Saat membuka mata, Anala tiba-tiba menjadi seorang ibu dan istri dari Elliot—rivalnya semasa sekolah. Yang lebih mengejutkan, ia dikenal sebagai istri yang bengis, dingin, dan penuh amarah.
"Apa yang terjadi? bukannya aku baru saja lulus sekolah? kenapa tiba-tiba sudah menjadi seorang ibu?"
Ingatannya berhenti disaat ia masih berusia 18 tahun. Namun kenyataannya, saat ini ia sudah berusia 28 tahun. Artinya 10 tahun berlalu tanpa ia ingat satupun momennya.
Haruskah Anala hidup dengan melanjutkan peran lamanya sebagai istri yang dingin dan ibu yang tidak peduli pada anaknya?
atau justru memilih hidup baru dengan menjadi istri yang penyayang dan ibu yang hangat untuk Nathael?
ikuti kisah Anala, Elliot dan anak mereka Nathael dalam kisah selengkapnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zwilight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 9 |Lebih dekat dengan Elliot
Suasana sore mengalun lembut bersama cahaya cerah yang tersenyum malu dilangit sore. Anala menatap jam di tangan kirinya—pukul empat sore, waktu yang tepat untuk jalan-jalan santai. Disebelahnya Elliot masih menengadah menatap langit, wajahnya terlihat lebih lelah sore ini.
Saat Anala sibuk memandangi wajah Elliot, tanpa sadar pria itu bicara tanpa mengalihkan pandangan. "Makasih karena udah jemput Nael," suaranya terdengar samar bersama kicauan burung. "Hari ini aku sibuk banget sampai nggak sempat ke sekolah."
Anala hanya tersenyum simpul, hatinya menghangat ketika Elliot bicara lebih terbuka padanya. "Nggak perlu bilang makasih, ini juga tanggung jawabku sebagai Mamanya."
Tak ada balasan yang tersisa, keduanya sama-sama diam terbawa suasana. Angin sore berhembus lebih kencang, membawa dedaunan luruh menjatuhi tanah. Beberapa kertas juga ikut terseret tanpa sengaja.
Anala mengambil satu kertas yang berhenti diantara kakinya—sebuah poster bergambar yang menarik perhatian. Seketika matanya melebar, poster itu berisi promosi event yang disukainya.
"Wah, di balai kota ternyata lagi ada pameran seni ya?" ujarnya dengan wajah penuh minat. Matanya terus tertuju pada poster yang tak sengaja terbawa angin.
"Iya salah satu event amal yang digelar seniman buat ngumpulin dana sosial."
Anala menoleh menatap Elliot dengan wajah kesal, bibirnya mencebik sok imut. "Kok kamu nggak ngasih tau aku? kalau tau kan aku pasti pergi, rugi banget nggak ikut ke pameran."
Elliot menatapnya penuh curiga, kepalanya dimiringkan dengan mata menyipit tak percaya. "Kamu? mau datang ke pameran seni?"
"Loh aku kan dari dulu emang suka seni, El. Masa kamu lupa?" kata Anala sambil menatap Elliot penuh heran, keningnya berkerut membentuk garis halus.
Elliot memperbaiki duduknya, menghadap Anala lebih serius. "Bukan lupa, tapi kamu nggak pernah bahas seni lagi selama beberapa tahun ini. Aku kira hobi kamu mungkin berubah? who knows?"
Anala menyipitkan matanya, kepalanya menggeleng pelan. "Hobiku nggak mungkin berubah. Melukis itu udah bagian dari jiwa aku."
Elliot terdiam membisu, membingungkan saat Anala terus bicara hal aneh. Namun ia yakin wanita itu sedang tak berbohong, tatapannya jelas kebingungan penuh tanya.
"Entahlah aku nggak tau apa yang terjadi, yang jelas kamu tiba-tiba berhenti melukis sejak saat itu," suaranya berubah lembut, sebelah tangannya menyisir rambut yang mulai berantakan.
"Itu nggak mungkin. Aku—nggak mungkin ninggalin hal paling ku sukai didunia ini, Elliot."
Elliot mengedikkan bahunya, matanya mulai lurus menatap Anala. Wajah wanita itu terlihat panik, ia gelisah. "Tapi kenyataannya kamu nggak pernah pegang kuas dan kanvas lagi semenjak Nael lahir."
"Ha?!" ucapan Elliot membuat Anala tercengang hingga sulit berkata-kata. Mulutnya menganga tak percaya. "Aku ninggalin dunia lukis gitu aja?"
Matanya perlahan berair, ia terlihat shock dengan segala fakta yang keluar dari mulut Elliot. Ia ingin menyangkal, namun tak bisa. "Sepertinya aku benar-benar gila beberapa tahun ini."
Elliot dibuat semakin heran. "Kamu beneran nggak ingat atau pura-pura nggak ingat?" jujur saja, Elliot masih belum bisa percaya pada semua bukti keanehan yang dimiliki istrinya beberapa waktu terakhir.
Anala makin kesal, ia melesat berdiri dari bangku kayu itu lalu berkacak pinggang didepan Elliot. "Beneran nggak ingat lah! kamu pikir aku bisa lupain hobi ku gitu aja?"
Elliot hanya menatapnya datar, nafasnya menghela pelan namun berat. Matanya bahkan berotasi ke arah lain. "Ya aku nggak bisa nebak. Semua orang bisa berubah, kamu buktinya."
"Mulai..." respon Anala malas. Elliot selalu mengakhiri pembicaraan dengan dingin. Salah satu caranya adalah dengan membawa masalalu kelam yang tidak Anala ingat sedikitpun.
Ketika suasana hati Anala masih kesal, tiba-tiba Elliot ikut berdiri. Tangannya mengibas-ngibas bagian belakang tubuhnya yang mungkin terkena debu.
Anala masih memperhatikan tingkahnya, ia seperti mengambil ancang-ancang untuk pergi. Tepat ketika Anala masih menatapnya, mata mereka bertemu. Elliot membuka bibir perlahan lalu mengeluarkan kalimat persuasif yang tidak diduga.
"Ayo kalau mau ke sana." ucapnya santai dengan wajah sok cueknya.
Seketika Anala tercengang. Suara kicauan burung menjadi musik latar yang mengalun disetiap pikirannya. Jantungnya berdebar kuat, matanya mengerjap beberapa kali. "Kamu mau ikut?" tanyanya ragu dengan suara pelan.
Pria itu mengangguk cepat tanpa bimbang. "Iya."
Tanpa menunggu balasan dari Anala lagi, Elliot langsung menuju mobil lebih dulu meninggalkan Anala yang masih kebingungan ditempatnya. Selalu seperti itu, tanpa perlu menunjukkan rasa yang menggebu—Elliot memilih tetap diam dan menunjukkan cintanya dengan cara berbeda.
Yes! ternyata suamiku masih sangat tergila-gila pada istri gilanya ini.
***
Elliot benar-benar membawa Anala ke area balai kota, tempat pameran seni sedang dilangsungkan. Banyak pengunjung yang berdatangan, suasana pun ramai dan menggairahkan.
Diluar gedung sedang berlangsung penampilan tari tradisional, dengan iring-iringan alat musik klasik yang mengagumkan. Pameran seni ini tak hanya sebagai galeri lukisan melainkan juga pertunjukan tari, musik, dan juga seni rupa tiga dimensi. Bisa dibilang bahwa tempat ini mendadak jadi surganya anak-anak seni.
"Wah, indahnya... udah lama banget aku nggak liat pameran seni sebesar ini," wanita itu terus memuji takjub pada pertunjukan dan dekorasi acara spektakuler ini. Matanya berbinar cerah, penuh minat menatap segala halnya.
Elliot hanya menemani istrinya tanpa menikmati suasana. Ini tak sesuai dengan minatnya, terlalu berisik dan juga terlalu padat.
Mereka berjalan menuju aula dalam tempat dipamerkannya beberapa lukisan hasil karya seniman lokal yang disumbangkan untuk acara amal ini. Sepanjang jalan Anala terus berdecak kagum, matanya benar-benar dibuat terpana.
Ia berhenti disebuah lukisan karya pelukis tersohor, matanya tersihir dengan takjub. "Liat deh El, lukisan Raden Saleh ini selalu bagus dan sarat akan makna ya."
Tanpa sadar tangannya menggandeng Elliot, ia mendongak menatap lukisan luar biasa yang dipajang didepan matanya.
Elliot bersikap santai, satu tangannya masuk ke kantong sementara matanya menatap lurus pada lukisan yang baru saja dipuji istrinya. "Aku nggak ngerti lukisan, tapi ya setuju karya beliau selalu bagus."
Anala tiba-tiba mengayunkan tangan Elliot tanpa sadar, ia bertingkah layaknya bocah. Kepalanya dimiringkan sambil tersenyum simpul. "Aku jadi kangen melukis lagi."
Elliot tersihir oleh tingkah menggemaskan itu. Mendadak jantungnya berdebar kuat seperti ingin lompat keluar. Wajahnya datar, tapi hatinya bergetar. Sudah hampir enam tahun menikah, tapi debaran untuk Anala masih tetap sama.
Pria itu berdehem pelan, mengontrol detak jantung yang membuat tubuhnya lemas seketika. Ia menarik napas panjang lalu bicara datar seperti semula. "Anu... kamu bisa melukis kapanpun kamu mau."
"Aku tau, tapi pasti ribet nanti kalau cat nya nyebar kemana-mana."
Mereka terus jalan sambil bicara. Tangan Anala masih betah menggandeng lengan Elliot dengan erat. Langkahnya dibuat pelan, sesekali memutar mata takjub dengan setiap lukisan yang dipajang disetiap sudutnya.
"Apa maksud kamu dengan ribet? kamu punya ruang pribadi untuk itu."
Langkahnya terhenti. Ia memutar badan menatap Elliot dengan seksama. Matanya menuntut jawaban dengan serius. "Maksud kamu, dirumah kita ada ruangan seni khusus buat aku?"
"Tentu," jawab Elliot sambil mengangguk pelan. Anala sedang menatapnya dengan lekat, ia mengalihkan pandangan ke arah lain, tangannya gelisah menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Ruangan itu udah lama nggak pernah kamu kunjungi lagi."
Mata Anala sontak membulat sempurna, senyumnya berubah sumringah. Tanpa sadar Anala langsung melingkarkan tangannya di pinggang Elliot. Membenamkan wajahnya di dada bidang suaminya. "Ternyata kamu benar-benar cinta sama aku ya."
Elliot mendengus pelan, namun tak menolak apapun yang dilakukan Anala pada dirinya. Kepalanya menengok ke arah kiri dan kanan, memastikan tidak ada yang terganggu dengan tingkah konyol mereka. "Jangan berlebihan Anala, malu diliatin bnyak orang."
Anala melepaskan pagutannya lalu menatap Elliot dengan mata melebar. "Aku nggak peduli, yang jelas aku seneng jadi istri kamu. Makasih ya? makasih banyak." kakinya berjinjit lalu mengecup pipi Elliot sekali lagi.
Elliot mematung ditempatnya. Lagi-lagi Anala mendaratkan kecupan sesuka hatinya di wajah Elliot. Namun ia tak menolak, sudah beberapa tahun sejak terakhir kali Anala bertingkah selepas ini didepannya.
Satu kata yang bisa keluar adalah kalimat malu-malu yang dibuat seperti sedang kesal. "Kamu benar-benar aneh!" ekspresinya dibuat kesal padahal telinganya memerah menahan malu.
Ketika keduanya sama-sama hanyut dengan kesenangan mereka, datangnya seorang pria tak dikenal dengan sebuah kamera di tangannya. Ia menyapa dengan sopan penuh keramahtamahan.
"Halo permisi, mas dan mbak..." salamnya ramah, ia juga mengulurkan tangan dengan sungkan. Elliot dan Anala saling pandang lalu menjabat tangan itu bergantian.
"Saya Ari dari tim fotografer event, kebetulan tadi saya tidak sengaja mengambil gambar kalian saat sedang berpelukan, dan menurut saya itu sangat hangat dan menenangkan."
Pasangan suami istri itu hanya diam sambil mendengar dengan seksama. Sesekali wajah mereka seperti menahan malu karena kepergok bermesraan ditempat umum, apalagi didalam galeri seni.
Pria itu terus bicara sambil tersenyum, terdengar sopan dan tidak menganggu. "Jadi saya ingin mengatakan bahwa kalian terpilih jadi salah satu pasangan ideal paling romantis versi hari ini. Mohon terima hasil fotonya mas dan mbak." tangannya terulur memberikan sebuah foto yang selesai dicetak.
Anala mengambilnya lalu matanya melebar dengan senyuman. "Oh... iya. terimakasih Mas."
Tidak cukup sampai disana, pria itu mengulurkan benda lainnya, "Kami juga punya voucher hotel selama 2 hari untuk kalian berdua."
Elliot hanya memperhatikan istrinya yang mengambil tiap benda yang diberikan pria ini. Sedangkan Anala, ia kegirangan sendiri karena diserbu hadiah yang tak terduga hanya karena berpelukan dengan Elliot.
"Ini beneran?" tanya Anala memastikan.
Pria itu mengangguk cepat. "Iya Mba, itu voucher dari salah satu hotel yang jadi sponsor di acara ini."
"Wah makasih banyak ya mas, nggak nyangka bisa menang banyak kayak gini."
"Sama-sama mbak. Sepertinya Mas dan Mbak ini sedang ditahap menuju pernikahan ya?"
"Kita udah punya anak!" potong Elliot secepat kilat.
Elliot menatap pria itu dengan tatapan horor, seperti tak suka hubungannya dengan Anala dikira masih dangkal. Padahal mereka sudah menyelam jauh sampai bisa mendapatkan Nathael.
Pria itu membelalak, lalu menunduk merasa bersalah. "Oh astaga, maafkan saya Mas. Saya kira kalian masih pacaran soalnya keliatan masih muda."
Anala hanya tersenyum menanggapi, ia menyikut Elliot agar berhenti bertingkah kaku. "Hehe nggak apa-apa Mas, suami saya emang orangnya to the point. Sekali lagi makasih ya..."
"Iya Mbak, kalau gitu saya permisi..."
Pria itu langsung kabur dengan kecepatan penuh. Elliot menakutkan, padahal orang itu hanya salah menerka.
Ketika Elliot kembali mengingat omongan pria tadi, senyum remeh muncul diwajahnya. "Pasangan ideal katanya...? konyol!" suara itu diikuti tawa sarkas, jelas lagi nyari ribut lagi
Anala menatap Elliot keheranan, keningnya bersungut curiga. Bibirnya terangkat satu, lalu satu kata lolos begitu saja. "Dih?"
"Dia nggak tau aja gimana gonjang ganjing hubungan yang hampir tenggelam ini."
Anala frustasi. Ia menempelkan telunjuknya dibibir lalu mendongak mensejajarkan pandangannya dengan Elliot. Tatapannya horor dengan alis yang saling menyatu. "Kamu diem atau ku cium!"
Elliot langsung tertegun, ia menelan ludah dengan kasar. Anala berubah jadi bar-bar belakangan ini, dan jelas hal itu jadi semakin membuat Elliot menggila.