Kisah dewasa (mohon berhati-hati dalam membaca)
Areta dipaksa menjadi budak nafsu oleh mafia kejam dan dingin bernama Vincent untuk melunasi utang ayahnya yang menumpuk. Setelah sempat melarikan diri, Areta kembali tertangkap oleh Vincent, yang kemudian memaksanya menikah. Kehidupan pernikahan Areta jauh dari kata bahagia; ia harus menghadapi berbagai hinaan dan perlakuan buruk dari ibu serta adik Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Sudah beberapa hari berlalu sejak Areta dilarikan ke rumah sakit, terbaring tak sadarkan diri di ruang perawatan VIP.
Perlahan-lahan, Areta membuka matanya dan pandangannya samar, beradaptasi dengan cahaya lembut di ruangan itu.
Seluruh tubuhnya terasa lemas, dan ia merasakan ketidaknyamanan alat-alat medis yang menempel di tubuhnya.
Hal pertama yang ia lihat adalah siluet seorang pria tinggi dan tegap, berdiri memunggunginya di dekat jendela besar.
Cahaya matahari pagi dari luar jendela membentuk bayangan gelap pada sosok yang membuatnya terlihat semakin mengancam.
Areta segera mengenali postur tubuh dominan itu.
Ia terbaring di ranjang, terikat pada selang infus, dan tidak mampu bergerak.
Ketakutan yang selama ini ia coba tekan kembali menyeruak, membanjiri dirinya.
Ia mencoba bicara, mencoba mengeluarkan suara, namun tidak bisa.
Sebuah masker oksigen menutupi hidung dan mulutnya membuat protes dan pertanyaannya hanya teredam menjadi gumaman lirih di balik kain.
Vincent seolah merasakan tatapan Areta. Ia berbalik, matanya yang dingin dan tajam langsung mengunci pandangan Areta.
Tidak ada kelegaan, hanya tatapan posesif yang menegaskan kepemilikan.
Areta memalingkan wajah, tidak sanggup menatap mata suaminya.
Vincent melangkah mendekat, menekan tombol di samping ranjang untuk memanggil perawat, lalu berdiri tegak di samping Areta.
"Perawat akan segera datang. Jangan coba-coba bicara, dan jangan bergerak. Kamu masih menjadi milikku, Areta. Dan kali ini, kau berutang padaku karena aku sudah menyelamatkan nyawamu."
Beberapa saat kemudian, seorang perawat wanita masuk dengan senyum ramah, namun tatapannya terlihat tegang di hadapan Vincent.
"Nyonya Areta sudah sadar, Tuan Vincent," lapor perawat itu dengan hati-hati.
"Ganti infusnya. Dan berikan dosis penenang jika dia mencoba melarikan diri," perintah Vincent tanpa ekspresi, lalu menoleh pada Areta.
Perawat tersenyum dan mengganti masker oksigen Areta dengan selang oksigen yang tipis.
Dokter datang dan memeriksa keadaan Areta yang baru saja sadar.
"Syukurlah, semuanya sudah kembali normal. Anda hanya masih butuh waktu untuk istirahat total." ucap dokter.
Setelah itu dokter dan perawat keluar dari ruang perawatan.
"Kenapa aku disini?" tanya Areta.
Vincent mencondongkan tubuhnya ke arah Areta, mendekatkan wajahnya. Senyum tipis dan kejam terukir di bibirnya.
"Kenapa? Kamu benar-benar tidak ingat apa-apa?Kamu mencoba lari lagi. Bukan dari rumah, tapi dari dunia ini."
Areta mengernyitkan keningnya, mencoba mengingat kejadian sebelum ia tak sadarkan diri. Semuanya buram.
Ia hanya ingat rasa sakit yang membakar di tubuhnya setelah dipaksa meminum sesuatu,
dan kemudian kegelapan.
"Apa yang terjadi?" tanya Areta lagi, suaranya sangat lemah.
"Kamu keracunan, Areta," jawab Vincent datar, menjatuhkan bom di telinga Areta.
"Siapa yang meracuni ku" bisik Areta, tenggorokannya tercekat.
Vincent mengambil jeda sesaat, menikmati ekspresi horor di wajah Areta.
"Seseorang yang sangat dekat dengan kita, Areta. Seseorang yang tidak ingin melihatmu hidup, apalagi menjadi Nyonya di rumahku."
Ia menarik kursi lebih dekat, duduk, dan menggenggam tangan Areta yang bebas dari infus.
Genggaman itu kuat, bukan untuk menghibur, melainkan untuk mengklaim.
"Aku menyelamatkan nyawamu. Aku membawamu ke sini dan memastikan kamu hidup. Aku harus mengeluarkan banyak biaya dan tenaga untuk menjaga agar polisi tidak tahu bahwa istriku hampir mati karena racun di rumahku sendiri. Kamu berutang nyawa padaku, Areta."
Areta menarik tangannya, tetapi cengkeraman Vincent terlalu kuat.
Rasa takut Areta berganti menjadi kebingungan. Mengapa Vincent repot-repot menyelamatkannya.
"Kamu ingin tahu siapa yang melakukannya? Vincent menyeringai.
Areta menahan napas, menatap Vincent dengan tatapan penuh tanya dan ketakutan.
"Clara," bisik Vincent, nama itu diucapkan dengan nada ancaman yang dingin.
"Adikku, Clara. Dia menukar obatmu dengan Sianida setelah aku pergi."
Areta membelalakkan matanya saat mendengar perkataan dari Vincent.
"T-tapi kenapa...?"
"Karena dia mencintaiku, Areta," jawab Vincent tanpa emosi.
"Dia tidak suka aku menikahimu, meskipun dia tahu pernikahan ini hanya sandiwara. Dia menganggapmu penghalang, kuman yang harus dibersihkan dari rumahku."
"Mencintaimu? Bukankah kalian saudara kandung? Apakah kamu dan dia pernah..."
Areta memejamkan matanya dan tidak bisa meneruskan perkataannya.Vincent menatap Areta, senyum sinisnya mengembang tipis, seolah menikmati kengerian yang terpancar di mata istrinya.
"Kakak-adik? Itu hanya label publik, Areta. Di rumah ini, di antara kami, tidak ada batasan. Dia selalu menganggap dirinya 'Nyonya Vincent' yang sebenarnya. Dan ya," Vincent mencondongkan tubuhnya lagi, suaranya menjadi bisikan yang menggelitik telinga Areta, penuh pengakuan yang gelap.
"Aku dan dia pernah. Berulang kali."
Wajah Areta langsung memucat. Rasa mual yang parah menyerang perutnya.
Ia menutup mata, mencoba mencerna fakta mengerikan itu.
Kakak-adik yang menjalin hubungan terlarang, dan salah satunya mencoba membunuhnya. Dunia Vincent benar-benar neraka.
Areta membuka mata, tatapannya kini dipenuhi kebencian murni.
"Kalian berdua sungguh menjijikan. Aku tidak mau menjadi istrimu lagi, Vincent. Aku akan bekerja dan membayar lunas utang ayahku."
Vincent tertawa kecil, tawa yang menusuk tulang.
Ia melepaskan tangan Areta, membiarkan Areta berpikir bahwa ia punya pilihan.
Areta terdiam, menatap Vincent dengan campuran horor dan keputusasaan.
Ucapan Vincent tentang pengakuan gelap hubungan terlarang dengan Clara, menghantamnya lebih keras daripada racun.
"Bodoh! Kamu pikir aku menikahimu untuk apa? Utangmu tidak lagi bisa dibayar dengan uang, Areta. Utangmu dibayar dengan hidupmu, dengan penyerahanmu, dengan menjadi istriku."
Ia bangkit dan berdiri di samping ranjang, menaungi tubuh ringkih Areta.
"Kamu tidak punya pilihan untuk pergi. Dan sekarang, kamu berutang satu nyawa padaku. Dan aku akan membiarkanmu, istriku, yang memberikan hukuman pada Clara."
Vincent meninggalkan Areta sendirian, meninggalkan janji hukuman dan kenyataan pahit yang menusuk.
Sejak Vincent pergi, hanya ada satu pikiran di benak Areta yaitu melarikan diri.
Ia tidak bisa hidup dengan monster seperti Vincent, yang menikahinya hanya untuk kepemilikan dan penyiksaan, yang memiliki hubungan gelap dengan saudara kandungnya sendiri dan yang membiarkan adiknya mencoba membunuhnya.
Ia harus pergi, bahkan jika itu berarti mati di jalanan.
Ia berpura-pura tidur setiap kali perawat masuk, mengumpulkan kekuatan mental dan fisik yang tersisa.
Jarum jam menunjukkan pukul dua belas malam. Rumah sakit VIP itu sunyi. Lampu koridor meredup.
Dengan tangan gemetar, Areta meraih jarum infus di lengannya.
Ia memejamkan mata, menahan napas, lalu mencabutnya dengan gerakan cepat.
Rasa perih yang tajam dan sedikit darah yang mengalir di pergelangan tangannya tak sebanding dengan rasa takut yang ia rasakan pada Vincent.
Ia bangkit dari ranjang, tubuhnya langsung limbung.
Kepalanya pusing, tetapi adrenalin menguasai. Areta menarik gaun rumah sakit yang kebesaran, lalu perlahan membuka pintu ruang perawatannya.
Dengan langkah tertatih-tatih, ia berjalan menuju lift.
Ia berhasil mencapai lobi utama yang gelap dan sepi. Di luar, hujan gerimis baru saja berhenti.
Areta keluar dari pintu otomatis dan berjalan menuju jalan raya yang lengang. Syukurlah, sebuah taksi terlihat sedang berhenti di pinggir jalan.
"Tolong! Cepat!" pinta Areta, langsung masuk dan menutup pintu.
"Jalankan taksinya! Secepat mungkin!"
Sopir taksi yang terkejut segera melajukan mobilnya.
Saat taksi berbelok di persimpangan, melalui kaca spion.
Areta melihat sorotan lampu mobil hitam mewah yang melaju kencang, membelah malam. Jantungnya mencelos.
"Pak! Tolong! Cepat! Mobil di belakang itu mengejar saya! Jangan berhenti!" teriak Areta panik.
Sopir taksi itu sempat melirik ke belakang, melihat mobil yang mendekat dengan kecepatan abnormal. Ia langsung ketakutan.
"N-nona, itu mobil Tuan Vincent! Saya tidak bisa..."
Belum sempat sopir taksi menyelesaikan kalimatnya, mobil mewah itu menyalip taksi mereka dengan manuver berbahaya, memaksanya berhenti mendadak di tepi jalan.
Sopir taksi itu pucat pasi dan ia segera membuka pintu dan melarikan diri, meninggalkan Areta sendirian di dalam taksi.
Pintu mobil hitam itu terbuka,.Vincent keluar, wajahnya kaku dan matanya memancarkan kemarahan dingin yang mematikan, lebih menakutkan daripada sebelumnya.
Ia mengenakan trench coat hitam yang membuatnya terlihat semakin dominan di tengah malam.
"Berani sekali kamu," desis Vincent.
Areta menarik napas, mencoba membuka pintu taksi di sisi lain. Tapi Vincent sudah tiba.
Ia membuka pintu, meraih Areta yang masih terikat pada rasa lemas, dan tanpa basa-basi, memanggul tubuhnya keluar dari taksi seolah Areta tak lebih dari karung gandum.
"Lepaskan aku!!" jerit Areta, memukul punggung Vincent dengan tangan lemahnya.
"Tolong!! Aku tidak mau ikut denganmu!"
Jeritan dan perlawanan Areta hanya terdengar seperti gumaman tak berarti bagi Vincent.
Ia berjalan santai kembali ke mobilnya sambil menahan tubuh Areta yang meronta di bahunya.
"Sudah kubilang, Areta," bisik Vincent tepat di telinga Areta, suaranya dipenuhi ancaman yang dalam.
"Bahkan kematian pun tidak akan kulepaskan kau. Kau milikku. Selamanya."
Ia melemparkan Areta kembali ke kursi mobil, memasang kunci pengaman anak sehingga Areta tidak bisa membuka pintu.
Kemudian ia duduk di kursi pengemudi, menatap Areta dengan mata menyala.
"Kita pulang. Dan kali ini, kamu akan mendapatkan hukuman yang pantas, sebelum kamu mulai menjalankan hukuman untuk Clara."
lanjut Thor💪😘