Goresan ISENG!!!
Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.
Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.
Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.
Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Kehangatan Yang Hilang
Rintik hujan jatuh di dinding kaca pagi itu, suara mesin coffe dan grinder otomatis saling bersahutan menemani hari yang sibuk di cafe kopi sebuah hotel. Setelah memesan kopi dan pancake caramel, Sabil duduk di sudut cafe yang terbilang cukup ramai. Pengunjung silih berganti keluar masuk Cafe. Entah karena akan ada acara seminar Nasional di hotel itu atau memang kopi di sana sangat enak, hingga pengunjung datang lagi dan lagi.
Seorang waiters datang menghampiri dengan membawa pesanan Sabil. "Pesanannya pak," ucapnya lalu meletakkan satu cangkir espresso dan sepiring pancake.
"Terima kasih," balas Sabil.
"Buatkan aku kopi yang sama dan satu slice tiramisu cake," ucap Danisha yang sudah berdiri di belakang Sabil.
"Baik, mohon ditunggu." waiters segera berlalu.
Danisha duduk di depan Sabil dengan senyuman cantik, ia menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa.
"Sudah suntik rabies, mas?" tanyanya dengan nada mengejek.
Sabil mendengus kesal sambil melirik Danisha dengan sinis. "Nggak lucu!" jawab Sabil.
"Aku sih ngingetin aja, kuatirnya kamu ketularan gila karena digigit pasien gila." Danisha terkekeh kecil namun masih ia jaga gestur tubuhnya.
"Kemana simpanan mu itu, tidak turun untuk sarapan?" tanya Sabil datar.
Danisha tidak ingin menjawab, karena semalam ia habis bertengkar hebat dengan kekasih yang juga ayah biologis dari putranya. Mata Danisha sedikit melebar saat melihat cincin pernikahan mereka tidak lagi menghiasi jari tengah Sabil.
"Sejak kapan kamu melepas cincin pernikahan kita, mas?" tanya Danisha penuh selidik namun sedikit bergetar tak siap akan jawabannya nanti.
"Aku lupa tepatnya kapan melepasnya, tapi aku ingat kapan pernikahan kontrak kita akan berakhir Nisa, satu bulan lagi." Sabil terus menatap layar handphone milik Hania, membaca novel-novel yang menumpuk di draft, belum ada yang dirilis Hania.
"Kamu beda banget sekarang mas!" ucap Danisha
"Beda gimana? Aku begini sejak dulu. Lagian sejak kapan kamu perhatian sama aku, hujan di luar sana bisa berwarna rainbow kalau itu terjadi padamu," jawab Sabil acuh tak acuh.
Danisha mencondongkan tubuh sintalnya sedikit ke depan hingga belahan dadanya mengintip menggoda, ia memperhatikan wajah Sabil yang teramat bersih tanpa bulu-bulu yang biasanya dibiarkan liar tidak terawat.
"Kamu lebih, ... Hidup dan bersemangat."
"Tentu, aku mulai menatap masa depan." Sabil membalas tatapan Danisha dengan menyombongkan wajahnya yang terlihat lebih segar dan bersih.
"Masa depanmu yang kelabu seperti mengulang masa kecil bersama ibumu yang gangguan jiwa," hina Danisha sambil melipat tangan di dadanya senyum asimetris menghias wajahnya.
"Masa gelap dalam hidupku sebentar lagi akan pergi, Danisha. Dua tahun menjalani pernikahan kontrak denganmu adalah masa tergelap yang tidak pernah aku bayangkan." Sabil membalas hinaan Danisha dengan wajah datar dan tatapan mata yang tajam.
"Jika tidak menikah denganku, kamu sudah dilempar ke daerah terpencil dan keahlianmu sebagai spesialis bedah terkubur di klinik yang minim fasilitas," ucapnya sombong.
Saling sindir dan saling menghina sepertinya tidak bisa dibiarkan berakhir dengan kekalahan di pihak Sabil, ia kembali menyerang...
"Oiya? Seyakin itu kamu akan kekuasaan papamu, Nisa? Kurasa kamu tahu kenapa aku yang dia pilih untuk menjadi pembicara di acara seminar ini daripada kamu atau —dia." Sabil menunjuk Jordi yang menghampiri mereka dengan dagunya.
Danisha memberengut saat menoleh ke samping, Jordi sudah berdiri di sisinya.
"Selamat pagi dokter Sabil," sapa Jordi seraya mengulurkan tangan untuk berjabat.
"Pagi... " jawabnya singkat tanpa mengangkat pandangannya dari layar handphone milik Hania.
"Melihat dokter Sabil masih santai menikmati kopi di sini, artinya keadaan rumah sakit Central masih baik-baik saja, bukan begitu Senior?" sindir Jordi
Sabil menaikan sebelah alisnya, lalu tersenyum mencemooh ke arah sepasang kekasih yang memiliki sifat yang sama, licik.
"Apa yang perlu aku khawatirkan? Rumah sakit Central memiliki banyak karyawan dan tenaga medis yang ahli di bidangnya, usahaku menjaga nama baik Rumah sakit saja. Kalau nama baik terjaga, pendapatan akan meningkat setiap tahunnya, kecuali jika anak pemilik Rumah sakit ingin mencemarkan nama baik orangtuanya sendiri... Dan itu tidak akan berpengaruh apapun terhadapku."
"Dan mengapa aku sesantai ini, karena sudah ada yang menjaga istriku dengan baik, thanks for taking good care of my wife, Jordi... aku jadi banyak waktu untuk fokus mengurus rumah sakit milikku sendiri." Sabil berdiri meninggalkan sepasang kekasih yang masih berseteru.
"Kamu lihat? Dia semakin sombong saja. Seharusnya posisi itu adalah milikku, Danish!" ucap Jordi nadanya penuh penekanan.
"Kamu tidak sehebat dia, Jor. Kamu hanya hebat di ranjang dan menitipkan benih di rahimku. Mana mungkin papa mau menurunkan warisan bisnis rumah sakit padamu jika kamu masih hobi main judi!" hina Danisha.
"Aku sudah janji padamu, aku akan berhenti main judi. Kemarin yang terakhir sayang, janji!" bujuk Jordi.
"Yang kemarin saja kamu sudah menjual mobil kesayanganku, Jor! Lama-lama aku bisa miskin pacaran denganmu!" sahut Danisha.
"Milea bilang, jangan percaya ucapan orang yang selingkuh, penjudi dan pemabuk. Mulai sekarang aku akan mengingat nasehat Milea," imbuhnya lalu ia pergi meninggalkan Jordy sendirian.
...***...
Lembang, Sanatorium Medika Prima.
Tetesan air hujan membasahi telapak tanganku yang mulai membiru. Di sini, semua terasa asing, dingin dan sepi. Suara denting alat makan dan suara burung berkicau setiap jam sembilan malam di rumahku, tidak lagi terdengar. Kelembutan bulu Ferguso kucing kesayanganku tidak lagi membangunkan tidur lelap ku.
Tidak ada Prabu
Tidak ada dokter Sabil
Satu malam di sini seperti ribuan tahun musim dingin yang membeku. Aku bisa membunuh kehangatan ratusan malam, membunuh puluhan rasa kantukku, melupakan rasa kopi ternikmat di cafe yang pernah aku kunjungi.
Tapi aku tidak bisa membunuh kehangatan yang diberikan Prabu Kamandaka dan rasa hangat yang nyata dari dokter Sabil.
Pemandangan yang asri, kamar dan fasilitas semewah pelayanan hotel, para perawat yang full senyum dan profesional, tidak membuatku merasa nyaman seperti sebelumnya. Aku merasa terisolasi di tempat asing, lebih jauh dan gelap dari dunia nyata.
"Tanganmu sudah kedinginan dan membiru, jangan main air sepagi ini, bodoh!"
Suara itu terdengar jauh.
"Siapa yang bicara padaku? Hantu? Bukankah selama ini aku selalu berkumpul dengan para hantu dan arwah? Tapi tidak ada yang terdengar nyata dan se-menyeramkan ini suaranya." gumamku
Plok!
Sebuah sandal karet sebelah kanan mengenai kepalaku. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan mencari pelaku yang melemparkan sandalnya ke kepalaku.
"Sstt... Bukain pintu kamarku, pintunya ada di atas kandang kelinci!"
Aku menoleh ke arah kamar yang lampunya tidak menyala. Padahal pagi ini masih gelap dan baru saja azan subuh berkumandang. Seseorang melambaikan tangannya di balik jendela.
"Siapa kamu?!" tanyaku
"Aku lagi dihukum Papa, dikurung dalam kamar seharian. Bukakan pintunya dong aunty cantik," ucapnya, suara anak perempuan terdengar di telingaku.
Aku melangkah ke kandang kelinci, mengikuti perintahnya. Kasian sekali jika anak sekecil itu harus dikurung di kamar yang gelap, pikirku. Kunci dengan mudah kutemukan dan tanpa bertanya lagi, aku memasukkan kunci ke dalam lubang kunci lalu memutarnya.
Ceklek!
"Terima kasih." suara pria dewasa menyapa pendengaranku, daun pintu terdorong ke luar dan tubuhku nyaris terpelanting karena dorongan pintu dari dalam.
"Ahh!" aku menjerit saat pria dewasa itu menyeruak keluar dari balik pintu. Ia menangkap tubuhku yang nyaris menghantam lantai marmer.
"Sstt... Jangan berisik, nanti dia datang dan menangkap kita," bisiknya di telingaku.
"Kamu Papa anak itu?! Kamu jahat, kamu menyekap anakmu di kamar gelap itu, lepas! Lepaskan!!" aku berusaha berontak dari pelukannya.
"Diam lah sebentar, nanti aku jelaskan." tangan besarnya membungkam mulutku.
Pria itu menyeret tubuhku ke sebuah taman yang masih gelap, taman belakang yang tersembunyi dari gedung tempat deretan kamar para pasien dan ruang jaga perawat. Detak jantungku mulai sulit dikendalikan, aku nyaris kesulitan bernapas.
"Bernapas lah pelan-pelan... Jangan panik. Aku bukan orang jahat."
Bodohnya, aku menuruti perintahnya. Padahal serangan dan kepanikan ku berasal darinya. Apa yang akan dia lakukan setelah ini, membunuhku, memperkosaku, atau mengurungku seperti anak kecil yang ada di kamar itu.
Tubuhku memanas dan berkeringat karena rasa takut menjalar perlahan. Dia masih membekap dan memelukku dari belakang. Tangannya kurasakan perlahan semakin mengunciku dan meraba kulit perutku dengan lembut. Tangannya terus naik ke dadaku, kulit telapak tangannya menyentuh kulit dadaku.
Aku memejamkan mataku dengan erat, kurasakan tubuhku perlahan bergetar. Takut, teramat takut.
"Jantung kamu berdegup kencang, gadis cantik," bisiknya.
merinding aku Thor.....😬
kenapa prabu seperti nya marah ?