Saga, sang CEO dengan aura sedingin es, tersembunyi di balik tembok kekuasaan dan ketidakpedulian. Wajahnya yang tegas dihiasi brewok lebat, sementara rambut panjangnya mencerminkan jiwa yang liar dan tak terkekang.
Di sisi lain, Nirmala, seorang yatim piatu yang berjuang dengan membuka toko bunga di tengah hiruk pikuk kota, memancarkan kehangatan dan kelembutan.
Namun, bukan pencarian cinta yang mempertemukan mereka, melainkan takdir yang penuh misteri.
Akankah takdir merajut jalinan asmara di antara dua dunia yang berbeda ini? Mampukah cinta bersemi dan menetap, atau hanya sekadar singgah dalam perjalanan hidup mereka?
Ikuti kisah mereka yang penuh liku dan kejutan di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ceriwis07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beauty and The Beast 9
Pagi ini, Riko melihat Nirmala yang sedang bercanda dengan kedua temannya, tak lupa buku yang selalu dibawanya, entah itu buku pelajaran ataupun sekadar novel.
Saat Riko hendak menghampiri Nirmala, ia didahului oleh Herman, pria tertampan di sekolah menengah atas ini. Riko menatap tubuhnya sendiri dari pantulan cermin gerobak bakso Kang Asep, penjual bakso yang mangkal di kantin sekolah. Kacamata super tebal, rambut yang selalu terlihat basah, baju yang dimasukkan hingga sebatas dada.
Penampilan yang bahkan membuat dirinya sendiri malu, tapi apalah dayanya, hanya ini yang ia punya.
Riko memang bukan berasal dari kalangan berada. Bahkan, untuk bisa bersekolah saja, ia harus mengendap-endap agar ayahnya tidak mengetahui. Ayahnya seorang penjudi, sedangkan ibunya hanya penjual gorengan di pasar. Penghasilan yang didapat tidak seberapa, apalagi jika ayahnya merampasnya.
Ayah selalu berkata bahwa ia tidak perlu sekolah karena hanya akan menghabiskan uang. Lebih baik uangnya diberikan kepada ayahnya sebagai modal di meja judi. Jika ayahnya menang, ia juga yang akan senang, tapi itu semua mustahil terjadi. Utang ayahnya sudah menggunung dan terus bertambah.
Setiap hari, Riko harus menyaksikan kelakuan pria yang disebutnya ayah, menghajar dan memukuli ibunya. Hingga akhirnya, Riko nekat berlari mengambil pisau dari atas meja, ia menambah kecepatan sembari berteriak. Sang ayah terkejut lalu membalikkan tubuhnya, pisau itu tertancap tepat di dada ayahnya.
Tubuh sang ayah pun roboh di samping ibunya yang mengerang kesakitan. Ibunya tersenyum padanya, "Jadilah dokter yang baik, bantu mereka yang kekurangan biaya untuk berobat," ucap ibunya sambil mengecup kening Riko.
Ibunya lalu menarik pisau yang tertancap di dada suaminya dan menancapkannya di perutnya.
Riko berteriak histeris, "Pergilah, Nak! Lari sejauh mungkin," ucap ibunya sebelum akhirnya menutup mata.
Dengan enggan, Riko berlari meninggalkan semuanya. Setiap langkahnya dialiri air mata dan juga janji.
Janji seorang anak pada ibunya. Ia terus mencari pekerjaan setiap pulang sekolah hingga akhirnya ia diadopsi oleh pemilik rumah makan yang selalu ia cuci piringnya setiap hari dan hanya meminta upah makan sebanyak tiga kali sehari. Sang pemilik rumah makan iba padanya lalu mengizinkan Riko tinggal di ruangan kosong samping gudang.
Pada dasarnya, Riko memang anak yang pandai. Ia pun tak pernah absen membaca buku meski tengah mencuci piring. Melihat ketekunan Riko, pemilik rumah makan tersebut mengangkatnya sebagai anak. Kebetulan, pemilik rumah makan tersebut adalah seorang janda tua yang sudah menopause.
Sebagai baktinya pada ibu pemilik rumah makan, Riko berjanji akan membahagiakan beliau. Namun, takdir berkata lain. Baru saja Riko hendak memberikan kabar gelar sarjana terbaiknya pada ibu angkatnya, justru maut yang lebih dulu menjemput.
Sang ibu meninggal karena pembekuan darah di kepalanya akibat ulah pekerja yang korupsi uang hasil rumah makan.
Pada saat itu, kondisi ibu angkat memang sedang kurang sehat.
Lagi dan lagi, Riko berjanji pada dirinya sendiri akan mencari pelaku yang menyebabkan ibu angkatnya seperti ini.
Di saat ia tengah termenung, teringat masa kelamnya, ia dikejutkan oleh sebuah suara yang berteriak meminta bantuan dan memanggilnya dokter. Karena kebetulan hanya dirinya yang tidak keluar mencari makan, ia bergegas pergi menemui pasien tersebut.
Riko terkejut, ia kembali dipertemukan oleh cintanya di masa lalu, Nirmala. Ya, Nirmala kini menjadi pasiennya.
Ia harap kali ini ia bisa mengungkapkan perasaannya pada Nirmala, perasaan yang sekian lama ia pendam.
"Dokter, bagaimana dengan cucu saya?" tanya Nyonya Griffith dengan nada khawatir. "Hah, ini cucu Anda, Nyonya Griffith?" tanya Dokter Rico, yang merupakan dokter paling lama di rumah sakit tersebut dan sangat mengenali keluarga Nyonya Griffith.
"Ya, dia cucu menantu saya," ucap Nyonya Griffith dengan bangga. Dokter Rico mengalihkan pandangannya pada Saga. "Dia sudah menikah," gumam Dokter Rico dalam hati dengan nada kecewa.
Sebagai dokter ia berusaha untuk tetap profesional sejenak ia mengabaikan rasanya, ia menjelaskan tentang apa yang di alami oleh pasien nya.
Setelah semua ia sampaikan ia mempercepat langkahnya menuju ke ruangan milik nya, ia langsung menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi, membuka kacamata nya dan menutupi wajahnya.
Riko menangis baru saja ia merasakan bahagia bisa bertemu dengan cintanya justru ia malah mengalami sesuatu yang membuat dadanya sakit, seperti di hantam batu besar sesak yang ia rasa.
Sebagai dokter, ia berusaha untuk tetap profesional, sejenak mengabaikan perasaannya. Ia menjelaskan tentang apa yang dialami oleh pasiennya.
Setelah semua ia sampaikan, ia mempercepat langkahnya menuju ruangannya. Ia langsung menjatuhkan tubuhnya di kursi, membuka kacamatanya, dan menutupi wajahnya.
Riko menangis. Baru saja ia merasakan bahagia bisa bertemu dengan cintanya, justru ia malah mengalami sesuatu yang membuat dadanya sakit, seperti dihantam batu besar, sesak yang ia rasa.
"Kenapa harus dipertemukan lagi jika memang dia bukan untukku, Tuhan? Apa salahku sehingga aku harus merasakan sakit seperti ini?" rintih Riko.
Cukup lama ia menangis, Riko terdiam sejenak lalu tersenyum, "Mungkin aku masih diberi kesempatan untuk menjaganya lewat sakit yang ia alami," ucap Riko sembari menganggukkan kepalanya.
Mulai dari hari itu, Riko bertekad membuat Nirmala nyaman selama menjadi pasiennya.
Hari pertama Nirmala sadar, ia memeriksa semua yang ada pada Nirmala. Semuanya normal dan baik-baik saja.
Nirmala akhirnya sadar. Ia menatap seluruh ruangan. Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan sosok yang ia rindukan, Nyonya Griffith.
"Oma," panggil Nirmala. Nyonya Griffith pun segera melangkah cepat dan memeluk tubuh Nirmala.
Tangis Nirmala pecah. Ia mengadukan semuanya pada Nyonya Griffith, "Oma... mereka merusak motorku, Oma. Aku baru saja keluar dari mal setelah membeli buku novel yang ingin ku beli. Tapi mereka merusaknya, Oma. Aku tidak tahu mereka siapa, tapi aku lihat sekilas mereka lebih dari dua orang, Oma, pakai mobil hitam." Tanpa ia sadari, sepasang mata menatap tajam seperti elang yang mengintai mangsanya.
Nyonya Griffith pun ikut menangis mendengar cerita Nirmala. Mungkin bagi sebagian orang, motor bisa diganti dengan yang baru, tapi bagi Nirmala, tidak ada yang bisa menggantikan motor pemberian sang ayah karena hanya benda itulah yang membuatnya merasa seperti selalu bersama sang ayah.
Saga mengambil ponsel dan mengetikkan sesuatu, lalu kembali menyimpan ponselnya di saku celananya.
Tak lama, pintu terbuka menampilkan sosok dokter pria yang didampingi oleh perawat. Dokter tersebut memeriksa keadaan Nirmala, "Semua baik-baik saja," ucap dokter tersebut sebelum berlalu.
Oma pergi sebentar menerima panggilan telepon di ponsel miliknya. Kini hanya ada Nirmala dan Saga di dalam ruangan tersebut.
Pintu kembali terbuka, menampakkan perawat yang membawa nampan berisikan bubur, buah dan susu untuk sarapan Nirmala.
Nirmala enggan menyentuh sarapan miliknya karena ia tak memiliki selera makan sama sekali, dan lagi, ia tidak menyukai susu putih.
Saga menyadari itu melalui ekor matanya. Meskipun ia terlihat sibuk, tapi ia tetap memperhatikan sekitarnya. Saga menutup laptopnya dan meletakkannya di meja.
Ia kemudian bangkit dan menghampiri Nirmala, "Apa yang kamu inginkan?" tanya Saga.
Nirmala hanya menggeleng pelan. Bibir dan wajahnya pucat. Saga menghembuskan napasnya pelan. Ia ingin berusaha sabar menghadapi makhluk bumi yang tak pernah salah di depannya ini.
"Apa kamu sedang datang bulan?" tanya Saga yang dihadiahi pelototan mata oleh Nirmala. Dengan segera, Saga meraup wajahnya kasar. Entah mengapa sejak semalam, melihat Nirmala melotot saja seperti bertemu malaikat maut.
Padahal, musuh paling kuat dan tangguh sekalipun, ia tak pernah gentar.
Saga menelan ludahnya, "Kalau kamu sedang datang bulan, aku bisa keluar membelikan mu camilan," tawar Saga. Perlahan, mata Nirmala kembali seperti semula.
Nirmala tampak berpikir dan akhirnya ia memutuskan untuk meminta sesuatu pada Saga, "Aku mau es krim, cokelat, keripik kentang, beberapa camilan, terus apalagi ya?" ucap Nirmala sambil menempelkan telunjuknya di dagu.
"Kamu ini sedang memanfaatkan aku atau memang kelaparan?" tanya Saga.
Nirmala cuek, "Sudah, Tuan, itu saja," ucap Nirmala. Saga mengambil ponsel dan mengetikkan sesuatu di sana, lalu kembali mengantongi ponselnya dan kemudian duduk kembali.
Nirmala melongo. Tadi, pria itu menawarkan akan keluar membeli apa yang ia inginkan, tapi setelah dirinya menyebutkan apa keinginannya, pria itu malah memainkan ponsel dan kembali duduk.
Saat Nirmala hendak protes, pintu terbuka menampilkan sosok pria berbadan tambun dengan sekeresek besar camilan sesuai permintaan Nirmala tadi.
Nirmala mengangguk menerima sekeresek camilan tersebut. Ia meletakkannya di pangkuannya dan mencari sesuatu yang berada di paling bawah keresek, hingga ia kesulitan. Saga langsung bangkit membantu Nirmala, "Mau apa?" tanya Saga.
"Es krim," ucap Nirmala menunjuk bagian paling bawah. Saga mengangkat kantong keresek tersebut dan memindahkannya ke kursi, lalu merogoh dan akhirnya ia mendapatkan es krim yang diinginkan Nirmala.
Saga menyerahkan es krim tersebut pada Nirmala setelah ia membuka plastik penutupnya. Dengan senang hati, Nirmala menerimanya.
"Tuan, cobalah," ucap Nirmala sambil menyodorkan suapan pertama es krim miliknya pada Saga. Saga menggeleng, tapi Nirmala bersikeras. Dengan ragu, Saga menerima suapan es krim tersebut.
Pintu terbuka menampilkan dokter pria yang akan datang setiap tiga kali sehari mengontrol pasiennya, "Permisi," ucap Riko.
Nirmala tersenyum, sedangkan Saga kembali pada setelan awalnya, yakni muka datar dan sikap dingin yang mendominasi. Nirmala tampak senang mengobrol dengan dokter pria itu.
Entah sejak kapan Nirmala mengenal dokter itu, Saga merasakan dadanya panas dan bergejolak seperti ada api di dalamnya. Ia pun memilih keluar dari ruangan. Tanpa sadar, Saga membanting pintu hingga pyarrrr... kaca di bagian pintu tersebut pecah.
Semuanya terkejut, bahkan Saga pun terkejut dengan tingkahnya. "Tuan, Anda tidak apa-apa?" tanya Nirmala.
Saga hanya menggeleng pelan. Ia berlalu meninggalkan keduanya di dalam ruangan dengan pintu yang bolong.
Riko terkejut mendengar panggilan Nirmala untuk suaminya, "Tuan?" Riko hendak bertanya, tapi waktunya tidak cukup. Ia harus memeriksa pasien yang lain. Setelah dokter tersebut pergi, barulah Saga kembali masuk membawa pengawal serta seorang pria yang terlihat seperti seorang yang bisa memasang kaca.
Keesokan harinya
Dokter itu kembali dan memeriksa keadaan Nirmala, tapi kali ini ada yang membuatnya berbeda. Dokter itu dengan berani menyentuh hidung Nirmala saat mereka tengah bertanya jawab. Saga kembali merasakan panas di bagian dadanya. Tak ingin mengganti kaca pintu untuk kedua kalinya, ia memilih untuk fokus pada pekerjaannya di laptop.
Tapi ia merasa janggal, dokter biasanya memeriksa hanya sebentar, tapi ini justru malah duduk di kursi samping Nirmala. Saga bangkit mendatangi keduanya.
"Khm... belum selesai pemeriksaannya?" tanya Saga sudah mengeluarkan aura mengintimidasi.
"Sudah," ucap Riko santai. Ia bangkit dan melambaikan tangan pada Nirmala, lalu menghilang di balik pintu. Nirmala menangkap keanehan pada Saga. Nirmala memiringkan kepalanya, lalu tersenyum.
Melihat itu, Saga memutar matanya malas. Entah mengapa, Saga merasa ingin marah jika Nirmala dekat dengan pria mana pun, bahkan dengan Ace sekalipun.
Saga pernah memarahi Ace hanya karena Nirmala memanggil Ace dengan sebutan tuan, aneh kan?
Malam harinya
Saga baru saja keluar. Ia membeli minuman datang bulan untuk Nirmala serta membelikan beberapa camilan. Awalnya, ia memerintah pengawalnya, tapi Nirmala hanya ingin makan dengan apa yang dibeli oleh Saga, maka dari itu Saga yang berangkat.
Saat berada di depan pintu ruangan Nirmala, ia mendengar suara Nirmala yang merintih, "Aduh, sakit." Saga panik. Ia langsung membuka pintu. Yang ia lihat adalah wajah dokter yang hanya berjarak beberapa senti dari wajah Nirmala.
Saga langsung menjatuhkan barang bawaannya. Ia menarik kerah dokter tersebut, membawanya menjauh dari ranjang Nirmala, dan menghadiahi wajah dokter tampan itu dengan beberapa pukulan.
Bugh... bugh... bugh....
Nirmala berteriak, "Tuan, hei... stop! Apa yang kamu lakukan?" Suara Nirmala kali ini tak terdengar oleh Saga. Ia masih asyik meninju wajah dokter itu bagaikan samsak hidup.
"Saga! Berhenti, aku mohon," teriak Nirmala dengan air mata yang sudah meleleh. Suara ini terdengar oleh Saga. Ia langsung menghentikan aktivitasnya dan menatap wajah Nirmala yang sudah basah. Riko membenarkan pakaiannya dan berjalan keluar.
Saga meraup wajahnya kasar. Tidak tahu mengapa setiap melihat Nirmala menangis, hatinya terasa perih. Ia ingin segera memberikan pelajaran pada orang yang membuat Nirmala menangis. Ia mendekati ranjang Nirmala dengan perasaan bersalah.
Ia menghapus jejak air mata milik Nirmala. Nirmala justru tambah menangis. Ia mengambil tangan Saga, melihat di bagian buku-buku jari milik Saga ada luka di sana. Nirmala menangisi luka yang ada pada tangan Saga, "Kamu kenapa? Kenapa memukuli orang seperti itu? Jangan sakiti dirimu terus," ucap Nirmala mengusap pelan luka tersebut.
Saga menghela napas. Ia menarik tengkuk Nirmala, menempelkannya di dadanya, "Maaf," ucap Saga lirih.
Malam itu, Nirmala meminta tidur berdua dengan Saga. Ia pun menyanggupinya. Beruntung, ranjang milik Nirmala luas, cukup untuk dua orang.
Pagi hari
Ekspresi Riko bagai awan mendung di pagi hari, menandakan kekecewaan dan ketidakbahagiaan.
Seperti biasa, dokter Riko kembali memeriksa keadaan Nirmala, tapi sepertinya pagi ini membuat wajah Riko kusut seperti pakaian yang belum disetrika. Ia mendapati Saga tidur dengan memeluk tubuh Nirmala di ranjang yang sama.
Riko meminta perawat membangunkan mereka, lalu dengan cepat, singkat, dan padat, Riko menjelaskan semuanya dan mengabarkan jika Nirmala sudah boleh pulang hari ini juga.
Saga memanggil pengawalnya yang berada di luar untuk membantunya berkemas, sementara dirinya sibuk membantu Nirmala ke kamar mandi karena Nirmala ingin membersihkan diri.
Setelah semuanya selesai, dokter Riko kembali menemui Nirmala, bahkan Riko sempat memeluk tubuh Nirmala hingga membuat darah Saga mendidih. Tapi dengan cepat, Nirmala mendorong tubuh Riko dan segera menjauh.
Saga dengan lihai mengendarai mobil seperti di arena balap, menyalip ke kanan dan ke kiri, bahkan sempat memutar mobilnya. Tanpa ia sadari, kelakuannya itu membuat Nirmala berteriak ketakutan.
Saga melampiaskan amarahnya melalui mobilnya. Mendengar Nirmala berteriak, ia segera menepi. Ia menangkap wajah Nirmala yang sudah pucat. "Maaf," ucap Saga.
"Jangan begini lagi, Tuan, aku takut," ucap Nirmala. Saga langsung mengecup bibir Nirmala.
Nirmala terkejut. Ia segera mendorong tubuh Saga, "Jangan panggil aku Tuan," ucap Saga. "Lalu?" tanya Nirmala.
"Terserah," ucapnya. Nirmala memiliki ide untuk mengerjai Saga, "Bagaimana kalau sayang?" tanya Nirmala. Saga mengangguk lalu tersenyum, "Boleh, terus panggil aku seperti itu," ucap Saga yang langsung menyalakan mesin mobilnya dan kembali melaju di jalanan.
Kasihan Nirmala, niat mau ngerjain malah senjata makan tuan judulnya.