para mahasiswa dari Institut Seni Indonesia tengah melakukan projek pembuatan filem dokumenter ke sebuah desa terpencil. Namun hal tak terduga terjadi saat salah satu dari mereka hilang di bawa mahluk ghoib.
Demi menyelamatkan teman mereka, mereka harus melintasi batas antara dunia nyata dan alam ghoib. Mereka harus menghadapi rintangan yang tidak terduga, teror yang menakutkan, dan bahaya yang mengancam jiwa. Nyawa mereka menjadi taruhan dalam misi penyelamatan ini.
Tapi, apakah mereka sanggup membawa kembali teman mereka dari cengkeraman kekuatan ghoib? Atau apakah mereka akan terjebak selamanya di alam ghoib yang menakutkan? Misi penyelamatan ini menjadi sebuah perjalanan yang penuh dengan misteri, dan bahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10
Langit terluka oleh guratan jingga dan ungu, pertanda hari mulai meredup. Segera, suasana lokasi pemotretan berubah menjadi hiruk pikuk aktivitas pembersihan. Pak Parno, dengan wajah yang sudah mulai dikerutkan oleh kekhawatiran, berteriak-teriak memberikan instruksi agar semuanya cepat berkemas. Kegelisahan terpancar dari setiap gerakannya; ia tak ingin mereka terjebak kegelapan di jalanan yang berkelok-kelok.
Ia tak hanya memerintah, tetapi ikut serta membantu merapikan peralatan, tangannya cekatan melipat kain latar dan memasukkannya ke dalam tas. Kepanikannya yang teramat sangat justru memicu semangat kerja sama yang luar biasa dari tim. Semua bergerak cepat, efisien, dan terkoordinasi dengan baik. Dalam waktu singkat, semua peralatan telah dikemas rapi dan dimuat ke dalam mobil.
Pak Parno dan sebagian tim berangkat lebih dulu dengan mobil jeep tua andalannya, lampu depan menerobos kegelapan. Queen, Wati, Arjuna, dan Fahri menyusul di belakang dengan mobil yang lebih kecil. Di dalam mobil kecil itu, suasana sedikit lebih tenang.
"Capek banget, ya?" kata Wati, menguap kecil sambil merebahkan kepala di bahu Queen.
Queen mengangguk, sambil memegang perutnya. "Iya, apalagi gue tadi... kamu tahu lah."
Wati tertawa kecil. "Iya, iya, aku ngerti kok. Mungkin karena pakai celana pendek juga, ya? Lain kali pakai celana panjang aja, kak. Biar lebih nyaman."
"Iya, mungkin," jawab Queen. "Untung Baskoro baik banget, ngasih jaketnya."
"Baskoro memang perhatian," kata Wati, tersenyum. "Dia kayaknya suka sama kak Queen, deh."
Queen tersipu. "Ah, jangan ngawur. Dia cuma baik aja kok."
"Siapa tahu, kan? Lagian, Kak Queen juga cantik kok. Pasti banyak yang suka," goda Wati.
Queen tersenyum, sedikit lega karena obrolan ringan dengan Wati berhasil mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit yang masih sedikit terasa.
Kegelapan menyelimuti jalanan pedesaan. Hanya cahaya lampu mobil yang menerangi jalan sempit yang diapit oleh hutan lebat di kanan dan kiri. Bayangan pepohonan yang panjang dan gelap terbentang di sepanjang perjalanan. Mobil mereka melaju pelan, mengikuti sorot lampu mobil di depan.
“Grakkkk!”
Suara keras itu mengagetkan semua penghuni mobil. Mobil berhenti mendadak, seakan menghantam sesuatu yang keras. Seketika, suasana panik menyelimuti kabin. Wati menjerit kecil, tubuhnya menegang. Arjuna meraih tangannya, berusaha menenangkan. Queen memegangi perutnya, rasa sakit yang sebelumnya mereda kembali terasa. Fahri, dengan naluri seorang fotografer, meraih ponselnya, siap merekam apa pun yang terjadi.
“Tunggu, Bapak lihat keluar dulu, ya,” kata sang sopir, Pak Budi, suaranya sedikit gemetar.
Pak Budi membuka pintu mobil, turun dengan hati-hati, dan memeriksa bagian depan mobil. Ia berjalan mengelilingi mobil, memeriksa setiap sudut, sorot lampu ponselnya menerangi sekeliling yang gelap. Lama ia memeriksa, kemudian kembali ke mobil dengan wajah penuh kebingungan. Keringat dingin membasahi dahinya.
“Bagaimana, Pak? Menabrak apa, Pak?” tanya Arjuna, suaranya terdengar cemas.
Pak Budi menggaruk-garuk kepalanya yang mulai memutih. “Aduh, Mas, saya sendiri tidak tahu. Tadi seperti menabrak kayu yang cukup besar. Tapi, kok sekarang tidak ada apa-apa, ya? Tidak ada bekas tabrakan sama sekali.”
“Mungkin menabrak batu besar, Pak. Sudahlah, Pak, coba jalan lagi saja. Nanti mobil di depan malah jauh,” saran Fahri.
Pak Budi kembali masuk ke mobil, tangannya gemetar saat ia memutar kunci kontak. Mesin mobil kembali hidup, dan mereka melanjutkan perjalanan. Namun, semakin lama mereka melaju, semakin terasa ada yang aneh. Jalanan yang mereka lewati terasa asing.
“Loh, Pak, kok kayaknya jalannya beda, ya?” tanya Queen, matanya mengamati lingkungan sekitar. Ia merasa tidak mengenali jalan ini.
Pak Budi mengerutkan kening, menatap jalanan di depan. “Iya, Mbak. Tadi kita kayaknya tidak lewat sini, deh.”
Mobil melaju pelan, melewati jalanan yang mulus beraspal, namun sepi dan sunyi. Di kanan dan kiri, semak-semak tumbuh lebat, menutupi pandangan. Tidak ada rumah, tidak ada lampu, hanya kegelapan dan kesunyian yang mencekam.
“Mobil di depan itu apa tidak merasa salah jalan, ya?” gerutu Fahri.
Ia masih sibuk merekam dengan ponselnya, mencoba mengabadikan setiap detail situasi yang semakin menegangkan. Mobil mereka melambat, mengikuti mobil di depan yang tampak berhenti di tengah jalan.
Semua orang di dalam mobil menatap ke depan, memperhatikan mobil di depan mereka. Namun, yang mereka lihat selanjutnya membuat bulu kuduk mereka merinding. Sorot lampu mobil di depan itu, bukannya mengarah ke depan, tetapi justru mengarah ke arah mereka. Sebuah firasat buruk mulai merasuk ke dalam hati setiap penumpang.
“Loh, kok tiba-tiba mobilnya mengarah ke kita, sih?” tanya Arjuna.
BERSAMBUNG....