Kayla terkenal sebagai ratu gelud di sekolah-cewek tempramen, berani, dan udah langganan ruang BK. Axel? Ketua geng motor paling tengil sejagat raya, sok cool, tapi bolak-balik bikin ortunya dipanggil guru.
Masalahnya, Kayla dan Axel nggak pernah akur. Tiap ketemu, selalu ribut.
Sampai suatu hari... orang tua mereka-yang ternyata sahabatan-bikin keputusan gila: mereka harus menikah.
Kayla: "APA??! Gue mending tawuran sama satu sekolahan daripada nikah sama dia!!"
Axel: "Sama. Gue lebih milih mogok motor di tengah jalan daripada hidup seatap sama lo."
Tapi, pernikahan tetap berjalan.
Dan dari situlah, dimulainya perang baru-perang rumah tangga antara pengantin paling brutal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim elly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 9
Keesokan harinya, Kayla terbangun. Matanya masih sayu, rambutnya berantakan.
Ia duduk mendekat pada Revan yang tengah menatap api unggun yang mulai meredup, lalu langsung memeluk lengan cowok itu seperti kebiasaannya.
"Cuci muka dulu, ikh," ucap Revan kening nya mengkerut menatap rambut kayla.
"Masih ngantuk," gumam Kayla malas, wajahnya menempel di lengan Revan.
Revan menoleh sekilas. "Kalo masih ngantuk, kenapa lo bangun?"
"Laper... beli sarapan yuk." Kayla mempererat pelukannya, tubuhnya menggigil karena udara pagi yang dingin menusuk.
"Cuci muka dulu." Revan tetap kekeuh.
"Hmm... sambil jalan." Kayla mengalah, lalu beranjak dengan langkah malas.
Mereka pun berjalan ke toilet, kemudian menuju warung gorengan di dekat lokasi.
Aroma minyak panas dan tepung menyambut, membuat perut Kayla makin keroncongan.
Dari kejauhan, Laras mengamati tingkah Kayla dan Revan. Ia menyenggol Salsa. "Sa, si Kayla tuh yakin sahabatan?" tanyanya ragu.
"Emang gitu dari dulu," jawab Salsa, meski ada nada getir. Ia sedikit cemburu dengan pemandangan itu.
Laras mengangkat alis. "Lah, kok lo suka sama sahabatnya? Kayaknya dia suka sama Kayla deh."
"Tapi Kaylanya nggak..." Salsa mencoba menyangkal, walau nada suaranya bergetar.
"Yakin? Mereka saling suka itu. Udah, lo mundur, Sa. Nggak akan bener kalo dipaksain," ujar Laras sambil mengunyah gorengan, kalimatnya menusuk seperti pisau.
Salsa terdiam, menahan rasa sakit di dadanya. Ia mencoba menelan gorengan yang kini rasanya hambar.
"Si Kayla kan sama Putra. Malem dia cerita abis nerima Putra," timpal Anya sambil menyeruput Pop Mie panas.
"Masalahnya,Cowok yang lo suka itu malah suka sama Kayla. Jadi jangan maksain, Sa."
Obrolan mereka ternyata terdengar oleh Romi yang duduk tak jauh. Cowok itu menoleh iseng. "Lo suka sama Revan, Sa?" tanyanya tiba-tiba.
"Romi! Denger ya?" Salsa terkejut, wajahnya memerah.
"Dikit," jawab Romi santai sambil terkekeh.
Salsa mencoba menutupi rasa malunya dengan senyum samar. "Udah, ah, jangan dibahas."
"Ya udah. Gue ke sana dulu," ucap Romi, melangkah ke arah Revan dan Kayla bersama pacarnya.
Di sisi lain, Kayla kembali dengan piring gorengan di tangannya. Dengan nada manja ia berkata, "Mau disuapin?"
Romi yang baru datang berkata. "Kumat lu, Kay."sambil terkekeh.
"Ya dia kalo pagi-pagi emang gini," balas Revan sambil tersenyum.
"Ikh, Revan mah nggak ikhlas ya? Ya udah, jangan, ah," Kayla manyun.
"Enggak, ikhlas kok. Nih, makan lagi." Revan meraih sepotong gorengan dan menyuapi Kayla, matanya melembut.
Romi hanya geleng-geleng. "Gimana lo mau punya pacar, coba? Si Kayla manja gitu."
"Makanya." Ucap revan sambil tersenyum.
"Lo sama salsa ikh van kenapa ya lo ngga mau." Ucap kayla sambil manyun.
"Nanti aja tinggal berapa bulan lagi lulus kay,gue mau lulus dulu sekolah ngga penting pacaran." Ucap revan sambil menatap Kayla.
Dari kejauhan, Putra baru saja bangun. Matanya langsung tertuju pada Kayla yang sedang disuapi Revan. Rasa tidak enak menyeruak di dadanya.
"Yang bareng Kayla, lo tau?" tanyanya pada Axel.
"Ya, bodyguard-nya si Kayla," jawab Axel sambil menguap.
"Kok nyuapin Kayla sih?" Putra cemberut.
Axel menepuk bahunya. "Lo mau-maunya sama si Kayla. Dia nggak bakalan mau jauh dari Revan.
Kalo suruh milih antara lo sama Revan, dia pasti milih Revan. Percaya sama gue."
Putra terdiam, hatinya tercekat. "Kok gitu sih, anjir..."
Sementara itu, Revan bertanya singkat pada Kayla, "Pulangnya sama siapa?"
"Nggak tau. Gue jadian sama si Putra, dia nembak mulu," jawab Kayla sambil menyeruput teh hangat, wajahnya santai.
"Oh gitu." Revan hanya bergumam datar, sulit dibaca.
Kayla menawari rokok. "Rokok, Van?"
Tak lama kemudian, Putra datang menghampiri.
"Hay," sapa Kayla sambil tersenyum manis.
"Hay. Udah makan?" Putra mencoba basa-basi.
"Udah. Kamu mau sarapan?" Kayla menawari, rokok masih di tangannya.
Putra menatap rokok itu terkejut. "Kamu ngerokok, Kay?"
"Lah iya. Kamu baru tau?" Kayla heran.
"Iya..." Putra mengangguk kikuk.
Revan diam-diam menggeser duduknya, mendekat ke arah Romi, membiarkan Putra duduk di samping Kayla. Suasana jadi agak kikuk.
"Pulangnya bareng aku ya?" ucap Putra dengan senyum penuh harap.
"Boleh," jawab Kayla santai.
Revan menarik napas dalam, matanya menatap tanah.
"Van, lo nanti ikut di belakang ya. Jangan jauh-jauh," pinta Kayla sambil memainkan asap rokoknya.
"Iya, Kay. Tapi lo jangan ngerokok terus." Revan meraih rokok itu, mengisapnya, lalu mematikan.
"Akh, lo dingin tau," protes Kayla sambil cemberut.
"Pake selimut kalo dingin," jawab Revan sambil terkekeh.
"Ngga tau, ah. Ngembek." Kayla mendengus kesal.
"Nanti lo sakit, Kay," suara Revan melunak.
"Ya udah, iya..." Kayla menyerah, meski wajahnya masih merengut.
"Jangan ngambek dong, Kay," timpal Putra sambil tersenyum menenangkan.
"Ngga kok." Kayla memaksa tersenyum, meski jelas terlihat hatinya sedang campur aduk.
Siang harinya, mereka bersiap untuk pulang. Suasana hening, hanya suara motor yang dinyalakan terdengar.
"Van, sama Salsa pulangnya," bisik Kayla.
"Ngga, Kay," jawab Revan, kali ini menunduk.
"Motor kosong, Van, ya?" Kayla mencoba lagi.
"Ngga. Dia pake mobil aja. Titik." Revan tegas, suaranya terdengar kaku.
"Yeee... lo kenapa sih?" Kayla menoleh, bingung.
"Udah buruan naik motor pacar lo," ucap Revan kesal.
Kayla hanya bisa manyun. "Ya jangan ngambek dong. kesambet, lo ya?"
Revan diam, memilih menunggu di motornya sambil menahan amarah.
Beberapa menit kemudian, motor mereka melaju satu per satu, meninggalkan hawa dingin yang masih menggantung di siang itu.