Liora, 17 tahun, lulusan SD dengan spesialisasi tidur siang dan mengeluh panjang, menjalani hidup sederhana sebagai petani miskin yang bahkan cangkulnya tampak lebih bersemangat darinya. Suatu pagi penuh kebodohan, ia menginjak kulit pisang bekas sarapan monyet di kebunnya. Tubuhnya melayang ke belakang dengan gaya acrobat amatir, lalu—krak!—kepalanya mendarat di ujung batang pohon rebah. Seketika dunia menjadi gelap, dan Liora resmi pensiun dari kemiskinan lewat jalur cepat.
Sayangnya, alam semesta tidak tahu arti belas kasihan. Ia malah terbangun di tubuh seorang perempuan 21 tahun, janda tanpa riwayat pernikahan, lengkap dengan balita kurus yang bicara seperti kaset kusut. Lebih parah lagi, si ibu ini… juga petani. Liora menatap langit yang sudah tau milik siapa dan mendesah panjang. “Ya Tuhan, jadi petani rupanya jalan ninjaku.”
Anak kecil itu menunjuk wajahnya, bergumam pelan, “Wa... wa...”
Liora melotot. “Hebat. Aku mati dua kali, tapi tetap dapat kerja tanpa gaji.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Smi 2008, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rezeki di Ujung Jalan
Di pusat kota, di bumi yang sama.
Seorang pria berdiri di depan kaca besar, menatap mobil-mobil yang tampak seperti miniatur. Xavier De Santis mengenakan jas hitam yang masih tergantung rapi di kursi, dasinya longgar di leher. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan campuran lelah dan tekad dingin.
Beberapa tahun terakhir, ia memimpin perusahaannya dari luar negeri. Satu surel bisa mengubah arah pasar, satu keputusan bisa menjatuhkan pesaing. Pagi itu, ia kembali. Seperti biasa, kehadirannya membuat semua orang berhati-hati, bahkan dalam menarik napas.
Di ruang rapat, para direktur menunduk. Tak ada yang berani bicara sebelum ia membuka suara.
“Mulai hari ini,” katanya datar, “kita bersihkan semua yang tidak perlu.”
Satu kalimat cukup untuk membuat beberapa nama hilang dari struktur perusahaan sore nanti.
Setelah rapat, Xavier berjalan ke balkon kaca. Ia menatap pantulan dirinya sendiri, lalu menunduk—seolah mencari sesuatu yang telah lama hilang. Di tangannya, sebuah kalung kecil berayun pelan. Liontinnya huruf L sederhana: bukan emas, bukan perak, hanya logam biasa yang entah kenapa masih ia simpan.
Empat tahun lalu, di tengah hutan, seorang gadis berbaring di sisinya. Senyumnya manis, matanya berkilau, dan...
“Brengsek.”
Buggh! Satu bogem mentah melayang ke wajah tampan Xavier.
Esoknya, ia terbangun di rumah sakit—kepala benjol akibat benda tumpul, seluruh tubuhnya memar. Pukulan yang lemah, tapi cukup untuk meninggalkan jejak.
Xavier tidak tahu, bahwa hasil “bercocok tanam singkat” malam itu telah menumbuhkan satu nyawa baru—nyawa yang kini dipaksa hidup oleh takdir.
Di sisi lain kota, di lorong baru bernama Sinar Batu—yang baru saja diresmikan Pak RT setelah bertahun-tahun cuma punya papan bengkok sebagai tanda—akan adanya kehidupan di dalamnya.
Liora sedang memasak nasi sekaligus merebus telur yang sudah dicuci. Kompor gasnya cuma satu mata, tabungnya ditekan batu besar, dan regulatornya yang sudah empat tahun masih berjuang menyalurkan api ke tempat semestinya. Liora berharap api itu tidak berakhir jadi ledakan.
“Ma... ma...”
Suara Salwa, lemah. Ia berjalan pelan ke sisi ibunya.
Liora merapatkan anaknya. “Cukup mama cengir hari ini. Mama dapat sayur gratis.”
Ia mengangkat kol kecil pemberian Riko di depan anaknya, senyum bangga tersungging. “Salwa tau? Rezeki nggak selalu berbentuk uang. Bisa makan, berpakaian, dan sehat aja, kita udah kaya.”
“Lapal, Ma...”
“Tunggu, burasnya masih ada kayaknya. Semoga si badut itu nggak ngambil juga.”
Liora berdiri, mencari sisa buras di samping tempat tidur.
“Ketemu!” serunya senang. Ia membuka bungkusan buras, mencium aromanya, berharap tidak basi.
Masih layak. Ia lalu membuka penutup periuk, mengambil sebutir telur yang baru matang setengah. Didinginkannya dalam air, dikupas perlahan, lalu diikatkan rambut Salwa dengan karet bekas kantong sayur.
Ia mendudukkan anak mungilnya di pangkuan, menyuapi pelan. “Te... Salwa ikuti mama ya. Te... lur.”
“U...luuu.”
Telur di mulut Salwa terciprat sedikit.
“Bagus.” Liora tersenyum kecil.
Saat masih di pasar, ia sempat mampir ke penjual ikan. Tapi setelah melihat uangnya cuma tersisa tiga puluh lima ribu, niat itu ia urungkan. Harga ikan sekarang empat puluh sampai lima puluh ribu sekilo—semua sama, meski sudah keliling. Mahal semua.
Akhirnya Liora pulang saja. Telur di rumah masih ada, cukup untuk tambahan protein bagi tubuh kecil Salwa.
Ia juga harus menyisihkan ongkos kendaraan sepuluh ribu. Kalau jalan kaki sambil menggendong anak, bisa meletus betisnya. Delapan kilometer bukan jarak yang dekat.
Kerja sayur selesai, perut Salwa pun penuh. Dua bungkus buras dan sebutir telur cukup untuk hari itu. Sedikit, tapi sering. Begitulah cara Liora menambah berat badan anaknya. Yang terpenting: makanan halal, berkah, dan sehat.
Mangga kemarin—yang statusnya abu-abu—tidak ia berikan pada Salwa. Meski dulunya pemilik kebun, Pak Kahar, sudah mengizinkan Liora memetik buah, kini kebun itu diwariskan ke anaknya. Ia tidak tahu apakah izin lama masih berlaku setelah pemilik berganti.
Liora menatap kosong ke sudut dapur, di mana debu dan cahaya berdebat tentang siapa yang paling tidak berguna.
Ia memutar otaknya yang tumpul, mencari cara apa pun untuk mendapat uang—sekadar cukup agar ia dan Salwa tidak kehilangan kewarasan hanya karena lapar.
Tak ada gelar. Tak ada keahlian. Tak ada keajaiban yang turun seperti di novel-novel transmigrasi yang dulu kadang ia baca di bawah pohon kelor.
Liora menatap celah di atap seng yang bocor, pandangannya mengarah ke langit.
“Ya Allah… bisakah kotak amalku di akhirat dibuka sekarang? Setidaknya untuk modal saja… agar hamba yang rapuh ini tidak berakhir jadi mayat.”
Hening.
Matahari yang tadi lembut perlahan meredup, seperti ikut malas menatap hidup Liora.
“Sepertinya doaku ditolak,” bisik Liora.
Napasnya meluruh, panjang dan letih. Ia menggendong Salwa ke tempat tidur—sampai matanya terpaku pada wajah kecil Salwa: kurus, pucat, tapi indah dengan mata biru samar yang tak seharusnya dimiliki anak sepertinya.
Liora terdiam lama. Untuk sesaat, pikirannya yang bebal bekerja sedikit lebih cepat.
Dalam kepalanya yang sudah keropos oleh drama dan novel gratisan, pemeran utama wanita yang one night stand selalu berakhir dapat pria kaya nan tampan.
“Nak… bagaimana kalau kita cari papamu?”
Ia tersenyum tipis, matanya berbinar. “Siapa tahu dia tajir.”
ketahuan boroknya ....
nek jelasin kemana uang yg dikirimkan untuk Liora....
mumpung yg ngirim juga ada di situ.....
nyampeknya cuma lima ratus ribu......
duh ini mah bukan korupsi lagi tapi perampokan....
badai Liora.......
kejam sekali itu nenek Darma.
ngak ada Darmanya sama cucu sendiri.