Pernikahan Adelia dan Reno terlihat sempurna, namun kegagalan memiliki anak menciptakan kekosongan. Adelia sibuk pada karir dan pengobatan, membuat Reno merasa terasing.
Tepat di tengah keretakan itu, datanglah Saskia, kakak kandung Adelia. Seorang wanita alim dan anti-laki-laki, ia datang menumpang untuk menenangkan diri dari trauma masa lalu.
Di bawah atap yang sama, Reno menemukan sandaran hati pada Saskia, perhatian yang tak lagi ia dapatkan dari istrinya. Hubungan ipar yang polos berubah menjadi keintiman terlarang.
Pengkhianatan yang dibungkus kesucian itu berujung pada sentuhan sensual yang sangat disembunyikan. Adelia harus menghadapi kenyataan pahit: Suaminya direbut oleh kakak kandungnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini Nuraenii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Di balik pintu yang terkunci, detik-detik terasa seperti jam. Suara ketukan panik Adelia terdengar seperti palu godam yang menghantam moral mereka.
Reno dan Saskia bertindak cepat, didorong oleh insting bertahan hidup dan horor.
Reno dengan cepat mengenakan kemejanya, tangannya gemetar. "Aku yang akan buka! Kau cepat bersembunyi di balik selimut!" bisik Reno, suaranya nyaris tercekat.
Reno membuka kunci pintu, dan menarik napas dalam-dalam. Ia membuka pintu. Adelia berdiri di sana, wajahnya cemas dan sedikit kesal, matanya memandang tajam ke arah dalam kamar yang gelap.
"Mas Reno? Kenapa kamu di kamar Kakak? Dan kenapa dikunci?!" tuntut Adelia, suaranya naik. "Aku bangun dan kamu tidak ada di kamar! Ada apa sebenarnya?"
Reno memaksakan ekspresi lelah dan kesal. "Sayang, tenang. Jangan berteriak. Maafkan aku." Reno menunjuk ke sudut kamar yang gelap. "Tadi ada tikus. Tikus besar sekali, aku dengar suara kresek-kresek di dinding. Kakak panik dan menjerit pelan."
"Tikus?" Adelia mengerutkan kening, wajahnya seketika menunjukkan rasa jijik dan takut, meskipun rasa kesal masih ada.
"Ya, tikus! Aku langsung kemari dan mengunci pintu. Aku mengunci agar tikus itu tidak lari ke luar dan masuk ke kamar kita, Sayang! Kau paling takut tikus, kan? Aku tidak mau kau histeris."
Saskia, bersembunyi di balik selimut, mengeluarkan suara terengah-engah yang meyakinkan. "Aku takut sekali, Del... Mas Reno berusaha mengusirnya."
Adelia, yang hatinya sangat lembut dan memiliki fobia terhadap tikus, segera melunak. Ia mundur sedikit dari ambang pintu. "Ya Tuhan... tikus? Maafkan aku. Aku panik, Mas. Tapi kenapa kamu tidak membangunkanku? Aku bisa saja membantu walau takut sih"
"Kamu tidur sangat nyenyak, Sayang. Aku tidak mau membangunkanmu hanya karena tikus," kata Reno, memberikan senyum lega yang terasa getir.
Adelia merasa lega itu bukan masalah serius, tetapi ia tetap kesal. "Lain kali, beri tahu aku! Jangan mengunci diri seperti itu! Aku sangat khawatir! Aku pikir ada apa-apa yang buruk terjadi!" Ia lalu membantu Saskia.
Saskia, didorong oleh rasa bersalah yang mendalam, menangis tersedu-sedu, memeluk Adelia. "Maafkan aku, Del. Maaf sudah membuatmu cemas." Air mata yang tumpah itu adalah air mata dosa, bukan ketakutan pada hama.
Alibi itu berhasil. Reno telah menipu Adelia.
Sepanjang pagi, rasa bersalah Saskia termanifestasi menjadi tindakan nyata. Ia menjadi terlalu baik pada Adelia. Ia melayani Adelia seperti seorang pelayan yang bertobat.
Di meja sarapan, Saskia bersikeras menuangkan kopi untuk Reno, kemudian dengan cepat memindahkan semua makanan ke piring Adelia, dan bahkan mengambilkan sendok yang jatuh.
Gerakannya tergesa-gesa dan berlebihan.
"Del, kamu cantik sekali hari ini," kata Saskia saat Adelia bercermin sebelum berangkat. "Rambutmu bagus sekali. Mas Reno sangat beruntung memilikimu. Kamu wanita yang sempurna. Aku... aku iri padamu."
"Kenapa kamu mendadak begitu manis, Kak?" tanya Adelia, menatap Saskia di cermin. Ia melihat ada bayangan hitam di bawah mata Saskia dan kepucatan yang tidak wajar.
Saskia menjawab cepat, "Tentu saja. Aku hanya bersyukur kamu begitu peduli padaku. Aku berjanji akan menjadi kakak yang lebih baik untukmu. Aku berutang banyak padamu, Del."
Saskia terus menekan rasa bersalahnya, berharap perbuatan baiknya dapat mengurangi beban pengkhianatan. Ia menjauhi Reno sejauh mungkin, seolah ada aura kotor di sekeliling Reno.
Adelia mengamati tingkah laku keduanya. Reno terlalu tegang; ia hampir menjatuhkan cangkir saat Saskia bicara. Saskia terlalu gelisah tangannya terus mencengkeram tepi meja.
Ada yang salah. Mereka berdua menyembunyikan sesuatu. Pikir Adelia, insting bisnisnya menajam. Tapi apa?
Adelia melihat Reno melirik Saskia, bukan dengan hasrat, tetapi dengan ekspresi keputusasaan dan permohonan. Ia melihat Saskia membalas dengan penolakan dingin.
Jelas. Mereka berselisih. Adelia menyimpulkan. Kakak pasti meminta sesuatu yang tidak bisa diberikan Reno, mungkin uang, atau menumpang lebih lama. Dan Reno menolak dengan tegas, membuat Kakak marah dan sedih. Itu sebabnya mereka saling menghindar.
Adelia merasa frustrasi. Reno harus jujur padanya.
Mereka bertiga memulai perjalanan kembali ke ibu kota. Reno menyetir. Adelia duduk di sampingnya, lelah secara emosional. Ia segera tertidur pulas, menyandar di bahu Reno.
Reno dan Saskia, kini kembali terperangkap dalam mobil.
Reno memegang tangan Adelia di setir, tetapi matanya menatap Saskia di kaca spion. Ia melihat air mata mengalir di pipi Saskia.
Ia mencoba bicara. "Kak... Aku minta maaf..." bisik Reno sangat pelan.
Saskia menggeleng, air matanya deras. Ia mengeluarkan sapu tangan, dan menghapus air mata itu dengan kasar.
"Jangan pernah bicara lagi tentang semalam," bisik Saskia, suaranya kaku dan penuh penyesalan, nyaris tak terdengar di balik suara mesin mobil.
"Aku akan berdoa memohon ampunan. Dan kamu... Kamu harus menjadi suami yang baik untuk Adelia. Aku tidak akan membalas sentuhanmu lagi. Aku sudah cukup."
Reno merasakan sakit yang luar biasa. Penolakan Saskia kali ini adalah penolakan yang nyata, lahir dari rasa bersalah yang menghancurkan.
Reno menarik tangannya dari setir, dan mencoba meraih tangan Saskia yang ada di kursi belakang.
Saskia menarik tangannya secepat kilat. Ia menoleh ke jendela, memunggungi Reno. Ia menolak keintiman, menolak pengulangan dosa.
Mereka tiba di rumah di ibu kota. Semuanya terasa sama, tetapi tidak ada yang sama. Reno dan Saskia terikat oleh dosa yang tak terhapuskan. Adelia dihantui kegelisahan akan suaminya yang menjauh, tetapi ia salah mengarahkan kegelisahannya.
Saskia segera membersihkan diri, berlutut untuk berdoa, menangis memohon ampunan. Ia menciumi foto kedua orang tuanya, berjanji untuk menjauhi Reno. Reno duduk di kantor kerjanya, menatap kosong, tidak bisa bekerja.
Adelia menyaksikan kegelisahan suaminya. Ia memeluk Reno dari belakang.
"Mas, kita harus bicara," kata Adelia, suaranya lembut. "Aku merasa kita menjauh. Kita butuh waktu berdua. Kita harus kembali mesra seperti dulu. Aku ingin pernikahan kita kembali seperti dulu."
Reno memejamkan mata, membiarkan Adelia memeluknya. Ia tahu ia tidak bisa melarikan diri dari Adelia.
"Aku punya ide," kata Adelia, nadanya tiba-tiba bersemangat dan tegas, seolah sedang mengambil keputusan besar di rapat dewan direksi. "Aku tahu apa yang membuat kita tegang dan tidak fokus. Kita butuh privasi total. Kita butuh fokus satu sama lain, tanpa gangguan."
"Maksudmu?" tanya Reno, suaranya serak, merasakan teror dingin menjalar.
"Kakak harus pergi, Mas," kata Adelia, tegas. "Aku akan mencarikan kos-kosan yang nyaman untuknya, atau bahkan apartemen kecil. Aku akan memberinya modal untuk buka usaha katering kecil. Dia tidak akan menjadi pengurus rumah tangga lagi. Tapi dia harus pergi dari rumah ini, Mas. Keberadaannya di sini hanya menambah tekanan. Kita butuh rumah ini untuk kita berdua saja, untuk menyembuhkan hubungan kita."
Reno mendongak, terkejut dan panik. Kepergian Saskia akan mengakhiri penderitaannya, tetapi juga akan mengakhiri cinta terlarang yang ia temukan. Di sisi lain, ia tidak bisa menolak ide yang dibuat untuk menyelamatkan pernikahannya.
"Kamu serius, ? Apa Kakak akan setuju?" tanya Reno, berusaha menyembunyikan kepanikannya.
"Sangat serius, Mas. Ini untuk kebahagiaan kita, dan juga untuk masa depan Kakak sendiri. Aku akan memastikannya besok pagi. Dan setelah dia pergi, kita akan pergi liburan berdua saja," jawab Adelia, mencium pipi suaminya, yakin ia telah menemukan solusi terbaik untuk semua perasaan aneh yang ada di pikiran nya.
Adelia mulai sadar, ia harus mulai fokus pada Reno bukan pada pekerjaan nya. Ia akan mengimbangi dan memutuskan untuk lebih banyak menghabiskan waktu berdua dengan Reno.
Pagi Setelah Pengkhianatan (Reaksi Saskia):
Keesokan paginya, Adelia memanggil Saskia dan Reno ke ruang tengah. Adelia menjelaskan keputusannya dengan bahasa yang manis tetapi bernada perintah.
"Kakak, aku sudah memikirkannya. Kamu pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik, bukan hanya menjadi pengurus rumah tanggaku. Aku sudah menyiapkan dana, dan aku ingin kamu pindah," kata Adelia, memegang tangan Saskia.
Saskia hanya mengangguk pelan. Ia tidak melawan sama sekali. Ia menerima keputusan itu dengan kepasrahan yang dingin.
"Terima kasih, Del," bisik Saskia, matanya menghindari pandangan Reno. "Aku tahu ini yang terbaik untuk kita semua. Aku yang salah karena terlalu lama mengganggu rumah tanggamu." Kata-kata "mengganggu" bagi Saskia memiliki makna ganda: mengganggu ketenangan, dan mengganggu kesetiaan.
Reno duduk membeku. Ia tidak bisa membuka suara untuk menolak, karena itu akan mengkonfirmasi kecurigaan Adelia. Ia hanya menatap Saskia, mencoba mengirimkan pesan permohonan agar Saskia menolak.
Saskia tidak membalas tatapannya.
"Bagus! Kalau begitu, hari ini kita bertiga harus pergi mencari tempat yang cocok. Aku ingin tempat yang dekat dengan pusat ibu kota, agar mudah bagimu memulai usaha," putus Adelia dengan ceria, merasa berhasil memecahkan masalah kompleks ini dengan efisien.
Perjalanan mencari kos-kosan atau apartemen menjadi panggung penyiksaan yang mengerikan bagi Reno dan Saskia. Mereka terjebak bersama Adelia di dalam mobil, suasana tegang, diselingi canda tawa Adelia yang riang karena merasa ia sedang 'menyelamatkan' dua orang yang ia cintai.
"Nah, Kak. Aku rasa kos di daerah ibu kota sini bagus. Ada dapur kecil di luar, dan kamarnya cukup luas," kata Adelia, saat mereka meninjau sebuah kamar kos mewah di ibu kota.
Saskia hanya mengangguk. "Terserah kamu, Del. Aku ikut saja."
Di kosan ketiga, Adelia sibuk bernegosiasi dengan pemilik kos di lantai bawah. Reno dan Saskia ditinggalkan sendirian di kamar yang sunyi itu.
Reno menutup pintu kamar kos yang kosong. Ia berjalan cepat, menarik Saskia ke pelukannya.
"Kak, jangan lakukan ini," bisik Reno, suaranya putus asa. "Jangan pergi. Aku tidak bisa tanpamu. Aku tidak bisa kembali hidup seperti biasa setelah malam itu."
Saskia membiarkan Reno memeluknya hanya untuk satu detik, kemudian ia mendorong Reno dengan kekuatan penuh. Ia memukul dada Reno dengan tangan terkepal.
"Jangan sentuh aku!" desis Saskia, matanya merah karena menahan tangis. "Dengar, Reno. Malam itu adalah kesalahan terburuk dalam hidupku. Aku mencintai Adelia. Dia adikku. Aku tidak akan mengkhianatinya lagi. Pergilah dan lupakan aku. Kamu harus kembali ke istrimu!"
"Tapi, cinta yang kita temukan... Apa kamu tidak merasakannya?" tanya Reno, mencoba memegang tangan Saskia.
"Itu bukan cinta, itu dosa!" sergah Saskia, suaranya bergetar. "Aku memaksamu untuk pergi. Aku harus menjauh. Jika kamu ingin menebus dosa, jangan pernah mencari aku lagi!"
Reno mundur, melihat penolakan yang nyata, penolakan yang lahir dari rasa bersalah sejati.
Mereka akhirnya menemukan sebuah apartemen studio kecil yang Adelia sukai. Tempatnya bersih, memiliki dapur kecil, dan terletak strategis di area ibu kota. Adelia segera membayar sewa tiga bulan di muka dan memberikan modal usaha katering kecil kepada Saskia.
"Bagaimana, Kak? Sempurna, kan?" kata Adelia, ceria.
"Sempurna," jawab Saskia datar.
Adelia tidak menyadari, bagi Saskia, tempat ini terasa seperti penjara yang dibeli dengan uang darahnya. Tempat ini adalah hukuman yang Saskia terima dengan ikhlas.
Di dalam mobil dalam perjalanan pulang, Adelia menyandar pada Reno. "Aku merasa lega, Mas. Aku rasa keputusanku benar. Kakak akan punya kehidupan baru, yah walau aku pasti rindu kakak."
"Ya, sayang," jawab Reno, suaranya kosong. Ia melihat Saskia di kursi belakang menatap pemandangan ibu kota yang bergerak cepat, wajahnya tanpa emosi.
Adelia meraih tangan Reno. "Aku sudah atur tanggal kepindahannya. Tiga hari dari sekarang. Setelah itu, kita pergi berlibur, ya? Kita berdua saja."
Reno hanya mengangguk, hatinya terasa hancur. Tiga hari. Tiga hari tersisa bagi Reno dan Saskia berada di bawah satu atap, terperangkap dalam rahasia mereka.
Saskia memejamkan mata di kursi belakang. Ia tahu, tiga hari adalah waktu yang ia miliki untuk menenangkan hatinya dan mengubur Reno dari ingatannya. Ia harus menjadi Saskia yang kuat dan sendiri lagi.
Sementara itu, Reno menatap kaca spion. Ia tahu ia tidak bisa membiarkan Saskia pergi begitu saja. Setelah semua yang mereka bagi, setelah semua dosa yang mereka lakukan, ia tidak bisa membiarkan cintanya berakhir dengan penolakan.