NovelToon NovelToon
Di Ujung Cakrawala

Di Ujung Cakrawala

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Anak Genius / Anak Yatim Piatu / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: kaka_21

"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.

"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.

Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"

"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.

"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"

Diam.

"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.

Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10: Isyarat yang Tak Terucap

Suara peluit terdengar nyaring, mengiris udara pagi yang masih sejuk. Barisan taruna mulai kembali memenuhi lapangan, satu per satu berbaris dengan seragam lengkap. Suasana yang sempat lengang selama hari pesiar kini kembali riuh dengan suara pelatih dan dentuman sepatu yang menghentak tanah. Pelatih berteriak lantang "Taruna! Tegak grak! Hadap kanan grak! Lari keliling lapangan, dua putaran!" Cakra dan Arlan berdiri dalam barisan, kini kembali menjadi bagian dari mesin disiplin akademi. Keringat mulai mengalir di dahi mereka meski hari baru saja dimulai. Arlan, seperti biasa, mengeluh kecil. Arlan berbisik di samping Cakra "Aduh... healing sehari doang langsung disuruh lari. Nggak ada masa adaptasi apa nih?" Cakra tersenyum tipis, tapi tak menanggapi sepenuhnya "Hmm..."

Langkah Cakra mantap, tapi sorot matanya kosong. Ia tampak tidak sepenuhnya hadir. Sesekali ia melirik ke arah pos jaga, seolah berharap sesuatu—atau seseorang—muncul dari sana. Arlan menyadari keanehan "Lo kenapa, Bro? Muka lo kayak habis ditinggal janjian." Cakra menarik napas panjang "Laras belum ngehubungin gue lagi... dari kemarin sore." Arlan mengangkat alis, lalu mengangguk pelan "Ah... kirain kenapa. Ya sabar aja, mungkin dia lagi sibuk." Cakra hanya mengangguk tanpa semangat. Pikirannya masih tertinggal di halaman barak kemarin, saat ia melihat layar ponselnya bertuliskan: “Nomor sedang berada dalam panggilan lain.” Kini, meski raganya ikut berlari, hatinya tetap terdiam di satu tempat yang tak bisa ia capai.

Cakra duduk sendirian di ujung barak, ponsel di tangan. Ia menatap layar dengan raut cemas. Sudah lima kali mencoba menelepon Laras sejak pagi tak satupun dijawab. Cakra mulai gelisah "Biasanya dia nggak kayak gini… Kenapa nggak diangkat? Apa aku salah ngomong kemarin? Atau… dia lagi sama orang lain?" Ia mendesah, lalu menyimpan ponsel ke saku celana, tapi hatinya tetap gelisah.Suasana kantin cukup riuh, para taruna tertawa dan bercerita soal latihan esok hari. Namun di meja pojok, suasananya berbeda.

Cakra duduk mematung, menyentuh makanannya tanpa benar-benar menyuap. Di sekelilingnya, Arlan, Hakim, dan Darma memperhatikan dalam diam. Arlan melirik Cakra dan berbisik ke Hakim "Dia udah begini dari tadi sore." Hakim mencoba membantu "Bro, kalau emang penting, kasih dia ruang. Tapi jangan dipendam semua sendiri juga. Kadang orang diam itu bukan karena kuat, tapi karena nggak tahu harus cerita ke siapa." Cakra hanya menoleh dan tersenyum tipis, tak menjawab.

Darma tetap tenang, sambil mengunyah "Kadang diem itu lebih baik dari ngomong. Apalagi kalo isi kepala udah penuh. Nanti juga reda sendiri." Suasana di meja kembali sunyi. Tawa dari meja lain terdengar kontras. Cakra tetap diam, matanya kosong menatap nasi yang tak disentuhnya. Barak sudah sepi. Lampu-lampu dipadamkan, hanya menyisakan temaram dari sudut-sudut tertentu. Di ranjang atasnya, Cakra terbaring tapi matanya terbuka lebar. Pikirannya masih belum tenang. Perlahan, ia bangkit, mengambil buku catatan kecil milik mendiang ayahnya dari laci. Ia duduk di pojok ranjang dengan senter kecil di tangan.

Cakra mulai menulis untuk menenangkan pikirannya "Hari ini... entah kenapa rasanya berat. Bukan karena push-up, bukan karena baris-berbaris... tapi karena sesuatu yang nggak kelihatan: perasaan." ia menghela nafas sebelum melanjutkan, "Laras nggak jawab pesanku. Aku tahu mungkin dia sibuk, tapi... rasa khawatir ini nggak bisa kuabaikan." ia menatap bukunya merasa berat untuk melanjutkan. "Apa ini tanda bahwa aku mulai terlalu bergantung pada kehadirannya? Atau ini ujian pertama dari perasaanku sendiri?" Ia berhenti menulis. Tatapannya kosong, mengarah ke tembok. Dari luar, terdengar angin berembus pelan. Arlan yang semula tidur, tampak mengintip dari ranjang bawah tapi tak berkata apa-apa. Ia hanya menarik selimut, pura-pura tak melihat. Cakra berusaha menenangkan pikiran nya, matanya menerawang menembus langit-langit.

"Ayah... kalau Ayah masih hidup, mungkin aku bisa tanya: gimana caranya jadi kuat, saat kamu bahkan nggak tahu apa yang harus kamu lawan?"

Buku catatan ditutup perlahan. Ia kembali berbaring. Meski matanya terpejam, pikirannya tetap berjalan.

keesokan harinya,setelah lelah mengikuti latihan para taruna beristirahat di barak masing-masing.Suasana barak mulai tenang. Beberapa taruna sudah tertidur, sementara Cakra baru saja kembali dari kamar mandi dengan handuk di leher.

Dari kejauhan, ia melihat Arlan duduk di pojok ruangan, berbicara pelan lewat ponselnya. Arlan berbicara dengan suara lembut. "Iya... tapi aku nggak bisa terlalu lama, udah malam di sini."

"Kamu juga jaga diri, ya. Nanti aku kabarin lagi besok." Cakra berhenti sejenak di ambang pintu. Suara itu... Bukan suara Arlan yang biasa ia dengar saat main game atau bercanda. Suara itu lebih lembut. Lebih... personal. Telinga Cakra menangkap sekelebat suara perempuan dari speaker ponsel Arlan. Suara yang sangat dikenalnya. Ia memicingkan mata. Napasnya sedikit berat, tapi ia menahan diri. Cakra berbicara dalam hati "Nggak mungkin... itu suara Laras?"

Arlan mendadak menoleh dan kaget melihat Cakra berdiri di belakangnya. Dengan cepat ia menutup laptop yang terbuka di depannya. "Eh... lo udah balik, Bro? Gue lagi ngecek... tugas barusan." Lalu cepat-cepat meletakkan ponsel ke bawah bantal. Cakra hanya mengangguk kecil dan berjalan ke tempat tidurnya tanpa berkata apa-apa. Tapi pikirannya kini penuh tanda tanya.

Keesokan Harinya  Siang Hari,Di barak kompi B Cakra tengah menyelesaikan tugas membaca dokumen pelatihan. Arlan mendekatinya sambil membawa dua botol minuman energi. Arlan tersenyum lebar "Bro! Lo tau nggak? Laras... dia keterima di universitas impiannya!" Cakra yang awalnya serius, mendongak dengan senyum kaget. "Serius? Wah, itu kabar bagus banget, Lan! Gila... akhirnya dia bisa juga ya." Tapi dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang aneh.

Baru saja ia menerima kabar itu dari Arlan…

Dan belum sempat ia memproses, tiba-tiba

[Ponsel Cakra Berdering – Panggilan Masuk: Laras]

Cakra menatap layar ponselnya. Matanya bergeser ke arah Arlan, yang kini tampak diam—menyibukkan diri dengan meminum botolnya.

Dengan ragu, Cakra mengangkat telepon itu.

"Cakra... akhirnya aku keterima... maaf baru kasih kabar."

Cakra menatap Arlan yang hanya tersenyum tipis dari jauh.

Ia menjauh sedikit dari Arlan untuk menjawab telepon itu lebih tenang, tapi hatinya kini jauh dari tenang. "Kenapa gue merasa... ada sesuatu yang Arlan sembunyiin?"

1
Siyantin Soebianto
ceritanya jadi penisirin gini ya😇
Nanang
SEMANGAT Thor berkarya nya ya 😇
kaka_21: siap kakak,terimakasih udah mampir
total 1 replies
piyo lika pelicia
semangat ☺️
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf
kaka_21: baik kak, terimakasih
total 1 replies
piyo lika pelicia
Assalamualaikum, paman pulang! waduh ... makan apa nih?"
piyo lika pelicia
Tiba-tiba pintu terbuka
piyo lika pelicia
Rama
piyo lika pelicia
"Ee.. kamu mau kemana" pake nanya. Virza tertawa kecil. "Aku mau
piyo lika pelicia
"Terimakasih, sepertinya tidak pernah."
piyo lika pelicia
ibu dan juga bapaknya kemana
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
tidak boleh berkata kasar pada anak mu sendiri 😒
kaka_21: sabar kak, sabar
total 1 replies
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
iklan untuk kakak ☺️
piyo lika pelicia
dasar ibu yang buruk
piyo lika pelicia
adik yang baik ☺️
piyo lika pelicia
"Eh, Riz. Ada apa?"
Inumaki Toge
Ayatnya enak dibaca,lanjut semangat ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!