“Dikhianati suami, ditikam ibu sendiri… masihkah ada tempat bagi Andin untuk bahagia?”
Andin, seorang wanita sederhana, menikah dengan Raka—pria miskin yang dulu ia tolong di jalan. Hidup mereka memang pas-pasan, namun Andin bahagia.
Namun kebahagiaan itu berubah menjadi neraka saat ibunya, Ratna—mantan wanita malam—datang dan tinggal bersama mereka. Andin menerima ibunya dengan hati terbuka, tak tahu bahwa kehadiran itu adalah awal dari kehancurannya sendiri.
Saat Andin mengandung anak pertamanya, Raka dan Ratna diam-diam berselingkuh.
Mampukah Andin menghadapi kenyataan di depannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Udara sore itu terasa lembut ketika Andin membuka matanya di rumah sakit.
Cahaya matahari yang menembus tirai tipis menyentuh wajahnya. Napasnya kini lebih tenang.
Di kursi dekat ranjang, Hans duduk sambil menatapnya lega.
“Kau aman sekarang,” katanya pelan.
Andin tersenyum tipis. “Terima kasih, Hans… untuk semuanya.”
Dokter masuk, memeriksa kondisinya, lalu berkata, “Luka hanya lecet ringan, tidak ada yang serius. Anda sudah boleh pulang sore ini.” ucap Dokter itu ramah.
Andin mengangguk pelan. Tapi begitu dokter pergi, ia menatap ke luar jendela, pikirannya menerawang jauh.
Begitu banyak hal yang telah ia lalui—rasa takut, kehilangan, dan luka yang belum sembuh.
Namun hari ini… entah mengapa, jiwanya terasa sedikit lebih ringan. Setelah Raka dan Clara tidak lagi menjadi ancaman dalam hidupnya.
Ketika ia melangkah keluar dari ruang perawatan, sebuah suara tangis anak kecil membuat langkahnya terhenti.
“Tidak mau disuntik! Tidak mau disuntik!”
Suara cadel itu bergema di lorong.
Seorang anak perempuan kecil, sekitar dua tahun, berlari terbirit-birit sambil menangis. Rambutnya ikal, pipinya merah, matanya besar—mirip sekali dengan bayangan wajah kecil yang selama ini hanya hidup di mimpi Andin.
Andin membeku sesaat. Tanpa sadar, Andin berjongkok dan merentangkan tangan.
“Hey… jangan lari ya, nanti jatuh,” bisiknya lembut.
Anak kecil itu langsung berlari ke arahnya dan memeluknya erat, wajah mungilnya menempel di dada Andin.
Andin terdiam. Detik itu dunia berhenti.
Ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya—rasa yang begitu familiar, hangat, menyayat, dan manis sekaligus.
Tangannya refleks mengusap rambut anak itu dengan gemetar.
Wangi sabun bayi, suara tangis kecil, dan detak jantung mungil itu… membuat dadanya sesak. Andin merasa sedang menggendong anaknya, namun hatinya tersadar bahwa anaknya sudah meninggal.
“Queena?” suara seorang wanita memecah lamunannya.
Seorang ibu muda datang tergesa. Wajahnya cemas.
“Maaf, anak saya memang suka lari kalau mau disuntik.”
Anak kecil itu langsung menunjuk dokter di ujung lorong dengan pipi menggembung.
“Enggak mau disuntik, sakit!”
Andin tersenyum tipis, melepaskan Queena dari gendongan nya. berlutut sejajar dengannya.
“Kalau kak Andin temani, mau nggak?” Tanya Andin lembut.
Anak kecil itu terdiam, lalu mengangguk pelan.
Ibu anak itu tampak terkejut.
“Biasanya dia tidak mau sama siapa pun.”
Andin tersenyum lembut, menggandeng tangan mungil itu menuju ruang suntik.
Anehnya, selama proses itu, anak kecil itu sama sekali tidak menangis. Ia menggenggam jari Andin erat-erat, seolah merasa aman.
Setelah selesai, anak itu menatap Andin dan tiba-tiba mencium pipinya.
“Terima kasih, Kak Andin…” katanya polos.
Andin tertegun. Suaranya… wajahnya…
Untuk sesaat, ia merasa sedang memeluk kembali anaknya yang telah tiada.
Air matanya menetes tanpa sadar.
"Terimakasih, Andin. Berkat kamu Queena mau di suntik" Wanita itu berterima kasih berulang kali sebelum membawa putrinya pergi.
Andin mengangguk, ia masih berdiri di tempat, menatap punggung kecil itu hingga menghilang di balik lorong.
Hans yang menunggu di ujung ruangan melihat wajah Andin yang lembut namun penuh air mata.
Ia menghampiri dengan pelan.
“Kau baik-baik saja?”
Andin mengangguk, meski suaranya serak.
“Ya… hanya saja… aku merasa seperti baru saja bertemu dengan bagian dari diriku yang hilang.”
Hans terdiam, menatapnya penuh empati.
Ia tahu luka itu belum sembuh. Tapi untuk pertama kalinya sejak lama, Andin tersenyum dengan tulus — bukan karena terpaksa, tapi karena hatinya perlahan mulai menemukan ketenangan yang dulu hilang.
"Jika saja anakku masih hidup. Mungkin dia seumuran anak itu" lirih Andin hampir menangis mengingat kembali Anaknya yang sudah meninggal.
.
.
.
Bersambung.