimkannya.

"Angkat panggilanku, sebelum kau menjerit memohon ampun."

Ancaman itu terkirim tanpa ragu, mencerminkan kemarahannya yang nyaris tak terkendali.

Nayara yang sedang dilanda suasana hati buruk hanya menatap layar ponselnya tanpa minat.

Pesan dari Kaelith terpampang jelas, tapi ia sama sekali tak berniat membalas, apalagi mengangkat panggilan dari siapapun.

Hari ini, ia hanya ingin diam. Dunia bisa menunggu.

Kaelith menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras. Pesan sudah terkirim, tapi tak ada balasan, tak ada tanda bahwa Nayara membaca atau bahkan berniat mengangkat panggilannya.

"Dasar keras kepala," gumamnya, lalu melempar ponselnya ke atas kasur.

Ia berdiri, berjalan menuju lemari sambil mengacak rambutnya yang masih berantakan. Hari ini ia harus bersikap manis demi acara keluarga yang tak ia minati sama sekali. Tapi dalam pikirannya, hanya ada Nayara.

Sementara itu di kampus, Nayara duduk sendiri di salah satu bangku taman. Buku catatan terbuka di pangkuannya, tapi pandangannya kosong. Kata-kata Fredricka masih terngiang di telinganya, bercampur dengan pesan ancaman Kaelith pagi ini.

Ia lelah. Lelah menjadi orang yang harus selalu kuat.

Lelah berpura-pura tak apa-apa.

Ponselnya kembali bergetar di dalam tas. Ia tahu pasti siapa yang menghubungi.

Dengan napas berat, Nayara meraih ponsel dan membuka pesan baru yang masuk.

"Kalau sampai malam ini kau masih diam, aku tidak akan segan menghukummu."

Nayara menutup ponselnya perlahan.

Kali ini, satu sudut bibirnya terangkat tipis, entah karena kesal… atau karena dia tahu Kaelith memang tak pernah main-main dengan ucapannya.

Siang hari, setelah pulang kuliah, Nayara melangkahkan kakinya menuju rumah sakit besar di Sevilla. Langkahnya mantap, meski ada keraguan samar yang menggantung di matanya. Ini bukan pertama kalinya ia datang ke tempat itu, tapi rasanya tetap sama campuran antara gelisah dan lega.

Ia sudah membuat janji sebelumnya. Bukan dengan dokter umum, melainkan dengan seseorang yang selama ini menjadi sandaran saat hidup terasa terlalu berat untuk dipikul seorang psikiater yang perlahan membantunya berdamai dengan luka, dan menyemangatinya untuk tetap bertahan.

Setibanya di sana, ia melapor di meja resepsionis, lalu menunggu beberapa menit sebelum dipersilakan masuk.

"Selamat siang, Nayara. Silakan masuk," sapa sang psikiater dengan suara lembut yang selalu berhasil membuat Nayara merasa sedikit lebih tenang.

Dengan napas pelan, Nayara melangkah ke dalam ruangan yang tenang itu. Aroma lavender samar menyambutnya, seperti pelukan hangat yang tak terlihat.

"Bagaimana kabarmu hari ini?" tanya sang psikiater, mempersilakan Nayara duduk.

Gadis itu tersenyum kecil, meski senyumnya tak sampai ke mata.

"Aku tidak tahu harus mulai dari mana… Tapi hari ini, rasanya semua kembali berat."

Psikiater itu mengangguk pelan, mencatat sesuatu di buku catatannya.

“Tidak apa-apa, kamu bisa mulai dari yang terasa paling mengganggu.”

Nayara menatap lantai beberapa detik, mencoba merangkai emosi yang berantakan.

“Aku pulang ke rumah kemarin. Ibu…” ia menarik napas dalam, “Ibu masih sama. Ia memaki, menyalahkan aku atas semuanya. Katanya… dia menyesal tak menggugurkan aku.”

Ucapan itu keluar pelan, nyaris seperti bisikan. Tapi rasanya menggelegar di dalam dadanya sendiri.

Sang psikiater menatapnya dengan penuh empati. “Dan apa yang kamu rasakan ketika mendengar itu?”

“Sedih, marah, tapi juga… lelah,” Nayara menjawab jujur. “Aku selalu bilang pada diriku sendiri kalau itu cuma omong kosong, tapi entah kenapa tetap sakit. Setiap kali aku coba bangkit, kata-katanya seperti menarikku jatuh lagi.”

Suasana ruangan hening sejenak, sebelum psikiater itu bertanya lembut,

“Kamu tetap membawa belanjaan untuk ibumu, ya?”

Nayara mengangguk. “Aku tidak ingin dia mati kelaparan. Bukan karena aku peduli padanya, tapi… aku tidak mau jadi orang yang kejam.”

Psikiater itu mencatat lagi, lalu menatap Nayara dengan lembut.

“Kamu bukan kejam. Kamu bertahan, Nayara. Kamu melakukan yang terbaik dalam situasi yang sangat tidak mudah. Dan itu, adalah kekuatan.”

Mata Nayara berkaca-kaca. Ia tidak menangis, tapi sorot matanya berkata banyak.

“Aku hanya ingin… hidupku berubah. Aku ingin keluar dari rumah itu. Aku ingin bebas dari mereka. Tapi aku takut. Aku bahkan takut untuk mencintai.”

“Apakah ini juga tentang seseorang yang sedang dekat denganmu?” tanya psikiater itu pelan.

Nayara terdiam. Ia menunduk, lalu menatap ragu.

“Iya bisa dibilang begitu… tapi aku juga takut padanya.”

“Kenapa takut?”

“Karena dia... bisa membuatku merasa hidup dan mati dalam waktu bersamaan. Dia manis dan kejam. Hangat dan dingin. Dan yang paling menakutkan, dia tahu semua sisi lemahnya aku dan menggunakannya ketika dia marah.”

Psikiater itu menatap Nayara dengan sorot hangat dan dalam, lalu bertanya dengan nada penuh empati,

“Dari semua yang kamu ceritakan... kamu tahu ini bukan hubungan yang sehat. Tapi kamu tetap bertahan. Kenapa?”

Nayara menunduk, menggenggam jemarinya sendiri.

“Aku… mungkin karena aku tidak punya siapa-siapa lagi. Dia satu-satunya yang bertahan saat semua orang pergi. Bahkan… ibuku sendiri seolah tidak menginginkanku.”

Psikiater itu mengangguk perlahan. “Tapi kamu juga bilang… dia pernah menyakitimu?”

Nayara terdiam sejenak. Lalu mengangguk.

“Sering. Saat dia marah… dia bisa sangat kasar. Pernah membanting barang di dekatku, pernah mencengkeram lenganku sampai membiru hanya karena aku tidak menjawab teleponnya. Tapi yang paling menyakitkan, bukan hanya itu…”

Psikiater itu menunggu dengan sabar.

“Dia tidak pernah minta maaf. Bahkan setelah menyakitiku. Dia bersikap seolah itu bukan masalah besar. Seolah aku harus bisa mengerti dia… dan memaklumi semuanya.”

“Kamu merasa diabaikan?”

“Lebih dari itu,” gumam Nayara. “Kadang aku merasa seperti tak dianggap manusia. Dia bisa menghilang begitu saja setelah berbuat salah, lalu kembali bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Tak pernah ada kata maaf, tak pernah ada penyesalan. Dan aku… aku tetap di sana.”

Psikiater itu menarik napas panjang, mencoba menahan emosi yang muncul demi menjaga profesionalitasnya.

“Nayara, itu bukan cinta. Itu adalah bentuk kekuasaan. Dan kamu pantas diperlakukan dengan hormat, bukan dijatuhkan dan diabaikan begitu saja.”

Nayara terdiam lama, suara jarum jam di ruangan itu terdengar sangat nyaring di telinganya. Seakan-akan waktu ikut menegurnya karena terlalu lama diam di tempat yang sama bersama seseorang yang bahkan tak pernah peduli apakah ia baik-baik saja atau tidak.

“Apa aku bodoh karena tetap bersamanya?” tanyanya lirih, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Psikiaternya menatapnya lembut. “Tidak, Nayara. Kamu tidak bodoh. Kamu terluka. Orang yang terluka sering kali tidak bisa berpikir jernih, apalagi ketika yang melukai justru adalah tempat kamu merasa paling aman.”

Air mata menggenang di pelupuk mata Nayara. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat, mencoba menahan tangis yang sejak tadi sudah ingin meledak.

“Kadang aku berpikir… bagaimana jika dia tidak pernah berubah? Bagaimana jika aku tetap bertahan dan akhirnya aku yang hancur?”

“Pertanyaan itu,” ujar psikiaternya dengan nada mantap, “menunjukkan bahwa kamu mulai melihat kenyataan, Nayara. Dan itu adalah langkah awal untuk menyelamatkan dirimu sendiri.”

Nayara mengangguk pelan, kali ini tidak membantah atau berdalih.

“Aku ingin hidup… bukan sekadar bertahan.”

Psikiaternya tersenyum. “Itu adalah kalimat terkuat yang pernah keluar dari mulutmu sejak pertama kali kamu datang ke ruangan ini.”

Nayara menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada sesuatu dalam dirinya yang terasa ringan. Ia belum membuat keputusan besar, tapi ia tahu arah langkah berikutnya keluar dari hubungan yang tak pernah memberinya ruang untuk bernapas.

1
Intan Marliah
Luar biasa
Randa kencana
Ceritanya sangat menarik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!