Niat hati Parto pergi ke kampung untuk menagih hutang pada kawannya, justru mempertemukan dia dengan arwah Jumini, mantan cinta pertamanya.
Berbagai kejadian aneh dan tak masuk akal terus dialaminya selama menginap di kampung itu.
"Ja-jadi, kamu beneran Jumini? Jumini yang dulu ...." Parto membungkam mulutnya, antara percaya dan tak percaya, ia masih berusaha menjaga kewarasannya.
"Iya, dulu kamu sangat mencintaiku, tapi kenapa kamu pergi ke kota tanpa pamit, Mas!" tangis Jumini pun pecah.
"Dan sekarang kita bertemu saat aku sudah menjadi hantu! Dunia ini sungguh tak adil! Pokoknya nggak mau tahu, kamu harus mencari siapa yang tega melakukan ini padaku, Mas! Kalau tidak, aku yang akan menghantui seumur hidupmu!" ujar Jumini berapi-api. Sungguh sekujur roh itu mengeluarkan nyala api, membuat Parto semakin ketakutan.
Benarkah Jumini sudah mati? Lalu siapakah yang tega membunuh janda beranak satu itu? simak kisah kompleks Parto-Jumini ya.
"Semoga Semua Berbahagia"🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyerahan Barang Bukti
Parto duduk di salah satu sudut kafe sore itu. Masih dengan penampilan kumal beserta ranselnya. Sudah hampir sepuluh menit ia menunggu teman yang sudah dihubungi sebelumnya.
“Wah! Ibukota ternyata seramai ini ya, semasa hidup aku bahkan mimpi pengen maen ke sini, tapi malah kesampaiannya pas udah jadi arwah!”
Parto yang tengah menenggak es kopi, hampir saja tersedak karena mendengar celotehan Jumini.
“Ada apa, Kak? Ada yang bisa dibantu?” ucap seorang pramusaji yang kebetulan lewat di dekat Parto.
“Eh? E-enggak, Mbak. Cuma anu tadi, uhuk!”
Merasa tak ada yang perlu dibantu, pramusaji itu pun meninggalkan Parto dan melanjutkan pekerjaannya.
Seorang pria muncul dari tangga, dengan penampilan rapi, bersih dan tampan. Wajah yang bulat dengan pipi chubby, bibir tebal dengan mata sedikit sipit, rambut klimis disisir belah pinggir. Terlihat jelas pekerjaannya pastilah sangat mapan dan pandai mengurus diri, serta memperhatikan detail penampilannya.
Berbanding terbalik dengan Parto yang hanya mengenakan kemeja kotak abu-abu yang sedikit kucel karena beberapa hari tersimpan di dalam ransel. Serta celana jeans kumal yang tadi pagi masih agak basah, tapi karena Parto hanya membawa ganti satu itu, jadi terpaksa dipakainya.
Pria itu berhenti sejenak, “Parto?” sapanya ragu-ragu.
“Huum, duduk sini Man!” sambut Parto seraya melambaikan tangan dan tersenyum lega. “Akhirnya kamu datang juga, baru selesai kerja toh?”
“Iya. Jadi ada perlu apa, tumben ngajak ketemuan diluar.”
“Jadi, aku nggak tahu bagaimana prosedur kalau mau minta tolong melakukan sesuatu hal yang berhubungan dengan pekerjaanmu. Jadi aku milih ketemu di sini.” Parto mulai mengutarakan niatnya dengan jujur.
Parto mengeluarkan dua plastik dari ranselnya. Yang satu berisi pakaian dari jasad wanita berwajah rusak, dan satu lagi plastik kecil berisi beberapa helai rambut.
“Apa ini?” tanya Sartiman dengan kedua alis terpaut.
“Jadi,—” Parto pun menceritakan mengenai penemuan jasad. “Ada alasan yang tak bisa kuceritakan, tapi intinya bantu aku mencari tahu pemilik benda-benda ini. Bisa kan?”
Sartiman mendengus, menatap Parto mencoba mencari tahu sesuatu dari ekspresinya. Namun yang ia dapati hanya wajah lesu dan pucat, seakan temannya itu tak tidur nyenyak berhari-hari.
“Kalau kamu nggak jujur, aku juga tak punya alasan untuk membantumu,” tolak Sartiman lalu melipat kedua tangannya di dada.
"Ayolah, Man. Aku lagi nganggur sekarang, keuanganku, bahkan hidupku sedang dibawah garis kemiskinan, apa nggak bisa kamu bantu aku kali ini?”
Sartiman dan Parto mulai berteman saat keduanya tinggal di kost yang sama. Keduanya semakin dekat dan akrab saat Parto sering membagi lauknya untuk Sartiman. Lauk yang dibawa Parto dari rumah, bekal dari sang ibu, berupa kering tempe campur teri dan kacang, sedikit pedas menggigit, sangat lezat jika disantap dengan nasi hangat.
Keadaan berbanding terbalik, karena saat itu, Sartiman yang berasal dari kampung, terkadang uang sakunya pas-pasan, dan Parto adalah satu-satunya teman yang peka akan hal itu, meski Sariman tak pernah bercerita.
“Baiklah, tapi berjanjilah bahwa kamu tidak sedang terlibat dalam kasus kejahatan apapun!” seru Sartiman menegaskan.
“Ah, tenang saja. Dan satu lagi, nanti hasilnya kirimkan saja ke emailku ya, soalnya aku lagi nggak dirumah.”
“Kan, mencurigakan kamu ini!”
“Tenang, Man. Yakin deh, aku cuma lagi banyak urusan,” kilah Parto berusaha agar temannya tak berubah pikiran. “Ah, satu lagi, Man. Tolong jangan kasih tahu ibu ya, kalau kita ketemu, nanti kalau urusanku selesai, akan aku ceritakan semua, dan untuk sementara, aku titip ibuku, tolong sesekali kamu jenguk ya.”
“Ya, Tentu. Tapi tak bisa sering, pekerjaannku—”
“Ya, aku paham. Waktuku juga tak banyak, aku harus segera balik, ada banyak hal yang harus cepat kuselesaikan.”
Mereka pun berpisah di terminal.
“Terimakasih ya, Man. Berkatmu aku nggak ketinggalan bus.”
“Hmm, sama-sama. Yakin nggak mau kasih tahu aku kamu mau ke kota mana?” tuntut Sartiman sedikit merasa khawatir pada temannya itu.
“Nanti saja, jangan khawatir, semua baik-baik saja. Anggap saja aku sedang mengasingkan diri, liburan di tempat yang tenang.”
Percakapan pun selesai saat bus yang akan membawa Parto kembali ke kampung Kalibaru pun tiba. Perjalanan pun kembali ditempuh Parto.
.
.
.
Di kampung, Lasmi tengah duduk di teras rumahnya, tengah belajar memecahkan beberapa soal matematika yang ditinggalkan oleh Parto saat keduanya berpisah di terminal kemarin pagi.
“Selesaikan ini, kalau jawabannya benar semua, nanti kapan-kapan aku ajak keliling kotaku!” ucap Parto seraya menyerahkan beberapa lembar kertas penuh coretan tangannya.
Walau menerima dengan cemberut, tapi tak ada pilihan bagi Lasmi, selain menurut, karena kebetulan tiket bus juga tinggal sisa satu.
Lasmi tampak serius mengerjakannya. Pasalnya tak pernah ada yang mau mengajaknya pergi ke kota. Paling jauh mereka hanya akan pergi ke pasar induk yang letaknya bersebelahan dengan terminal. Jadi, ketika Parto menawarkan keliling ibukota yang jauh lebih besar, ia menjadi bersemangat.
.
.
.
Sementara itu di rumahnya, Bu Gemi tengah bercakap dengan beberapa temannya yang datang mengucapkan bela sungkawa.
“Walah, Yu. Kasihan ya, Jodohkan lagi aja itu Sukijo sama janda di Kampungku. Orange baik, pinter masak, lugu banget, Jan blas nggak neko-neko.” Seorang ibu dengan lipstik menor berujar seraya mengunyah kacang kulit rebus.
“Nanti lah, Yu. Pemakaman juga baru saja selesai.”
“Selidiki dulu aja tapi, kalau memang nggak neko-neko kenapa jadi janda?” nyinyir ibu lainnya.
“Hush! Dia janda karena laki-lakinya mati pas jadi TKI!”
“Owalah. Makasih infonya loh Yu. Eh, tapi Yu, tak perhatikan kok bajumu ganti terus tiap hari, dastermu yo apik-apik!” sahut Bu Gemi.
“Oh, iya ini, anakku yang beliin.”
“Weh? Bukan anakmu masih sekolah SMA?”
“Iyo, aku juga sing mbayar. Tapi belinya canggih sekarang, cuma pakai hape. Kita nunggu aja dirumah, beberapa hari kemudian itu paket wis dianter sampe rumah.”
“Loh? Kok canggih tenan, Yu?”
“Yu Gemi pengen? Bilang aja sama anakku, nanti tinggal ngasih jasa pesan, ntar bayare barang kalau udah sampai rumah wae.”
“Larang-larang mesti, Yu. Emoh aku nggak punya duit!” sahut Bu Gemi.
“Heleh jangan bilang nggak punya uang, itu yang nempel di tangan, leher, apa?”
“Nah, pasti uang tinggalane Jumini juga banyak, kan bisa dipakai itu, Yu.”
Owalah dasar para ibu-ibu, lihat barang berkilau dikit aja nggak bisa nahan diri. Apalagi melihat kepolosan Bu Gemi, rasanya menjadi lahan empuk bagi Bu Anjar untuk mendapatkan keuntungan.
“Besok, mainlah ke rumahku, nanti tak kasih tahu biar dapet barang bagus dengan harga murah.”
Bu Gemi yang sudah lama menahan diri untuk hidup seadanya semenjak suaminya meninggal, akhirnya tergiur untuk kembali menjadi pusat perhatian.
‘Sudah saatnya aku membalas ejekan dan tatapan sinis ibu-ibu di kampung ini! Lumayan mereka yang menjauhiku karena aku miskin, pasti akan datang mengiba lagi padaku!’ batinnya mulai merencanakan apa saja yang ingin dia beli setelah menjual perhiasan yang ia temukan di lemari Jumini.
...****************...
Bersambung .....
Pie gess, othor sudah cocok belum kalau daftar jadi kang sales panci rombeng🥴🥴🤣
dua orang cewek dari masa lalumu dan masa depanmu sedang melarangmu pergi.
gimana to...? jadi pergi atau tetap bertahan walaupun menakutkan?
siapa yg di rulo dan siapa yg di ikuti coba