Lanjutan dari novel Reinkarnasi Pendekar Dewa
Boqin Changing, pendekar terkuat yang pernah menguasai zamannya, memilih kembali ke masa lalu untuk menebus kegagalan dan kehancuran yang ia saksikan di kehidupan pertamanya. Berbekal ingatan masa depan, ia berhasil mengubah takdir, melindungi orang-orang yang ia cintai, dan menghancurkan ancaman besar yang seharusnya merenggut segalanya.
Namun, perubahan itu tidak menghadirkan kedamaian mutlak. Dunia yang kini ia jalani bukan lagi dunia yang ia kenal. Setiap keputusan yang ia buat melahirkan jalur sejarah baru, membuat ingatan masa lalunya tak lagi sepenuhnya dapat dipercaya. Sekutu bisa berubah, rahasia tersembunyi bermunculan, dan ancaman baru yang lebih licik mulai bergerak di balik bayang-bayang.
Kini, di dunia yang telah ia ubah dengan tangannya sendiri, Boqin Changing harus melangkah maju tanpa kepastian. Bukan lagi untuk memperbaiki masa lalu, melainkan untuk menghadapi masa depan yang belum pernah ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Boqin Changing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meninggalkan Kota Kashgar
Tuan Kota Ji Wei tampak diam mendengar ucapan Boqin Changing. Keheningan itu bukan karena ia tidak mengerti. Justru sebaliknya, setiap kata yang diucapkan pemuda di hadapannya menancap tepat ke pusat hatinya. Ji Wei menunduk dalam, rahangnya mengeras, jemarinya mengepal di balik lengan bajunya.
Dalam hatinya, ia tahu… anaknya ini memang sangat nakal sejak kecil. Ji Yayi bukan tipe anak yang tidak pernah diberi nasihat olehnya.
Sejak masih bocah, ia selalu bertindak sesuka hati, gemar memanfaatkan statusnya sebagai putra Tuan Kota, dan sering melangkahi batas. Ji Wei telah berkali-kali menegurnya. Berkali-kali menghukumnya. Bahkan berkali-kali menundukkan harga dirinya sebagai seorang ayah demi berharap anak itu berubah.
Ia selalu berkata pada dirinya sendiri. Kelak, saat ia dewasa, ia akan mengerti. Kelak, saat ia memikul tanggung jawab, ia akan berubah. Namun hari ini… Ji Wei akhirnya tahu. Anaknya tidak pernah berubah.
Bukan hanya tidak berubah, ia justru tumbuh menjadi kesalahan besar yang nyaris menghancurkan segalanya. Kesalahan yang hampir membuat Kota Kashgar hancur berantakan. Kesalahan yang akan menyeret ribuan nyawa ke ambang kematian. Kesalahan yang membuat pendekar terkuat Kekaisaran Qin berdiri di hadapannya dengan tatapan dingin yang nyaris tanpa emosi.
Lebih parah lagi… Ji Wei sadar, anaknya telah melakukan kebohongan besar. Bukan kebohongan kecil yang bisa ditutup dengan harta atau kekuasaan, melainkan kebohongan yang menyentuh garis merah yang tidak boleh dilakukan. Mencuri artefak, memalsukan nama leluhur, dan berani menghunus senjata pada Boqin Changing. Nama itu saja sudah cukup untuk membuat jantungnya berhenti berdetak.
Ji Wei pernah mendengar desas-desusnya. Bukan satu atau dua kali. Boqin Changing, sosok yang sangat dekat dengan Putra Mahkota Kekaisaran Qin. Bahkan dengan Kaisar Qin Aiguo sendiri. Pendekar yang keberadaannya bukan sekadar kekuatan namun akan didengarkan pihak kekaisaran dengan sangat baik.
Jika pemuda ini menginginkan kematian Ji Yayi… tidak akan ada satu pun hukum yang berani menentangnya. Lagipula Berdasarkan hukum Kekaisaran Qin, perbuatan Ji Yayi sudah lebih dari cukup untuk mendapatkan hukuman mati.
Namun masalahnya tidak sesederhana itu. Jika anaknya dieksekusi di depan umum, para penduduk akan bertanya-tanya. Mereka akan menggali alasan. Mereka akan berbisik. Mereka akan menyebarkan rumor. Pada akhirnya… nama besar Keluarga Ji akan tercoreng habis-habisan.
Itu bukan hanya buruk. Itu memalukan.
Namun sekarang yang terpenting saat ini hanyalah satu hal. Meredakan kemarahan Boqin Changing terlebih dahulu.
Ji Wei menarik napas dalam-dalam. Ia perlahan mengangkat kepalanya, lalu memandang pemuda di kursi itu. Dalam benaknya, ia berpikir… Boqin Changing menyerahkan keputusan ini padanya karena masih menghormatinya sebagai Tuan Kota.
Sebagai seorang ayah. Sebagai pemimpin kota. Ia tentu tidak tahu alasan sebenarnya mengapa Boqin Changing menyerahkan masalah ini kepadanya.
Setelah menimbang semuanya, Ji Wei akhirnya membuat keputusan. Ia melangkah maju satu langkah.
“Yi’er…” suaranya serak namun tegas. “Berdirilah.”
Ji Yayi terkejut. Dengan lutut gemetar, ia perlahan berdiri. Di wajahnya muncul secercah harapan. Harapan bodoh yang ia pegang erat.
Ji Wei membuka kedua lengannya.
“Datanglah,” katanya pelan. “Peluk ayahmu.”
Mata Ji Yayi berbinar. Tanpa ragu, ia melangkah maju dan memeluk tubuh ayahnya erat-erat. Wajahnya bahkan menunjukkan senyum tipis, ia yakin, ayahnya akan membelanya.
Namun pada saat itu juga, mata Ji Yayi terbelalak. Ia merasakan dingin menusuk di perutnya. Perlahan… terlalu perlahan… ia menunduk.
Darah.
Darah merah gelap mengalir membasahi pakaian bagian depannya. Pedang pendek tersembunyi di lengan baju Ji Wei telah menembus tubuhnya, tepat ke jantung.
“A… ayah…” suara Ji Yayi bergetar, nyaris tak terdengar. “Kau....”
Ji Wei memejamkan matanya sejenak. Saat ia membukanya kembali, tatapannya penuh duka yang dalam.
“Maafkan aku, Yi’er,” katanya lirih. “Namun… ini yang terbaik.”
Tubuh Ji Yayi melemas. Pelukannya terlepas. Ia terjatuh ke lantai aula dengan suara berat, darah terus mengalir, napasnya terhenti perlahan.
Ji Wei berdiri kaku di tempatnya. Ia mau tidak mau harus memberikan hukuman kematian kepada anaknya sendiri. Demi menegakkan keadilan. Sekaligus menjaga kehormatan Keluarga Ji.
Tetua Ai dan Tetua Yu tampak terkejut. Untuk pertama kalinya sejak awal pertemuan, raut wajah mereka berubah drastis. Mereka tidak menyangka, bahkan setelah semua yang terjadi, Ji Wei akan mengambil keputusan sekejam itu.
Sha Nuo pun sedikit terkejut. Alisnya terangkat, lalu ia menyeringai kecil. Namun hanya satu orang… yang tampak benar-benar biasa saja, Boqin Changing.
Ekspresinya tidak berubah. Tatapannya tetap tenang, seolah apa yang baru saja terjadi hanyalah hasil dari perhitungan yang wajar.
Sha Nuo mendekat sedikit, lalu berbisik santai di telinga Boqin Changing.
“Kau kejam sekali, Tuan Muda,” katanya dengan nada santai namun tajam. “Membuat seorang ayah yang menentukan nasib anaknya sendiri. Padahal tanganku bisa kupinjamkan dengan sukarela untuk membunuh bocah itu.”
Ia melirik mayat Ji Yayi sekilas.
“Sejujurnya,” lanjutnya pelan, “sedari tadi aku sudah sangat kesal dengan tingkahnya.”
Ji Wei menatap tubuh putranya yang telah tergeletak tak bernyawa di lantai aula. Dadanya naik turun menahan sesak yang menyesakkan, namun sebagai Tuan Kota, ia memaksa dirinya tetap berdiri tegak. Perlahan, ia melangkah maju ke hadapan Boqin Changing.
Dengan kedua tangan mengepal lalu dilepaskan, Ji Wei membungkukkan badan dalam-dalam.
“Pendekar Chang, aku kembali meminta maaf,” ucapnya lirih, namun sarat dengan penyesalan yang tak terukur. “Atas kelalaianku sebagai ayah. Atas kebodohanku sebagai pemimpin kota.”
Boqin Changing tidak menjawab apa pun. Tatapannya tenang, dingin, seolah emosi dunia tak lagi mampu mengusiknya. Ia hanya menganggukkan kepala satu kali, sebuah isyarat singkat namun cukup untuk mengakhiri segalanya.
Ia kemudian bangkit berdiri. Sha Nuo langsung melangkah ke sisinya, berdiri sedikit di belakang dengan sikap santai namun waspada.
Sebelum melangkah pergi dari rumah kediaman Tuan Kota, Boqin Changing berhenti sejenak. Ia menoleh ke arah Ji Wei.
“Kau masih memiliki putra-putri yang lain,” katanya datar. “Didiklah mereka dengan baik. Jangan ulangi kesalahan yang sama.”
Ji Wei terdiam sejenak, lalu kembali membungkuk lebih rendah dari sebelumnya.
“Aku mengerti,” jawabnya singkat. “Aku berjanji.”
Boqin Changing tidak berkata lagi. Ia melangkah keluar aula, diikuti Sha Nuo. Keduanya berhenti di halaman luas kediaman Tuan Kota. Dari belakang, Tetua Ai, Tetua Yu, dan Ji Wei turut menyusul.
Boqin Changing menangkupkan tangan sekilas.
“Terima kasih atas kerja sama kalian,” ucapnya singkat.
Sesaat kemudian, tubuhnya terangkat perlahan dari tanah. Angin berputar lembut di bawah kakinya sebelum ia melesat ke langit, meninggalkan halaman kediaman Tuan Kota. Sha Nuo mendengus kecil, lalu ikut terbang menyusulnya tanpa ragu.
Begitu kedua sosok itu lenyap dari pandangan, lutut Ji Wei akhirnya tak lagi sanggup menopang tubuhnya. Ia ambruk ke tanah dengan suara berat, napasnya terengah, wajahnya pucat pasi.
Tetua Yu segera mendekat dan menopang bahunya.
“Tuan Kota, bagaimana keadaanmu?” tanyanya dengan nada khawatir.
Ji Wei menggeleng pelan, memaksakan senyum pahit.
“Aku baik-baik saja,” katanya. “Terima kasih, Tetua Yu. Juga Tetua Ai… jika bukan karena kalian, Kota Kashgar mungkin sudah hancur oleh serangan para siluman.”
Tetua Ai dan Tetua Yu saling berpandangan sejenak. Tak ada kebanggaan di mata mereka, hanya kelelahan dan pemahaman yang sama.
“Kami juga ijin pamit,” ujar Tetua Ai akhirnya.
Tetua Ai dan Tetua Yu tidak ingin membahas misi yang selesai dan bayarannya. Keduanya tahu, saat ini Tuan Kota sedang berada di titik terendah dalam hidupnya. Namun mereka juga paham, apa yang dilakukan Ji Yayi memang sudah melampaui batas yang bisa ditolerir. Keduanya kemudian meninggalkan kediaman Tuan Kota dan kembali menuju penginapan milik Sekte Awan Putih.
Sementara itu, di langit yang luas, Sha Nuo melirik Boqin Changing sambil terbang berdampingan.
“Artefak yang kau dapatkan tadi,” katanya santai. “Sebenarnya apa gunanya?”
Boqin Changing menjawab tanpa menoleh.
“Itu artefak lintas dimensi.”
Sha Nuo terkejut sesaat. Alisnya terangkat, namun ia segera tertawa kecil dan mengendalikan ekspresinya.
“Hah… jadi hanya itu?”
Namun kalimat Boqin Changing selanjutnya membuatnya hampir kehilangan kendali terbangnya.
“Dan artefak itu,” lanjut Boqin Changing dengan nada datar, “bisa digunakan berulang-ulang.”
Sha Nuo membelalak.
“Apa…?!”
Untuk pertama kalinya sejak lama, keterkejutan nyata terpancar jelas di wajahnya.
💥💥💥💥
🔥🔥🔥