Tiga Tahun berumah tangga, Amanda merasa bahwa pernikahannya benar-benar bahagia, tapi semua berubah saat ia bertemu Yuni, sahabat lamanya.
Pertemuan dengan Yuni, membawa Amanda pergi ke rumah tempat Yuni tinggal, dimana dia bisa melihat foto pernikahan Yuni yang bersama dengan pria yang Amanda panggil suami.
Ternyata Yuni sudah menikah lima tahun dengan suaminya, hancur, Amanda menyadari bahwa dia ternyata adalah madu dari sahabatnya sendiri, apakah yang akan Amanda lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Dua
Sudah seminggu berlalu sejak pertemuan terakhir Amanda dengan Davino dan Roni. Waktu terus berjalan, tapi buat Azka, rasanya seperti berhenti di tempat yang sama.
Setiap pagi dia datang ke kantor dengan langkah berat, wajah tanpa ekspresi, dan semangat yang seolah tertinggal entah di mana. Kemejanya sering tak disetrika dengan rapi, dasi kadang lupa dipasang, dan matanya selalu tampak sembap, entah karena kurang tidur, atau terlalu banyak menyesali hal-hal yang sudah terjadi.
Sejak kepergian Amanda, dunia Azka seperti kehilangan warna. Ia berusaha keras untuk bekerja normal, membuka laptop, membaca laporan, menandatangani dokumen. Tapi di sela-sela semua itu, pikirannya selalu melayang ke wajah perempuan yang dulu begitu ia cintai, yang sekarang, entah di mana, mungkin sedang mencoba melupakan dirinya.
Siang itu, saat Azka tengah menatap layar komputer dengan pandangan kosong, sekretarisnya mengetuk pintu.
“Pak, ini ada surat dari pengadilan agama,” ucap wanita itu pelan sambil meletakkan amplop cokelat di atas meja.
Azka sempat menatap surat itu beberapa detik, tidak langsung mengambilnya. Ada perasaan aneh di dadanya, semacam firasat buruk yang membuat tangannya enggan bergerak. Tapi akhirnya, dengan sedikit ragu, ia meraih amplop itu dan membukanya perlahan.
Begitu matanya membaca deretan kata di lembar pertama, napasnya langsung tercekat.
“Gugatan Cerai, Penggugat, Amanda R.”
Ia membaca lagi, lebih teliti. Nama lengkap Amanda tertulis jelas, begitu juga tanggal sidang pertama di pengadilan agama minggu depan.
Beberapa detik, ruangan terasa sunyi sekali. Hanya suara detak jam di dinding yang terdengar, berdentang pelan tapi menusuk. Azka menatap lembaran itu lama, matanya mulai memerah.
“Amanda …,” gumam Azka lirih.
Sekretarisnya, yang masih berdiri di depan meja, menatap dengan canggung. “Pak, apa perlu saya ....”
“Sudah. Kamu keluar dulu,” potong Azka cepat, suaranya serak.
Begitu pintu tertutup, ia menjatuhkan diri ke kursi dan menunduk. Surat itu masih ia genggam erat. Tangannya gemetar. Semua yang pernah ia coba tahan selama ini, rasa bersalah, kehilangan, penyesalan, seolah pecah bersamaan.
Ia memejamkan mata, dan dalam sekejap wajah Amanda muncul di benaknya: senyumnya, suaranya, cara ia menatap dengan lembut tapi tegas. Semua itu terasa begitu nyata sampai dadanya sesak.
Beberapa menit kemudian, Azka berdiri. Tanpa berkata apa pun, ia mengambil kunci mobil dan keluar dari ruangannya. Langkahnya cepat, hampir tergesa. Ia bahkan tak peduli beberapa rekan kerja yang menyapanya di lorong. Ia hanya ingin pergi.
Hari sudah sore ketika mobilnya berhenti di depan rumah orang tuanya. Di sanalah ia tinggal sejak Amanda pergi. Rumah itu terasa lebih sepi dari biasanya, mungkin karena semua orang di dalamnya sudah lelah ikut menanggung beban perasaan yang bukan milik mereka.
Begitu masuk, Azka langsung menuju ruang keluarga. Papa dan Mama sedang duduk di sana, menonton berita. Mereka menoleh begitu melihat Azka datang dengan wajah pucat dan mata yang masih menyimpan sisa air mata.
"Azka, baru pulang?” tanya Mama pelan.
Azka tidak langsung menjawab. Ia hanya duduk di sofa, lalu mengeluarkan surat dari tasnya dan meletakkannya di meja. “Ini, Ma, Pa … surat dari pengadilan agama.”
Papa menatapnya sekilas, lalu mengambil surat itu dan membaca cepat. Beberapa detik kemudian, beliau menatap Azka tanpa ekspresi. “Amanda gugat kamu?”
Azka mengangguk lemah. “Iya, Pa.”
Mama mendesah pelan. “Jadi dia benar-benar mau cerai?”
Azka menunduk. “Kelihatannya begitu, Ma. Minggu depan panggilan pertamanya.”
Tak ada yang bicara selama beberapa saat. Hanya suara televisi yang pelan terdengar, menyiarkan berita ekonomi yang tak satu pun dari mereka perhatikan.
Akhirnya, Papa bersuara, nada suaranya datar tapi tegas. “Selesaikan masalahmu, Ka. Itu urusan kamu, bukan urusan kami. Sudah cukup selama ini kamu melibatkan kami. Kamu sudah cukup dewasa untuk tahu apa yang kamu lakukan dan tanggung akibatnya.”
Azka mengangkat wajah, menatap ayahnya dengan mata sendu. “Tapi, Pa, aku nggak nyangka dia bakal gugat secepat ini. Aku cuma butuh waktu buat perbaiki semuanya.”
Papa menggeleng perlahan. “Waktu buat memperbaiki sesuatu itu ada batasnya, Ka. Dan sepertinya dia sudah nggak mau nunggu lagi. Kalau kamu memang ingin bicara atau mediasi, minta jadwal ke pengadilan. Tapi ingat, kami nggak akan ikut campur.”
Nada suaranya tegas, tapi bukan marah, lebih ke lelah. Lelah menghadapi Azka yang selalu melibatkan mereka. Masalah sama Yuni juga belum selesai. Mereka berdua sudah berusaha datang minta maaf, tapi menantunya itu belum mau bertemu. Menunggu Azka yang datang meminta maaf, tak akan mungkin.
Mama yang sejak tadi diam akhirnya ikut bicara, suaranya lembut tapi penuh makna. “Nak, kami sudah terlalu sering dengar kamu mengatakan akan jujur, dan kamu tak pernah melakukan itu hingga akhirnya kedua wanitamu mengetahui sendiri kebohongan kamu. Semuanya harus berakhir begini. Mama nggak mau lagi ikut campur urusan rumah tanggamu. Itu pilihanmu dari awal.”
Azka menatap ibunya, matanya mulai basah. “Aku mau Amanda kembali, Ma. Aku rela berpisah dari Yuni, asal dia kembali."
Mama tersenyum pahit. “Kamu akan kehilangan keduanya. Menurut mama lebih baik kamu perbaiki hubungan dengan Yuni. Ada Nathan bersamanya. Amanda pergi sendiri, itu artinya dia memang tak menginginkan kamu lagi."
Azka terdiam. Kata-kata itu terasa menampar. Ia menunduk, menatap ujung jarinya yang saling bertaut.
“Kalau kamu mau mediasi, mediasi saja,” lanjut Papa datar. “Tapi kalau dia tetap ingin cerai, kamu harus terima. Jangan paksakan sesuatu yang sudah patah.”
Azka tidak menjawab. Ia hanya menghela napas panjang dan bersandar di sofa. Matanya menerawang ke arah jendela yang tertutup tirai.
Malam itu ia duduk lama di ruang tamu setelah kedua orang tuanya masuk ke kamar. Lampu ruang tamu sengaja dibiarkan redup, hanya temaram dari lampu dinding yang menerangi wajahnya yang lelah.
Surat dari pengadilan tergeletak di meja, sudah lusuh karena berkali-kali dilipat dan diremas.
“Kenapa kamu tega, Manda?” bisiknya pelan. “Padahal aku cuma pengin kita mulai lagi dari awal.”
Tapi bahkan saat ia mengucapkannya, Azka tahu bahwa tidak ada lagi “awal” yang bisa ia mulai. Semua sudah berakhir. Amanda sudah memilih jalannya sendiri.
Ia menatap surat itu sekali lagi sebelum akhirnya berdiri dan melangkah menuju kamarnya.
Malam semakin larut. Di kamar yang remang, Azka duduk di tepi ranjang sambil menatap foto pernikahannya yang masih tergantung di dinding. Senyumnya di foto itu tampak bahagia, bahagia yang sekarang terasa asing.
Air matanya menetes tanpa suara. Ia tahu, kali ini bukan hanya Amanda yang pergi. Tapi juga semua kesempatan yang pernah ia punya untuk memperbaiki segalanya.
.manda juga milih mundur .yuni sangking cinta nya ke azka repot jg ya😤
Amanda masih mencintai Azka ,rasa cinta yang sulit untuk dihilangkan😭
Untuk Yuni g salah kmu memperjuangkan cinta azka..tp nathan bukan alasan u tinggal bersama dg azka..karena masa lalu akan jd alarm u kalian berdua merasa tersakiti
#thor udah bikin cerai aj dech mereka..dan segerakan dpat jodohnya..kezel aku thor😄