Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.
Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.
Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.
Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.
Genre : Romansa Gelap
Written by : Dana Brekker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 25
Mereka akhirnya bisa makan pasta di ruang TV dengan tambahan enam kaleng soda yang diletakkan begitu saja di atas meja kaca setinggi 40 cm. Hujan di luar belum kunjung reda, dan setiap kali kilat menyambar, cahaya putihnya menerobos jendela lalu kilauannya mengekspos wajah mereka yang malam itu tampak lebih santai dari biasanya. Mungkin karena kekacauan di dapur beberapa waktu lalu, kecanggungan di antara mereka perlahan mulai memudar. Lebih tepatnya kecanggungan bagi Viena lantaran Darren terlihat mujur saja dengan semua kejahilannya. Aneh juga kala mengingat pemuda yang sebelumnya terlampau dingin dan misterius bisa berubah hangat kala berduaan dengan seorang gadis yang sempat mencurigai dirinya sebagai seorang penyuka sesama jenis.
“Gak nyangka, ternyata aku bisa juga bantuin masak tanpa ngebakar dapur.” Seloroh Darren setelah menyeruput minumannya.
Adapun Viena mengamati perubahan ekspresi pemuda itu.
“Kalau aku gak ada, kamu udah ngebakar dapur dari tadi.”
Darren hanya mengangkat bahu, tersenyum miring. “Tapi setidaknya aku udah berani masak buat orang lain lagi.”
“Lagi?”
“Dulu aku sering masak bareng temen waktu SMA,” bebernya. “Tapi semenjak kerja di dunia ini, aku gak punya waktu lagi buat hal-hal sesederhana itu. Studio, klien, deadline, bisnis, saham, semuanya ngambil terlalu banyak ruang.”
“Makanya kamu keliatan kayak gak punya kehidupan di luar kerjaan,” celetuk Viena tanpa sadar.
“Sekarang punya.”
Viena kembali menatapnya cepat, tapi Darren sudah mengalihkan pandangan ke piringnya. Suasana jadi senyap sejenak, ditemani bunyi hujan dan TV yang kebetulan sudah Darren nyalakan sebelumnya.
Untuk memecah sunyi, Viena membuka topik baru. “Eh, aku mau nanya. Kamu inget Sita kan? Si wibu yang bareng aku di studio.”
“Sita?” Darren berpikir sejenak. “Yang mirip kamu tapi lebih pendek?”
“Iya, itu.” Viena terkekeh malu-malu. “Mirip aku dari mananya, coba.”
“Tingginya? Kacamatanya?” berondong pemuda itu dihadapan gadis yang terus mencoba menahan tawa kecilnya untuk keluar. “Energinya? Mirip kamu tapi lima kali lipat lebih berisik.”
Viena yang menahan tawa lantas mengangguk. “Iya, itu Sita banget. Kami udah kenal sejak SMA, tau. Dia satu-satunya cewek yang mau duduk sebangku sama aku waktu semua orang sibuk cari geng sendiri.”
“Kalian sedeket itu?”
“Banget,” cetus Viena. “Dia tipe orang yang kalau sayang, ya sayang tanpa alasan ribet. Dia satu-satunya orang yang ngebolehin aku tinggal di rumahnya tanpa mikir waktu, apalagi bayar-bayaran, semuanya gratis.”
“Kedengerannya dia perhatian banget.”
“Emang.” Viena tersenyum tipis, namun raut wajahnya berubah sedikit muram. “Cuma… makin ke sini, aku jarang ketemu dia. Dia sibuk kuliah, aku sibuk di studio. Kadang aku ngerasa kayak… aku ninggalin dia.”
“Sahabat sejati gak akan nuntut kita harus hadir setiap detik,” kata pemuda itu selagi membuka membuka segel kaleng soda dengan jari lalu menenggaknya hingga sisa separuh.
Viena jadi ikut menatap kaleng soda di tangannya, berpikir. “Iya sih, tapi dia terlalu baik. Kadang aku takut dia malah capek sama aku.”
“Kalau dia bertahan sama kamu dari SMA,” Darren mengangkat alis, “dia gak bakal capek cuma gara-gara kamu sibuk kerja.”
“Gitu, ya?” Viena terdiam, lalu mendongak. “Eh, ngomong-ngomong kalau di Midnight Alter. Kamu kayaknya paling deket sama Arven, kan?”
Keraguan ketara sekali di wajah pemuda Aksantara itu. Posisi duduknya berubah, kini bersandar rileks. Sementara pandangannya teralihkan ke acara berita di TV kala isi kepalanya sedang sibuk memilah kata. “Mungkin gak sedeket yang kamu kira.”
“Hmm?” Viena mencondongkan tubuh, penasaran. Mencari-cari tatapan teduh pemuda itu yang kini lebih memilih ke layar TV. “Kalian kan suka ngobrol, bercanda bareng. Kayak udah temenan lama.”
“Sama kayak kamu dengan Sita. Kami kenal dari SMA. Bedanya, kamu baik. Sita baik. Sementara Arven itu ada di dunia yang lain dari aku.”
“Dunia lain gimana?”
“Dia anak baik-baik,” Darren menatap langit-langit sambil tersenyum samar. “Sementara aku waktu itu… yah, nakal. Sering berantem, kadang bolos, sering bikin guru stres. Masa-masa bodoh gitu, lah.”
Viena memutar bola mata. “Gak heran.”
“Gak heran kenapa?”
“Gak heran aura kamu dulu pasti serem.” Gadis itu menghalangi mulutnya, pura-pura takut. “Ada monster berkeliaran di lorong sekolah. Hih, serem.”
Darren mengangkat alis kala tersenyum miring. “Aku gak sengeri itu.”
“Hmm… aku udah terlanjur ngebayanginnya, kamu yang suka duduk paling belakang, tudung hoodie nutupin kepala, terus pura-pura dengerin pelajaran padahal aslinya tidur seharian.”
“Kamu ada di sana ya? Bisa akurat gitu.” Kedua alisnya tersentak tinggi, pura-pura kagum.
Langsung saja Viena tertawa puas. Berusaha menutupi mulutnya dengan punggung tangan walau tawanya tak kunjung berhenti. “Beneran?!”
Darren menutupi wajah dengan satu tangan. Sebelum beralih mendorong rambutnya ke belakang, mempersilahkan Viena untuk melihat senyuman tipisnya dengan gamblang. “Udah, udah. Intinya, Arven itu kebalikanku. Dia hidup di dunia yang lebih cerah. Lebih normal. Makanya aku respect sama dia. Karena pas semua orang lihat aku sebagai sumber masalah, dia nggak gitu.”
“Jadi… kamu takut aku bakal mikir kamu serem juga?”
Darren menatapnya. Lama. “Kamu udah tahu jawabannya.” Senyuman khasnya merekah lagi.
“Kenapa yakin banget?”
“Soalnya kalau kamu takut, kamu gak bakalan duduk di sini, makan pasta yang kita buat sampai hampir bakar dapur.”
Lantas Viena mendengus. “Jadi, kamu bukan nakal lagi sekarang?”
“Masih,” Darren mengakui. “Tapi versi yang tahu kapan harus berhenti.”
Viena menatapnya lama sebelum menggeleng sambil tersenyum kecil. “Aneh juga. Dulu kamu nakal, sekarang kamu sibuk kerja setengah mati, tapi tetap aja kamu… ya, kamu.”
“Dan kamu tetap aja kamu,” balas Darren. “Berisik di kepala, pendiam di luar, dan terlalu mikirin hal-hal yang gak perlu.”
“Masalahnya,” Viena mencondongkan tubuh. Entah apa maksud dari senyuman itu, terkesan menggoda di mata Darren. “aku gak ngerasa kamu itu serem sama sekali.”
Viena pun menyadari jika alur pembicaraan mereka sudah di luar kendalinya, membuat dirinya justru tenggelam lantaran kehabisan topik. Begitu juga Darren yang malah terus menatap senyum gadis itu tanpa bergeming.
Hingga adegan makan malam usai, mereka bersandar di sofa. Perut kenyang, pikiran tenang, tapi hujan belum menunjukkan tanda akan berhenti. Viena menatap jam di dinding, waktu sudah hampir tengah malam. Sesekali melirik Darren yang sedang fokus menonton TV, sungguh pembicaraan mereka habis sejak yang terakhir kali.
“Aku harusnya pulang,” decitnya.
Darren, yang baru saja menaruh kaleng soda kosong di meja, mengangkat wajah. “Oke, biar aku yang anterin.”