"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”
Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.
Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.
Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”
Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.
Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 BAGAIMANA RASANYA?
Hari sudah merambat ke siang. Matahari menggantung tinggi, memantulkan cahaya ke kaca-kaca restoran kecil yang mereka tempati. Ava dan Bella duduk saling berhadapan di meja dekat jendela, piring-piring makan siang mengepulkan aroma hangat di antara mereka. Suara cutlery beradu, obrolan para pengunjung mengisi udara, namun sudut meja mereka terasa seperti ruang tersendiri—tempat Ava akhirnya bisa menarik napas setelah dua hari yang melelahkan.
Bella menyuap makanannya dengan santai lalu mengangkat alis, tatapannya nakal. “Sekarang jelaskan, bagaimana rasanya menikah dengan pria muda, hm?”
Ava langsung menghela napas, panjang, berat, seperti napas yang tertahan selama dua hari penuh kecanggungan dan pertengkaran kecil. “Selama dua hari ini dia selalu marah-marah padaku,” keluhnya. “Padahal aku tidak salah apa-apa. Bahkan… aku sudah dua kali tidur di luar.”
“Apa?!” Bella berseru begitu keras hingga beberapa orang di sekitar mereka spontan menoleh.
Ava menunduk, wajahnya memerah. “Bodoh! Kenapa kau berteriak? Lihat, semua orang menatap kita.” Ia berbisik tajam.
“Maaf, maaf…” Bella menutup mulutnya, tapi matanya masih membelalak. “Lagian kenapa kau tidur di luar?”
Ava mengaduk makanannya tanpa selera. “Entahlah… sepertinya dia sengaja melakukannya. Aku tidak tahu sikapnya, sifatnya, dan tiba-tiba harus tinggal satu rumah dengannya. Kau pikir bagaimana rasanya?”
Bella memegang garpunya dengan terhenti. “Tidak bisa aku bayangkan,” gumamnya jujur. “Ohiya, kalian selisih berapa tahun?”
“Tiga.” Ava meletakkan garpunya pelan. Ya, usia Ava 27, sementara Arash baru 24— usia yang masih labil, seperti masa ketika seseorang seharusnya bebas menjalani kehidupannya, bukan masuk dalam pernikahan yang diwarnai keterpaksaan.
“Menurutmu,” Ava melanjutkan, suara rendah. “Aku harus bagaimana dengan anak itu?”
Bella mengangkat bahu. “Karena kau sudah menikah, sebaiknya perlakukan dia dengan baik. Sama seperti kau bersikap pada… Martin.”
Ava langsung menatapnya tajam. “Kau gila? Itu tidak mungkin. Martin dan dia berbeda. Kenapa aku harus memperlakukan mereka sama? Meskipun mereka reka adik-kakak, tapi kepribadian mereka benar-benar kontras!”
Bella terdiam sejenak. Ia tahu cerita tentang Martin—kebaikannya, kelembutannya—dan kontras kuat yang dimiliki Arash dari cerita Ava.
“Kalau begitu,” Bella berkata lembut, “Setidaknya coba saja berbuat baik padanya. Bukan untuk meluluhkan hatinya, tapi supaya dia juga tidak memperlakukanmu seperti musuh. Dan kau bisa lebih nyaman tinggal dengannya, meskipun tanpa cinta.”
Ava terdiam, memikirkan kata-kata itu. Ada benarnya—selama dua hari terakhir ia hanya bertahan, bukan mencoba. Mungkin Arash pun sama tersiksanya.
Ia mengangguk pelan. “Tumben kau hari ini bijak?”
Bella tertawa kecil lalu mengelus bahu Ava. “Aku bijak karena aku kasihan pada sahabatku yang terjebak dalam drama rumah tangga mendadak.”
...----------------...
Setelah pekerjaannya selesai, Ava naik taksi pulang seperti saat ia berangkat pagi tadi. Langit sudah berwarna jingga keemasan ketika ia tiba di rumah. Tidak ada mobil di halaman, tidak ada suara apa pun dari dalam rumah. Bi Ana pun sudah pulang—menyisakan keheningan yang justru membuat Ava merasa lebih leluasa bernapas.
Jam dinding menunjukkan pukul enam lewat sedikit ketika ia meletakkan tasnya di sofa. Ruang tamu terasa tenang, sunyi, dan sedikit dingin, seolah menyambut kepulangannya dengan jarak yang sopan. Ava menyingkap rambutnya yang berantakan lalu berjalan menuju dapur.
Ia membuka pintu kulkas, dan aroma dingin bercampur bau sayuran segar menyergap wajahnya. Kulkas itu kini jauh lebih penuh dari sebelumnya—ada telur, susu, sayuran, dan beberapa daging beku. “Bi Ana belanja banyak,” gumamnya, sedikit lega.
Ava menarik sebungkus daging ayam, wortel, kubis, dan beberapa bahan lain. Hari itu ia ingin sesuatu yang menenangkan—sup hangat yang bisa meredakan lelah di tubuhnya. Gerakannya lembut dan perlahan, seolah memasak adalah satu-satunya hal yang tersisa untuk menenangkan pikirannya dari segala kekacauan yang sudah ia lalui.
Beberapa menit kemudian, aroma sup ayam mulai memenuhi dapur. Hangat, lembut, dan menenangkan. Ava kemudian menanak nasi, lalu meninggalkan dapur untuk mandi.
Air shower yang mengalir di kulitnya membuatnya menghela napas panjang. Hari itu terasa panjang, namun entah mengapa ia juga merasa lebih tenang daripada malam sebelumnya.
Usai mandi, Ava keluar dengan piyama longgar dan rambut yang masih dibalut handuk. Udara malam menyelinap dari jendela kecil dan membuatnya merapatkan piyamanya. Ia melirik ke arah halaman. Masih kosong. Hanya daun-daun yang menari perlahan dihembus angin.
Ia duduk di meja makan lalu mengambil dua mangkuk kosong. Tangannya sempat ragu, namun akhirnya ia menata kedua mangkuk itu berdampingan di meja kecil itu—seolah berharap rumah itu tidak terus-terusan sunyi.
“Apa dia akan pulang?” gumamnya sambil menekan bibirnya sendiri. Sebuah senyum kecil muncul, meski samar. “Kalau tidak pulang, aku akan tidur di kamarnya malam ini.”
Ada nada menggoda dalam ucapannya, namun lebih mirip pembalasan dendam kecil daripada keberanian sungguhan.
Sementara itu, langit di kota sudah sepenuhnya gelap. Lampu-lampu perkantoran berkelip seperti bintang buatan. Namun Arash masih tetap duduk tegak di ruang kantornya yang luas dan berbau kertas.
Sejak resmi menjabat sebagai COO—menggantikan kakaknya yang meninggal—meja itu menjadi tempat ia berkutat dengan tumpukan berkas bertanda urgent yang tertunda selama masa berkabung keluarga. Semua mata tertuju padanya, semua beban seolah mewarisi punggungnya.
“Hah… berapa jam lagi aku harus di sini?” rutuk Arash sambil memijat lehernya. Kursi empuk pun tak sanggup meredakan pegal yang merayap dari tulang punggungnya.
Ia mengambil cangkir kosong dan berdiri, melangkah menuju dispenser kopi. Lantai marmer memantulkan suara langkahnya dalam ruang yang terlalu besar dan terlalu sepi. Karyawan yang lembur hanya beberapa. Cahaya dari ruangan mereka terlihat dari kejauhan seperti titik-titik kecil dalam lautan gelap.
Entah sampai kapan ia bisa menyelesaikan berkas-berkas itu. Entah sampai kapan ia harus bekerja sendirian—tanpa sekretaris, tanpa bantuan, tanpa waktu untuk bernapas.
Arash masih berdiri di depan mesin kopi yang berdengung pelan, memegangi cangkir seolah itu satu-satunya hal yang membuatnya bertahan malam itu. Aroma pahit kopi mulai memenuhi ruangan—aroma yang biasanya menenangkan—namun kali ini justru membuat matanya terasa semakin berat. Tubuhnya pegal setelah seharian berurusan dengan rapat, laporan, dan pikiran-pikiran yang seharusnya tidak ia pikirkan.
“Fokus, Arash. Fokus,” gumamnya lirih, seperti mantra yang ia paksa untuk bekerja.
Ketika cangkir akhirnya terisi penuh, ia kembali ke ruangannya. Begitu membuka pintu, ia disambut suara printer yang bekerja setengah lelah dan tumpukan map menunggu di meja seperti menertawakannya, membuat ia menghela napas panjang—napas yang terdengar berat, seperti mencoba mengeluarkan kelelahan yang menggerogoti kesabarannya
Ia duduk. Kursinya berdecit pelan, menciptakan gema kecil di ruangan yang terasa jauh lebih sunyi dari biasanya. Tangannya meraih satu map, membaca cepat namun teliti, lalu menandatangani halaman terakhir sebelum meletakkannya di tumpukan berkas yang sudah selesai. Lalu ia mengulanginya lagi dan lagi. Ritme mekanis itu membuat ruangan terasa dingin—dingin yang bukan berasal dari AC, melainkan dari kesendiriannya.
Jam dinding berdetak jelas, seperti memecah kesunyian ruangan dengan tempo yang konstan. Hingga tanpa ia sadari, satu jam sudah lewat begitu saja sementara ia tetap menunduk, matanya sudah mulai perih.
Arash memijit pelipisnya, lalu matanya melirik ke arah ponsel yang tergeletak di meja. Tidak ada notifikasi baru. Tidak ada apapun. Lalu tiba-tiba sebuah pikiran menyelinap, tidak ia undang, namun terasa begitu nyata.
Sepertinya dia akan tidur di luar lagi. Gumam Arash pelan.
Bi Ana pasti sudah mengunci pintu rumah sebelum pergi. Ia tahu karena wanita tua itu selalu teliti soal keamanan rumah. Dan Arash belum memberikan kunci cadangan pada Ava.
Sementara itu, di rumah…
Ava masih duduk di meja makan kecil yang terletak di sudut dapur, lampu kuning hangat menerangi wajah pucatnya. Rambutnya yang basah setelah mandi kini sudah mengering setengah, helai-helai lembutnya menempel di pipi. Di depan Ava, uap sup yang tadi mengepul kini telah hilang, meninggalkan permukaan air hangat yang mulai dingin.
Ava menopang dagu dengan satu tangan, menatap halaman luar melalui jendela. Tidak ada sorot lampu mobil yang mendekat. Tidak ada bayangan seseorang berjalan di halaman. Hanya pekarangan yang gelap, diam, dan dingin.
“Mungkin dia tidak akan pulang,” gumam Ava, suaranya nyaris tenggelam oleh keheningan rumah.
Ia bangkit perlahan, tubuhnya sedikit kaku. Ia menyimpan salah satu mangkuk sup, kemudian menaruhnya dalam kulkas. Setelah itu ia kembali ke meja makan. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Ava memandangi angkanya beberapa detik, seolah berharap ada keajaiban kecil yang bisa mengubah keadaan.
Tidak ada.
Ia menghela napas panjang, suara helaan itu menggema lembut di ruangan yang terlalu tenang. Ia menarik mangkuk yang masih tersisa di depannya, menunduk, lalu meraih sendok. “Baiklah… aku akan makan sendiri,” ucapnya pelan, mencoba menguatkan diri sendiri.
Sup itu sudah dingin. Rasanya hambar. Tapi Ava tetap menyendokkannya perlahan, menelan setiap suap dengan jeda panjang, seolah sedang mencoba menerima bahwa begitulah hari-hari yang mungkin harus ia jalani.
.
.
.
.
.