Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 10
Setelah Raka pamit dan mobilnya menghilang di ujung jalan, Aruna berdiri sejenak di ambang pintu, menarik napas pelan. Udara pagi masih terasa segar, tapi ada sesuatu di dadanya yang terasa mengambang semacam perasaan kosong yang sulit dijelaskan. Ia memalingkan wajah dari teras dan melangkah masuk ke dalam rumah.
Matanya langsung tertuju pada sepatu dan ransel besar yang tergeletak begitu saja di lantai ruang tengah, bekas semalam. Aruna menghela napas pelan, lalu berjongkok. Ia mengambil sepatu Bagas yang masih penuh debu, lalu menaruhnya di rak sepatu dengan hati-hati, walau pikirannya entah ke mana.
Ransel itu berat, berisi campuran aroma alam liar dan debu perjalanan panjang. Dengan setengah hati, ia membukanya. Di dalamnya ada pakaian kotor yang tampak dilipat seadanya, botol air setengah kosong, peralatan kamera yang tertata rapi dalam lapisan busa pelindung, dan sebuah iPad Pro yang diselipkan begitu saja di sisi samping layarnya masih menyala, menampilkan aplikasi edit foto yang terbuka.
Aruna menyentuh pakaian-pakaian itu, menggulungnya satu per satu untuk dibawa ke tempat cucian. Di sela lipatan kaus lusuh, ia menemukan selembar kertas kecil berisi catatan acak sketsa lokasi, angka-angka, bahkan satu-dua coretan yang menyerupai puisi pendek. Sesuatu yang tak asing, tapi juga terasa begitu jauh.
Ia berhenti sejenak, memandangi semua itu. Inilah suaminya. Sederhana, cuek, jujur apa adanya, tapi juga semakin asing belakangan ini. Rumah yang dulu terasa penuh cerita, kini hanya dipenuhi tanda-tanda kehadiran tanpa suara.
Aruna membereskan semuanya tanpa banyak kata. Tapi di dalam hatinya, ada desir kecil yang mulai berubah menjadi gelombang. Sebuah kesadaran perlahan-lahan tumbuh, bahwa jarak sejati bukan tentang ruang melainkan tentang dua hati yang tak lagi saling menyentuh.
Bagas baru keluar dari kamar, rambutnya masih basah, kaus tipis menempel di tubuhnya yang baru selesai mandi. Ia berjalan santai ke arah ruang tengah, lalu matanya bertemu dengan tatapan Aruna yang sedang jongkok, membereskan pakaian kotor dari ransel besar miliknya.
Tanpa banyak kata, Bagas mendekat. Aruna berdiri perlahan, lalu memeluknya singkat dan mengecup pipinya.
"Capek banget, ya?" tanyanya pelan.
"Banget," jawab Bagas sambil tersenyum sekilas. "Tapi senang bisa pulang."
Mereka sempat saling bertanya kabar. Bagas bercerita sekilas tentang medan yang sulit, nyamuk yang besar-besar, dan momen langka ketika ia berhasil memotret burung elang laut di saat senja. Aruna hanya mendengarkan dengan anggukan ringan. Tak ada tanya terlalu dalam, tak ada peluk hangat lebih lama. Hanya interaksi yang terasa... biasa.
"Aku siapin sarapan, ya..." kata Aruna, bergegas ke dapur.
Sambil mengoleskan mentega di roti dan mengaduk telur di penggorengan, ia sesekali melirik ke ruang tengah. Bagas duduk di sofa dengan kaki selonjor, sudah menempelkan ponselnya ke telinga. Suaranya terdengar riang, berbicara cepat dengan teman seprofesinya membahas jadwal pameran, lokasi baru yang ingin dieksplor, dan rencana kolaborasi dengan dokumenter internasional.
Padahal baru saja pulang. Padahal ia di rumah. Tapi nada suara itu tak menunjukkan kerinduan akan rumah, akan istrinya.
Aruna menarik napas pelan. Tangannya tetap sibuk menyiapkan sarapan, tapi pikirannya berkelana. Dalam hati kecilnya muncul tanya yang tak ia ucapkan:
“Kapan terakhir kali rumah ini membuatmu betah, Mas? Kapan terakhir kali... aku jadi tempatmu pulang, bukan hanya tempatmu singgah?”
Ia mengedarkan pandang ke meja makan, mengatur piring dan gelas dengan tenang. Tapi hatinya tidak benar-benar tenang. Ada ruang kosong yang makin lebar, dan untuk pertama kalinya, ia merasa kesendirian itu bisa hadir bahkan saat seseorang tepat di hadapanmu.
Setelah sarapan selesai disiapkan, Aruna merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, menenangkan napasnya sejenak, lalu melangkah ke ruang tengah.
"Mas," panggilnya lembut, tapi tegas. "Sarapan udah siap. Ayo makan dulu... dan tolong tutup dulu telponnya, ya?"
Bagas masih tertawa kecil, menanggapi sesuatu dari lawan bicaranya. Tapi ketika melihat wajah Aruna, tawa itu perlahan menghilang. Ada sesuatu di mata istrinya yang tak bisa ia abaikan bukan marah, tapi... lelah. Mungkin juga kecewa.
Aruna menambahkan, lebih pelan, “Berilah kesempatan buat dirimu benar-benar istirahat. Kamu di rumah sekarang. Mungkin... tubuhmu sudah sampai, tapi kamu belum betul-betul pulang.”
Ucapan itu tak disampaikan dengan nada tinggi, tapi justru karena itulah terasa menohok. Bagas terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan. Ia mengucap kalimat pendek ke ponselnya, “Oke, gue kabarin lagi nanti.” Lalu menutup sambungan.
Ia berdiri, menyusul ke meja makan, dan duduk tanpa banyak kata.
Aruna menyodorkan piring sarapan. Mereka duduk berdua dalam keheningan yang menggantung, bukan karena tak ada yang ingin dibicarakan, tapi karena masing-masing sedang menata ulang jarak yang pelan-pelan terasa makin nyata.
Saat menyendokkan suapan terakhirnya, Bagas memperhatikan istrinya. Ada sesuatu yang berbeda pagi itu. Rambut Aruna tertata rapi, wajahnya segar dengan sentuhan tipis make-up, dan pakaian rumahnya pun tak seperti biasanya. Bukan daster seperti yang biasa ia kenakan saat pagi.
“Kamu cantik banget pagi ini,” ujar Bagas sambil menaruh sendoknya. “Mau pergi ke mana?”
Aruna menoleh sebentar lalu tersenyum tipis. “Enggak ke mana-mana.”
Bagas mengangguk, namun pandangannya belum lepas dari Aruna. “Setelah sarapan... kita ke kamar, ya?” katanya pelan tapi langsung.
Tak ada rayuan atau kalimat manis. Sederhana, datar, seperti gaya bicara Bagas biasanya. Tapi tetap membuat dada Aruna terasa penuh sesaat. Ada desir aneh dalam hati antara rindu yang tertunda dan realita yang tak selalu sehangat harapan.
Aruna tak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menatap suaminya sejenak, lalu mengangguk kecil. Sebagai istri, ia tahu ini bagian dari pernikahan. Dan meski banyak hal yang kini terasa asing, sebagian dari dirinya memang merindukan keintiman itu kehadiran fisik, walau tanpa jaminan kedekatan batin.
Setelah mereka merapikan meja, keduanya melangkah pelan ke kamar. Tanpa banyak bicara, namun ada ruang yang mulai terisi oleh sesuatu yang telah lama mereka abaikan keberadaan satu sama lain. Meski masih dingin di sudut hati Aruna, pagi itu sedikit menghangat
Pagi itu, tubuh mereka saling bersentuhan. Bagas menggenggam tangannya, lalu menuntunnya ke ranjang tanpa banyak kata. Hanya napasnya yang berat dan gerakan cepat yang menyiratkan keinginannya. Aruna mengikuti, seperti biasa. Tanpa banyak protes, tanpa banyak tanya. Tapi di dalam dirinya, ada gelombang kecil yang tak kunjung reda.
Sejak beberapa waktu terakhir, hubungan suami-istri mereka tak lagi seperti dulu. Tidak ada pelukan panjang di awal, tidak ada ciuman perlahan yang menyapu pipi atau bahu, tidak ada sentuhan penuh rasa. Semua berlangsung terlalu cepat. Begitu Bagas merasa cukup, segalanya selesai. Sunyi. Datar. Kosong.
Aruna berbaring diam usai itu. Matanya menatap langit-langit kamar dengan napas tak lagi beraturan, bukan karena kenikmatan, tapi karena kehampaan yang makin nyata. Tak ada satu pun dari perasaannya yang terpenuhi. Ia rindu diperlakukan seperti perempuan yang dicintai, bukan sekadar istri yang harus melayani. Ia mendamba gairah yang pelan tumbuh lewat tatapan, kalimat lembut, lalu menyala lewat pelukan hangat.
Mungkin Bagas memang lelah. Perjalanan panjang, kurang tidur, tuntutan pekerjaan. Tapi entah mengapa, Aruna merasa ini bukan sekadar soal kelelahan fisik. Ini seperti pola yang berulang. Hubungan yang tak lagi berakar dari kedekatan batin, melainkan rutinitas yang hambar.
Ia menarik napas pelan, mencoba mengumpulkan dirinya. Lalu perlahan membalikkan badan, memunggungi Bagas yang telah tertidur pulas. Di sudut matanya, ada genangan kecil yang tak sempat jatuh. Ia hanya ingin dicintai... dengan utuh, bukan sekadarnya.
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor