Amirul, yang dikira anak kandung ternyata hanyalah anak angkat yang tak sengaja tertukar pada saat bayi.
Setelah mengetahui jika ia anak angkat, Amirul di perlakukan dengan kasar oleh ibu angkat dan saudaranya yang lain. Apa lagi semenjak kepulangan Aris ke rumah, barang yang dulunya miliknya yang di beli oleh ibunya kini di rampas dan di ambil kembali.
Jadilah ia tinggal di rumah sama seperti pembantu, dan itu telah berlalu 2 tahun lalu.
Hingga akhirnya, Aris melakukan kesalahan, karena takut di salahka oleh ibunya, ia pun memfitnah Amirul dan Amirul pun di usir dari rumah.
Kini Amirul terluntang lantung pergi entah kemana, tempat tinggal orang tuanya dulu pun tidak ada yang mengenalinya juga, ia pun singgah di sebuah bangunan terbengkalai.
Di sana ada sebuah biji yang jatuh entah dari mana, karena kasihan, Amirul pun menanam di sampingnya, ia merasa ia dan biji itu senasib, tak di inginkan.
Tapi siapa sangka jika pohon itu tumbuh dalam semalam, dan hidupnya berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon less22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
...⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️...
...happy reading...
...⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️...
Amirul mengangguk. Ia merasa harga itu cukup terjangkau, dan ia bisa membayarnya dengan uang dari pohon ajaibnya. “Baik, Pak. Saya ambil kamar ini,” katanya tanpa ragu.
Setelah membayar uang sewa untuk satu bulan pertama, Amirul langsung masuk ke kamarnya. Ia menutup pintu dan mengunci rapat-rapat, memastikan tidak ada yang bisa masuk tanpa seizinnya. Ia meletakkan pohon kecil itu di sudut ruangan, lalu membuka bajunya yang menutupinya.
Pohon itu tampak bersinar samar di bawah cahaya lampu kamar. Daun-daunnya yang hijau berkilauan, dan buah-buah uangnya masih tergantung rapi di setiap ranting. Amirul duduk di depan pohon itu, menatapnya dengan perasaan campur aduk. Pohon ini adalah harapan, tapi juga sebuah rahasia besar yang harus ia jaga dengan nyawanya.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” gumamnya. Ia tahu bahwa pohon ini bisa mengubah hidupnya, tapi ia juga sadar bahwa kehadirannya membawa risiko besar. Jika orang lain mengetahuinya, mereka pasti akan mencoba mengambilnya, bahkan jika itu berarti membahayakan nyawanya.
Amirul memutuskan untuk membuat rencana. Ia akan menggunakan uang dari pohon itu dengan bijak, membayar sekolahnya, membeli kebutuhan sehari-hari, dan mungkin menyimpan sebagian untuk masa depan. Tapi ia juga harus berhati-hati, memastikan tidak ada yang mencurigai sumber uangnya.
...**********...
Keesokan paginya, sinar matahari yang menerobos celah tirai kamar membangunkan Amirul dari tidurnya. Ia mengucek matanya perlahan, lalu duduk di atas kasur tipisnya. Pandangannya langsung tertuju pada sudut kamar, tempat pohon uang kecilnya berdiri dengan anggun. Namun, kali ini, sesuatu tampak berbeda.
Mata Amirul membelalak. Pohon itu berbuah lagi, dan kali ini jauh lebih lebat dari sebelumnya. Uang-uang kertas dalam berbagai pecahan menggantung di setiap ranting, seperti daun yang tumbuh subur. Ia hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Selamat pagi, biji kecilku," gumam Amirul sambil mendekati pohon itu. Ia berjongkok di depannya, matanya penuh rasa takjub. "Wah, hari ini kau berbuah lebih banyak lagi ya. Kau benar-benar luar biasa..." Ia mengulurkan tangannya, menyentuh salah satu lembar uang yang menggantung. Namun, saat hendak mengambilnya, ia tiba-tiba merasa ragu. "Ah, aku jadi nggak enak kalau harus ambil uangmu lebih banyak lagi," katanya pelan.
Pohon itu tampak diam, namun jika diperhatikan lebih saksama, daun-daunnya bergoyang pelan, seolah merespons ucapan Amirul. Namun, Amirul terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri untuk menyadarinya. Ia menarik tangannya kembali, menghela napas panjang.
"Tapi mau bagaimana lagi," lanjutnya dengan nada lirih. "Aku sangat membutuhkanmu. Aku harus bayar uang sekolah, beli makan, dan... aku nggak punya siapa-siapa lagi selain kamu." Suaranya terdengar berat, penuh dengan rasa bersalah yang ia coba tekan.
Setelah mengumpulkan keberanian, Amirul akhirnya mengambil beberapa lembar uang dari pohon itu, memastikan ia tidak memetik terlalu banyak. Ia memandang uang di tangannya sejenak, lalu menggenggamnya erat. "Maafkan aku, biji kecil. Aku janji akan menggunakan uang ini dengan bijak," katanya, seolah berbicara kepada makhluk hidup.
Amirul kemudian bergegas mandi. Kamar mandinya kecil dan sederhana, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Setelah selesai, ia mengenakan seragam sekolahnya yang sudah mulai kusam, tapi tetap ia jaga agar tetap rapi. Ia menatap dirinya di cermin kecil di atas wastafel, mencoba memberikan senyuman pada dirinya sendiri. "Kau bisa, Amirul. Hari ini harus lebih baik dari kemarin," katanya, mencoba menyemangati dirinya.
Sebelum pergi, ia kembali ke pohon uangnya. Dengan hati-hati, ia mengangkatnya dan memasukkannya ke dalam lemari kecil di sudut kamar. Ia menutupi pohon itu dengan beberapa baju bekas, memastikan tidak ada yang bisa melihatnya. "Pohon uang, aku pergi sekolah dulu ya. Kamu baik-baik di rumah, jangan ada yang lihat kamu," katanya sambil menutup pintu lemari dengan hati-hati.
Namun, sebelum ia meninggalkan kamar, ia merasa seperti mendengar suara samar, seperti bisikan yang lembut. Amirul berhenti sejenak, menoleh ke arah lemari. Tapi semuanya tampak normal. "Mungkin cuma angin," pikirnya, lalu mengabaikannya dan bergegas keluar.
Di perjalanan menuju sekolah, pikiran Amirul dipenuhi dengan berbagai rencana. Ia akan membayar uang sekolah yang tertunda, membeli buku pelajaran baru, dan mungkin menyisihkan sedikit uang untuk keperluan sehari-hari. Namun, di balik semua itu, ada rasa cemas yang terus menghantuinya. Bagaimana jika ada yang mengetahui tentang pohon uangnya? Bagaimana jika rahasia ini bocor?
Setibanya di sekolah, Amirul langsung menuju ruang tata usaha untuk membayar uang sekolahnya yang sudah lama tertunda. Petugas administrasi, seorang wanita paruh baya dengan kacamata tebal, menatapnya dengan tatapan heran. "Amirul? Kamu bayar uang sekolah?" tanyanya, seolah tak percaya.
"Iya, Bu," jawab Amirul sambil menyerahkan uangnya. "Maaf kalau saya terlambat."
Wanita itu mengangguk pelan, masih terlihat sedikit bingung. "Baiklah. Tapi pastikan kamu tidak terlambat lagi bulan depan, ya."
Amirul hanya tersenyum kecil, lalu pergi meninggalkan ruangan itu.
...⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️...
thanks teh 💪💪💪