Rendra Adyatama hanya memiliki dua hal: rumah tua yang hampir roboh peninggalan orang tuanya, dan status murid beasiswa di SMA Bhakti Kencana—sekolah elite yang dipenuhi anak pejabat dan konglomerat yang selalu merendahkannya. Dikelilingi kemewahan yang bukan miliknya, Rendra hanya mengandalkan kecerdasan, ketegasan, dan fisik atletisnya untuk bertahan, sambil bekerja sambilan menjaga warnet.
Hingga suatu malam, takdir—atau lebih tepatnya, sebuah Sistem—memberikan kunci untuk mendobrak dinding kemiskinannya. Mata Rendra kini mampu melihat masa depan 24 jam ke depan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilo Ginting, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28. Legitimasi Perisai dan Tatapan Sang Tuan
Hujan telah berhenti, meninggalkan aroma tanah basah dan ketakutan yang masih menggantung di udara kawasan Menteng. Pagi itu, matahari terbit seperti biasa, seolah malam sebelumnya tidak terjadi invasi brutal di salah satu rumah paling bergengsi di Jakarta.
Rendra tidak tidur. Setelah kembali ke bunker-nya, ia menghabiskan sisa malam untuk membersihkan jejak digital ponsel preman yang dibawa Bagas, memastikan tidak ada sambungan balik ke dirinya.
Pukul 08.00 pagi, sebuah mobil sedan hitam mewah berhenti tepat di depan ruko Rendra. Tidak ada pesan pemberitahuan. Tidak ada telepon. Kaca jendela belakang turun perlahan, menampakkan wajah Tuan Wirawan.
Ini adalah pesan tersirat: Aku tahu di mana markas barumu. Kau tidak bisa bersembunyi dariku.
Rendra keluar, mengenakan jaket hoodie santai, menutupi kewaspadaannya. Ia mendekati mobil itu.
"Masuk," perintah Wirawan singkat.
Rendra masuk ke kursi belakang. Suasana di dalam mobil itu hening dan dingin, berbau kulit mahal dan ancaman.
"Kau bertindak di luar perintah, Rendra," kata Wirawan tanpa menoleh, matanya menatap lurus ke jalanan yang mulai macet. "Menyelamatkan keluarga Paramita adalah prioritas, benar. Tapi caramu... mengambil inisiatif militer tanpa koordinasi dengan Rudi... itu berbahaya."
"Rudi terlalu lambat, Tuan," jawab Rendra tenang. "Jika saya menunggu instruksi Rudi, Pak Seno sudah dipaksa tanda tangan, dan Clara mungkin sudah cacat. Aset Anda akan hancur. Saya mengambil keputusan eksekutif untuk mengamankan investasi."
Wirawan menoleh perlahan. Tatapannya tajam, mencari keraguan di mata Rendra. Tidak ada. Hanya ada ketenangan sedingin es.
Wirawan tertawa kecil, suara yang kering. "Keputusan eksekutif. Kau bicara seperti CEO, bukan anak SMA. Kau tahu, Rendra? Ada garis tipis antara inisiatif yang brilian dan pembangkangan. Malam ini kau selamat karena hasilnya memuaskan. Lawan politikku kehilangan muka dan pasukan."
Wirawan menyodorkan sebuah kartu nama hitam polos dengan nomor emas.
"Pak Seno menghubungiku pagi ini. Dia sangat terkesan dengan 'pamanmu' dan sistem keamanan yang kau janjikan. Dia meminta rekomendasi resmi untuk menyewamu. Aku sudah memberinya lampu hijau."
Ini dia. Izin resmi.
"Tapi ingat ini," suara Wirawan merendah, menjadi desisan ular. "Kau boleh menjadi perisai mereka. Tapi rantaimu tetap ada di tanganku. Jangan pernah berpikir untuk menggunakan Pak Seno sebagai senjata melawanku. Karena jika kau melakukannya, aku tidak perlu menghancurkanmu. Aku cukup membisikkan satu kata ke telinga Pak Seno tentang siapa sebenarnya yang merancang skenario kerusuhan di Batavia Megacity."
Ancaman itu jelas. Mutually Assured Destruction (Kehancuran Bersama).
"Saya mengerti posisi saya, Tuan," jawab Rendra.
"Bagus. Sekarang keluar. Dan pastikan perusahaan keamananmu itu terlihat profesional. Aku tidak mau diasosiasikan dengan preman kampung."
Siang harinya, Rendra bergerak cepat. Uang bukan masalah, yang ia butuhkan adalah kecepatan legalitas. Menggunakan koneksi yang ia dapat dari W Network (daftar notaris yang biasa mengurus pencucian uang namun legal secara hukum), Rendra membeli sebuah PT yang sudah tidak aktif (dormant company) yang memiliki izin Badan Usaha Jasa Pengamanan (BUJP).
Nama PT itu diubah menjadi PT Nusantara Security Solutions.
Rendra menempatkan Bagas sebagai Direktur Operasional di atas kertas. Rendra sendiri tidak muncul dalam akta sebagai direksi, melainkan sebagai "Konsultan Teknis" melalui perusahaan cangkang Singapura-nya. Ini untuk menjaga profilnya tetap rendah. Dengan modal Rp500 juta yang ia suntikkan sebagai modal kerja, Rendra memerintahkan Bagas untuk melakukan belanja besar-besaran:
Peralatan Surveilans: CCTV resolusi 4K dengan pengenal wajah, sensor gerak inframerah, dan mikrofon long-range.
Kendaraan: Dua unit SUV hitam bekas namun berkondisi prima, dilapisi kaca film anti-pecah (bukan anti-peluru, karena izinnya terlalu sulit, tapi cukup untuk menahan pukulan benda tumpul).
Personel: Bagas merekrut empat mantan rekannya yang juga terbuang dari industri karena idealisme. Orang-orang yang setia pada orang, bukan pada uang.
Dalam waktu 24 jam, Rendra bukan lagi sekadar analis saham. Ia kini memiliki tentara swasta kecil.
Sore harinya, Rendra dan tim Bagas tiba di rumah Pak Seno. Mereka tidak datang sebagai tamu, melainkan sebagai profesional berseragam hitam taktis bertuliskan Nusantara Security.
Pak Seno menyambut mereka dengan wajah lebam yang masih diperban.
"Cepat sekali," komentar Pak Seno, terkesan.
"Keamanan tidak bisa menunggu, Pak," jawab Rendra. "Bagas akan memimpin instalasi fisik. Saya akan mengurus sistem siber."
Sementara Bagas dan timnya memasang kamera di setiap sudut mati dan memperkuat pagar, Rendra duduk di ruang kerja Pak Seno, menginstal server lokal yang terenkripsi.
Rendra memasang lebih dari sekadar pengaman. Ia memasang "Telinga".
Setiap kamera dan mikrofon di rumah ini terhubung ke server di bunker Rendra. Ia beralasan ini untuk "pemantauan jarak jauh 24 jam". Pak Seno yang awam teknologi menyetujuinya tanpa curiga. Kini, Rendra bisa mendengar setiap pembicaraan politik Pak Seno, setiap strategi lawan, dan setiap rahasia keluarga Paramita. Iron Wall kini berfungsi ganda: sebagai perisai pelindung Clara, dan sebagai alat mata-mata Rendra terhadap keluarga politisi itu.
Saat Rendra sedang mengonfigurasi firewall, pintu ruang kerja terbuka. Elena masuk. Wanita itu mengenakan pakaian rumah yang santai namun tetap elegan. Ia menutup pintu di belakangnya, lalu bersandar, melipat tangan di dada.
"Kau benar-benar melakukannya," kata Elena. "Kau mengubah rumah ini menjadi benteng."
"Hanya memenuhi permintaan klien," jawab Rendra tanpa menoleh dari layar.
"Ayahku percaya padamu. Clara memujamu. Tapi aku tahu siapa kau, Rendra. Atau setidaknya, aku tahu apa kau," Elena berjalan mendekat. "Kau agen ganda. Kau bekerja untuk Wirawan, tapi kau juga melindungi kami dari musuh Wirawan. Kau bermain di dua kaki."
Rendra berhenti mengetik. Ia memutar kursinya menghadap Elena.
"Kak Elena," Rendra menatap mata wanita itu. "Di dunia ini, berdiri di satu kaki membuatmu mudah didorong jatuh. Saya berdiri di dua kaki agar saya bisa menahan beban atap yang mau runtuh menimpa keluarga ini."
Elena terdiam. Metafora itu tepat.
"Wirawan tidak suka inisiatifmu semalam," bisik Elena. "Dia meneleponku pagi tadi. Dia bertanya apakah kau bisa dipercaya. Aku bilang... ya."
Rendra sedikit terkejut. Elena membelanya.
"Kenapa?" tanya Rendra.
"Karena kau menyelamatkan Ayahku dua kali. Sekali dari pajak, sekali dari pisau. Wirawan hanya peduli pada proyeknya, tapi kau... kau peduli pada nyawa kami. Aku tidak tahu apa agendamu, Rendra. Tapi selama kau melindungi Clara dan Ayah, aku akan melindungimu dari kecurigaan Wirawan."
Sebuah aliansi diam-diam terbentuk. Elena, sang perantara, kini secara efektif telah bergeser loyalitasnya bukan sepenuhnya kepada Rendra, tetapi kepada keselamatan keluarganya yang dijamin oleh Rendra.
"Terima kasih, Kak. Itu sangat berarti," kata Rendra tulus.
Setelah instalasi selesai, hari sudah gelap. Rendra berpamitan. Namun sebelum ia pergi, ia melihat Clara berdiri di balkon kamarnya di lantai dua.
Rendra mendongak. Clara melambai pelan, lalu memberi isyarat agar Rendra menunggu. Gadis itu berlari turun.
Clara keluar ke halaman, napasnya sedikit terengah.
"Kau mau pulang begitu saja?" tanyanya.
"Timku sudah selesai. Rumah ini sekarang aman, Clara. Kau bisa tidur nyenyak," kata Rendra.
Clara menatap Rendra dengan tatapan yang sulit diartikan. Campuran antara rasa syukur, kagum, dan rasa asing. Rendra yang berdiri di depannya dengan seragam taktis hitam dan earpiece terlihat sangat jauh berbeda dari Rendra yang dulu meminjam buku catatannya.
"Kau berubah, Rendra. Sangat cepat," bisik Clara. "Kadang aku merasa aku tidak mengenalmu lagi."
"Aku masih Rendra yang sama, Clara. Hanya... menyesuaikan diri dengan keadaan," jawab Rendra lembut. "Dunia ini keras. Aku harus menjadi lebih keras agar bisa melindungimu."
Clara maju selangkah, lalu memeluk Rendra erat. Kali ini bukan pelukan ketakutan seperti semalam, melainkan pelukan hangat.
"Jangan berubah terlalu banyak, Rendra. Jangan sampai kau lupa jalan pulang," bisiknya di telinga Rendra.
Rendra mematung. Jalan pulang. Ia sudah membakar jalan pulangnya saat ia menerima uang Wirawan. Tapi ia tidak mengatakannya.
"Aku janji," bohong Rendra lagi.
Rendra masuk ke dalam mobil operasionalnya. Bagas menyetir.
"Ke mana, Bos? Bunker?" tanya Bagas.
Rendra menatap layar monitor di dasbor yang menampilkan live feed dari rumah Paramita. Ia melihat Clara masih berdiri di gerbang, menatap kepergian mereka.
"Tidak. Kita ke pelabuhan," kata Rendra tiba-tiba. Matanya berkilat dingin. "Kita perlu memperluas mata dan telinga. CCTV saja tidak cukup. Aku butuh jaringan informasi jalanan. Kita akan merekrut pasukan pengemis dan anak jalanan."
Rendra tidak akan berhenti. Nusantara Security adalah perisai, tapi Rendra membutuhkan pedang yang lebih tajam. Jaringan intelijen jalanan (Street Eyes) akan menjadi langkah berikutnya untuk menguasai kota ini, satu sudut gelap demi satu sudut gelap.
Semangat Thor