Kinanti, seorang dokter anak yang cerdas dan lembut, percaya bahwa pernikahannya dengan David, dokter umum yang telah mendampinginya sejak masa koass itu akan berjalan langgeng. Namun, kepercayaan itu hancur perlahan ketika David dikirim ke daerah bencana longsor di kaki Gunung Semeru.
Di sana, David justru menjalin hubungan dengan Naura, adik ipar Kinanti, dokter umum baru yang awalnya hanya mencari bimbingan. Tanpa disadari, hubungan profesional berubah menjadi perselingkuhan yang membara, dan kebohongan mereka terus terjaga hingga Naura dinyatakan hamil.
Namun, Kinanti bukan wanita lemah. Ia akhirnya mencium aroma perselingkuhan itu. Ia menyimpan semua bukti dan luka dalam diam, hingga pada titik ia memilih bangkit, bukan menangis.
Di saat badai melanda rumah tangganya datanglah sosok dr. Rangga Mahardika, pemilik rumah sakit tempat Kinanti bekerja. Pribadi matang dan bijak itu telah lama memperhatikannya. Akankah Kinanti memilih bertahan dari pernikahan atau melepas pernikahan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isti arisandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Menggantikan tugas Kakak.
Pagi itu mentari menyelinap lembut di sela tirai jendela kamar yang rapi. Wangi nasi goreng hangat menguar dari dapur kecil di sudut rumah, menyatu dengan aroma minyak kayu putih yang dioleskan Kinanti di sekitar perutnya yang makin besar.
Usia kandungannya sudah menginjak sembilan bulan lebih. dan meski tubuhnya mulai sering letih, ia tetap berusaha menjadi istri dan kakak yang tangguh.
"Kalau sudah selesai menata baju, sebaiknya kamu makan dulu, Naura," ucap Kinanti sembari mengusap peluh di pelipisnya. "Aku pagi ini cuma sempat masak nasi goreng. Sepertinya tak lama lagi aku akan melahirkan. Kadang kontraksi palsu itu terasa seperti nyata."
Naura yang sedang berdiri di dekatnya mengangguk dan tersenyum, sebelum menghampiri Kinanti dan menyentuh perut bundarnya yang menonjol seperti bola.
"Benarkah, Mbak sudah sering kontraksi?" suara Naura terdengar lembut, bahkan penuh simpati. Matanya mengerling pelan, namun tak ada satu pun gurat kasih yang benar-benar tulus di sana. "Mbak Kinan sebaiknya istirahat saja sekarang. Biar tugas-tugas Mbak aku yang kerjakan."
Kinanti tersenyum. Senyumnya tulus, seperti biasa.
"Kamu bisa, Ra?"
"Bisa lah, Mbak. Adikmu ini sudah gede sekarang," jawab Naura sambil tertawa ringan.
Kinanti pun membalas dengan senyum tipis, mengelus lembut rambut adiknya. Hatinya hangat, penuh syukur karena memiliki adik yang bisa diandalkan dan cerdas seperti Naura, tidak salah dia kerja keras membiayai kuliahnya dulu.
Kinanti tak pernah menaruh curiga pada Naura, gadis yang tumbuh di depannya sejak kecil, yang ia ajari mengeja nama, mengikat tali sepatu, dan kini sudah menjadi wanita muda yang cantik dan dewasa.
Namun, ketika mata mereka bertemu, Naura menatap balik dengan sorot berbeda. Tatapannya samar, seperti kabut tipis yang menyelimuti niat yang belum terucap.
"Aku juga bisa menggantikan tugas ranjangmu, Mbak," batin Naura.
"Suamimu itu sangat tampan dan perkasa. Aku sudah jatuh cinta, Mbak. Demi cintaku yang begitu besar... aku rela berbagi denganmu. Rela... meski aku dianggap pencuri."
"Ra? Kamu akan sangat repot, aku akan cari ART saja, tidak baik terlalu merepotkan kamu, karena kamu harus bekerja juga.
Naura tidak menjawab. Ia hanya menunduk, kemudian tersenyum, senyum yang membuat udara makin dingin, meski matahari masih menggantung di langit. Senyum penuh rahasia. Senyum yang membuat bayangan kelam menyusup di antara kedekatan kakak dan adik itu.
"Jangan cari ART dulu Mbak, aku akan membantu Mbak Kinan semampuku "
"Baiklah kalau begitu."
Sementara itu, dari balik pintu yang sedikit terbuka, David mendengar segalanya. David juga tahu niat Naura yang tidak ingin ada ART. karena semakin banyak orang di rumah akan semakin banyak pula peluang ketahuan, dia harus menghindari itu.
David duduk diam di kursi teras. Secangkir teh yang masih hangat tak disentuhnya. Ia menatap jauh, menembus pagar rumah, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut.
Ia tidak menyangka akan mendengar kata-kata seperti itu dari mulut Naura. Ia tahu Naura menyukainya. Tatapan Naura terlalu terang, terlalu haus saat menatapnya. Tapi ia tak pernah menyangka adik iparnya akan seberani itu. Dan yang lebih membuat hatinya teriris: Kinanti... istrinya... perempuan lembut yang mencintainya dengan segenap jiwa, tak tahu apa-apa.
Naura memilih sarapan sendiri, sedangkan Kinanti mencuci piring bekas makannya dan David.
Setelah makan Naura ke kamar, sedangkan Kinanti mendatangi David di teras.
David dan Kinanti bercanda ria di teras, membicarakan tentang si kecil di perut yang terus nendang-nendang. David sesekali penasaran, Nadia menempelkan telinganya di perut Kinanti, berharap mendengar sesuatu. David sesekali mengajaknya bicara.
___
Naura berdiri di depan cermin. Ia menatap wajahnya lama. Jari-jarinya menyisir rambutnya pelan, sebelum ia memoles lipstik merah muda di bibir. Gaun selutut yang ia kenakan membuat tubuh mudanya tampak segar dan menggoda.
Ia tersenyum, bangga dengan lekuk tubuh yang dia miliki, biasanya dia akan bersaing dengan Kinanti, tapi sekarang dirinya sendiri yang memiliki tubuh indah itu.
“Maafkan aku, Mbak,” bisiknya pada pantulan cermin. “Aku sudah terlalu cinta, aku tidak tahan hanya untuk sekadar jadi penonton dalam cerita kalian.”
___
Kinanti masuk ke kamarnya, dia pamit tidur siang pada David. Kinanti merasa tidur siang sangatlah dibutuhkan.
David mengizinkan Kinanti pergi.
Dan disaat itu Naura keluar kamar mendekati David yang sudah pindah ke ruang keluarga ingin melihat acara TV.
Naura mendekat dengan sangat berani. Bajunya sangat seksi untuk ukuran seorang wanita belum bersuami, bahkan Naura juga memakai parfum yang wangi.
David segera menaikkan volume tv-nya dan menatap Naura. "Ra, kamu sudah gila? Memakai pakaian seperti ini!"
"Kenapa Mas? Mbak Kinan kan lagi tidur, hanya ada kita berdua disini."
"Kamu yakin Kinan tidur? Dia bisa keluar sewaktu waktu."
"Kalau gitu, Mas ke kamarku aja yuk, biar saat Mbak Kinanti keluar nggak langsung pergoki kita disini.
"Kamu ini, Ra ...." Kantung David terpacu keras, dia tidak terbiasa bermain petak umpet dengan istrinya seperti ini.
Naura menarik tangan David, mengajaknya ke kamar utama yang luas itu.
Naura segera mengunci pintu begitu David sudah berada di dalam kamar. Suara klik dari kunci yang diputar terdengar begitu tegas di ruang yang tiba-tiba terasa sempit, meski sebenarnya luas. Cahaya matahari menyusup lewat gorden yang sedikit terbuka, menerpa wajah David yang kini berdiri kaku di dekat ranjang.
"Naura, buka pintunya sekarang," ucap David pelan tapi tegas. Wajahnya menegang, nadanya tidak main-main. Tapi Naura hanya tersenyum kecil sambil berjalan pelan, melingkarkan lengannya di leher David.
"Aku cuma ingin bicara dari hati ke hati, Mas. Kenapa Mas David selalu menghindar dariku? Apa Mas sama sekali nggak lihat aku sebagai wanita yang mencintaimu?"
"Naura, kamu adik iparku. Kamu adik kandung istri aku. Ini salah. Sangat salah," suara David serak, tubuhnya mundur sedikit, mencoba menjaga jarak. David tidak tahu harus berkata apa lagi untuk meredakan ambisi Naura.
Naura tetap mendekat. Wangi parfumnya terasa terlalu menyengat, menusuk kesadaran David yang mulai bergoyang. Ia mengenal aroma itu, vanilla orchid, aroma yang dulu sering dipakai Kinanti saat masih pacaran. Tapi kali ini aroma itu datang dari tubuh lain dengan niat lain.
"Aku bukan anak kecil lagi, Mas. Lihat aku baik-baik. Aku wanita. Wanita yang mencintai Mas David. Bahkan lebih dari yang bisa Mbak Kinanti berikan..."
David menelan ludah. Nafasnya memburu, bukan karena tergoda, tapi karena terjebak. Ini bukan pertama kalinya Naura bicara hal seperti ini secara tersirat, tapi hari ini dia terlalu berani.
"Naura, cukup, kita akhiri sebelum semakin terlambat. Kamu menghancurkan kepercayaan Kinanti padaku, dan kamu juga menghancurkan harga dirimu sendiri."
Naura mendekat, meletakkan telapak tangannya di dada David. "Tapi aku rela, Mas. Aku rela dihina, dicaci, bahkan dicampakkan oleh kakak ku, asal bersamamu."
"Naura, ini bukan kesepakatan kita, kamu jangan melampaui batas, kamu kenapa seperti ini Ra?"
Naura duduk dan memasang wajah sedih." Aku, aku juga nggak tahu Mas, aku rindu kamu, di rumah ibu aku merasa tidak tenang, dan selalu ingin di dekatmu, aku cinta sama kamu Mas, bahkan disaat aku tahu cinta ini salah."