Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka yang tak pernah sembuh..
Hujan turun perlahan di langit Bandung sore itu, membasahi genting kontrakan Nayla. Ia duduk di kursi rotan, menyandarkan tubuhnya yang mulai sering kelelahan, sementara tangan kirinya memeluk perutnya yang kini mulai membuncit. Di hadapannya, segelas susu hangat yang tak sempat disentuh sejak dua puluh menit lalu mulai mendingin.
Sudah dua hari berlalu sejak Tania datang dengan kabar bahwa ia dan Raka akan menikah.
Nayla mengira dirinya akan hancur—bahwa dadanya akan remuk seperti dulu saat pertama kali mengetahui pengkhianatan itu. Tapi tidak. Yang ia rasakan sekarang bukan lagi luka baru. Hanya bekas luka lama yang mengeras, menebal, dan menyisakan rasa nyeri yang tidak akan pernah benar-benar hilang.
Mungkin, inilah saatnya benar-benar melepaskan.
Tapi bagaimana cara melepaskan seseorang yang pernah ia cintai sepenuh jiwa, dan dari cinta itulah kini tumbuh kehidupan baru dalam rahimnya?
Siska datang membawa sepiring bolu kukus hangat. Wanita itu sudah seperti kakak sendiri bagi Nayla, meski mereka baru mengenal beberapa bulan. Kepergian Siska suaminya dalam kecelakaan tragis membuatnya mudah memahami luka dalam tatapan Nayla.
“Kamu masih terlihat pucat,” ucap Siska pelan sambil meletakkan piring di meja.
Nayla tersenyum, tipis. “Aku baik-baik saja.”
Siska duduk di hadapannya, menatapnya dalam-dalam. “Kamu tahu, aku dulu juga berpikir aku nggak akan bisa hidup tanpa almarhum. Tapi ternyata, kita perempuan selalu bisa bertahan. Karena kita bukan cuma hidup untuk cinta. Kita hidup untuk anak kita. Untuk diri kita.”
Ucapan itu menghujam Nayla perlahan, seperti embun yang jatuh diam-diam ke hati. Ia menunduk, menyentuh perutnya yang hangat, dan tersenyum.
“Aku tahu…” bisiknya. “Tapi kadang, masih terasa sakit, Sis.”
Siska mengangguk. “Rasa sakit itu nggak apa-apa. Yang penting kamu tahu batasnya. Jangan sampai sakit itu bikin kamu lupa siapa dirimu.”
Malam hari, Nayla kembali terjaga. Hujan telah berhenti, meninggalkan gemericik dari sisa tetes air yang menuruni talang. Di layar ponselnya, seperti biasa, ada pesan dari Raka.
“Aku tahu kamu benci aku, Nay. Tapi aku nggak bisa berhenti mencintaimu. Aku tahu aku salah. Terlalu banyak salah. Tapi aku mohon, jangan tutup semua pintu untukku.”
Nayla memandangi pesan itu lama. Jemarinya sempat bergerak hendak mengetik balasan. Tapi ia menghapusnya. Ia menunduk, menyandarkan kepala di lutut. Isak kecil lolos begitu saja dari bibirnya. Ia tak membalas pesan itu. Seperti pesan-pesan sebelumnya.
Tapi malam itu, berbeda.
Karena pada pukul dua dini hari, seseorang mengetuk pintu kontrakannya.
Perlahan, dengan waspada, Nayla membuka pintu.
Dan di balik pintu, berdiri Raka, dengan wajah kelelahan dan mata yang sembab.
“Aku mohon… dengerin aku, Nay. Sekali ini saja,” katanya dengan suara parau.
Nayla tak menjawab. Matanya menatap laki-laki itu, menahan semua emosi yang ingin meledak. Marah. Rindu. Kecewa. Dan cinta yang masih menggantung seperti sisa musim yang enggan pergi.
“Aku tahu kamu sudah dengar dari Tania,” Raka melanjutkan. “Aku nggak akan menyangkal. Iya, dia hamil. Tapi aku nggak bisa nikahi dia kalau itu artinya aku harus kehilangan kamu. Nayla… aku mohon.”
“Berhenti, Raka.” Suara Nayla nyaris tak terdengar, tapi jelas.
Raka terdiam.
“Aku sudah terlalu sering memaafkan kamu di dalam diamku. Tapi bukan berarti aku bisa melupakan semuanya begitu saja. Kamu menghancurkan rumah kita, Raka. Kamu yang memilih pergi. Dan sekarang… kamu datang, membawa luka baru lagi.”
Raka menggenggam tangan Nayla, namun Nayla menariknya perlahan.
“Aku hidup bukan untuk menjadi cadangan. Dan aku tidak mau anakku tumbuh melihat ibunya terus-menerus disakiti dan tetap bertahan. Aku harus memilih—bukan hanya untuk diriku. Tapi untuk anakku juga.”
Air mata mengalir di pipi Raka. Tapi Nayla hanya menatapnya, datar.
“Kalau kamu benar-benar mencintaiku… biarkan aku pergi. Dan kamu perbaiki hidup kamu. Jangan datang hanya saat kamu kehilangan.”
Raka tak mampu berkata-kata lagi.
Pintu kontrakan ditutup perlahan. Suara tangis tertahan terdengar dari balik daun pintu—entah milik Nayla atau Raka, atau mungkin keduanya.
Tapi malam itu, untuk pertama kalinya, Nayla merasa tenang.
Karena akhirnya, ia mulai benar-benar melepaskan.