Seharusnya, dengan seorang Kakak Kaisar sebagai pendukung dan empat suami yang melayani, Chunhua menjadi pemenang dalam hidup. Namun, kenyataannya berbanding terbalik.
Tubuh barunya ini telah dirusak oleh racun sejak bertahun-tahun lalu dan telah ditakdirkan mati di bawah pedang salah satu suaminya, An Changyi.
Mati lagi?
Tidak, terima kasih!
Dia sudah pernah mati dua kali dan tidak ingin mati lagi!
Tapi, oh!
Kenapa An Changyi ini memiliki penampilan yang sama dengan orang yang membunuhnya di kehidupan lalu?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon miaomiao26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Jing Zimo
Dulu namanya adalah Jing Ziyu, satu-satunya putra Menteri Pendapatan Da Liang, Jing Qian.
Kementerian itu adalah jantung keuangan negara—mengurus pajak, kas kerajaan, bahkan logistik tentara. Posisi menteri pendapatan adalah kursi panas, penuh godaan sekaligus ancaman.
Jing Qian dikenal bersih, jujur dan menolak kompromi.
Ia menolak ikut dalam skema korupsi besar yang dikendalikan oleh Perdana Menteri dengan restu Ibu Suri. Akibatnya, pada tahun pertama pemerintahan Kaisar saat ini, tuduhan palsu dijatuhkan padanya.
Dalam semalam, keluarga Jing hancur. Jing Qian dipenggal, harta dirampas, dan putra tunggalnya, Jing Ziyu, dikirim ke perbatasan untuk menjadi budak.
Tak berhenti di sana.
Musuh-musuh Jing Qian yang telah menahan diri selama bertahun-tahun, mengatur agar Jing Ziyu dijual ke rumah bordil, Nan Hua Ting.
Rumah bordil terbesar di Ibu kota yang tidak hanya menampilkan wanita cantik, tetapi juga pri-pria tampan.
Seorang putra pejabat tinggi, diturunkan menjadi mainan bagi tamu kaya, itu adalah hukuman paling hina.
Melihat penampilan patuh Jing Zimo, Chunhua ingat pada suatu malam beberapa tahun lalu.
Saat itu, Murong Chunhua berbaring miring di tempat tidur kamar paling mewah beraroma anggur dan dupa di Nan Hua Ting.
Mantelnya di lepas, hanya menyisakan pakaian dalam berwarna merah. Jepit rambutnya ditanggalkan, membuat rambut hitamnya tergerai bebas.
Saat Jing Ziyu didorong memasuki ruangan, dia dapat melihat raut jijik pria itu. Namun, bagaimanapun dia menolak, seorang pelayan wanita yang mendampinginya tidak melepaskannya.
Dia menekan kaki Jing Ziyu, memaksanya berlutut di depan tempat tidur bertirai merah.
"Berlutut! Apakah kamu tidak tahu siapa yang kamu hadapi?" bentak pelayan itu.
"...." Jing Ziyu masih terdiam, gigih. Tatapannya tajam dan penuh niat membunuh, membuat wanita itu ketakutan.
"Yang Mulia, tolong maafkan. Dia adalah barang baru, jadi tidak mengerti tata krama," kata pelayan itu dengan raut menjilat.
Kening Jing Ziyu mengerut.
Yang Mulia?
Satu-satunya wanita yang bisa dipanggil seperti itu adalah Putri Agung Fangsu.
Tangan Jing Ziyu mengepal erat, wajahnya memucat.
"Cepat berlutut!" Pelayan itu hampir hilang kesabaran di depan tamu agung. Dia ingin menendang pria ini dan memaksanya berlutut, tetapi Tuan melarangnya menggunakan kekerasan apapun.
"Sudahlah," ujar Chunhua, "jika tidak mau berlutut, maka tidak perlu. Kamu pergilah."
Pelayan itu tampak baru terbebas dari hukuman. Wajanya berubah menjadi cerah. Dia menunduk hormat pada Murong Chunhua kemudian memelototi Jing Ziyu dan beranjak pergi.
"Hanya pelacur, lihat bagaimana aku membereskanmu nanti!" gerutunya setelah pintu tertutup.
Sementara itu di dalam ruangan. Chunhua beranjak dari posisinya dan duduk di bangku tengah ruangan.
Dia menuang anggur untuk dirinya sendiri. "Jing Ziyu, putra Jing Qian."
Jing Ziyu masih berdiri di tempatnya, membelakangi Murong Chunhua. Tangannya mengepal erat dan dadanya terasa ditusuk saat nama ayahnya disebut.
Murong Chunhua mendengus. "Apakah harga dirimu itu bisa membuatmu tetap hidup?"
Hening sejenak. "Jika harga diri tidak bisa membuatku hidup, aku memilih mati."
Murong Chunhua tertawa keras. "Sungguh keras kepala, naif," cemoohnya, "kalau begitu, bisakah harga dirimu membalas kematian Jing Qian dan seluruh keluarga Jing-mu?"
"...."
"Sungguh malang, sejak menjabat, Jing Qian selalu jujur, tapi dicelakai. Setelah mati, bahkan putranya tidak sanggup membalas kematiannya."
Rahang Jing Zimo menegang, darahnya mendidih. "Jika aku menyerahkan harga diriku, bisakah kamu membantuku membalas mereka?"
Chunhua menjawab ringan, "tidak."
Jing Ziyu tersentak, dia berbalik dan menunjuk Murong Chunhua. "Kamu!"
Putri Agung Fangsu yang terkenal dengan temperamennya yang buruk hanya tersenyum kecil. "Lihatlah Nan Hua Ting ini. Begitu besar, begitu megah. Penuh tipu daya, tapi...."
Murong Chunhua berdiri, menghampiri Jing Ziyu yang masih membelakanginya. Pakaian merahnya berkibar lembut dan aroma elegan memenuhi Jing Ziyu saat dia berbisik. "Penuh informasi."
Mata Jing Zimo membulat. Sangat cepat, dia berbalik dan melihat Murong Chunhua yang kembali ke kursinya.
Chunhua mengambil cangkir berisi anggur dan menggeser ke sisi lain. "Jika kamu bersedia mengikuti Putri ini, Putri ini tidak hanya bisa memastikan nama keluarga Jing bersih, tetapi juga membiarkanmu membalasnya dengan tanganmu sendiri," tutur Chunhua, "bukankah itu lebih memuaskan?"
Jing Ziyu terdiam sejenak, kemudian berbalik dan duduk di seberang meja. Dalam satu kali teguk, dia menghabiskan anggur itu.
"Apa yang perlu aku lakukan?"
"Hua Lan," panggil Chunhua.
Kemudian, seorang wanita keluar dari belakang tempat tidur.
Jing Ziyu mengenalinya. Itu adalah Hua Lan, pelacur ternama di Nan Hua Ting.
"Hua Lan, menyapa Putri Agung." Wanita itu membungkuk hormat, bukan dengan salam wanita pada umunya, lebih seperti salam yang biasa digunakan di dunia persilatan.
"Hua Lan, Jing Ziyu mulai sekarang akan diserahkan padamu. Ajari dia semua yang diperlukan untuk mengoperasikan para Burung Hantu," perintahnya, "setengah tahun kemudian, Putri ini akan menjemputnya."
Burung Hantu? Nama itu terdengar familiar.
Kemudian, di Ibu kota tersebar berita. Putri Agung sedang tergila-gila oleh seorang pelacur pria dari Nan Hua Ting, Jing Zimo. Dia akan mengunjungi pria itu setiap hari dan memberinya hadiah mewah bahkan Kaisar dibuat pusing oleh keinginannya untuk menjadikan pria itu suami sahnya.
Akhirnya, setelah tarik-ulur selama beberapa bulan, Putri Agung diijinkan membawa pria itu pulang sebagai selir.
Suara desiran angin membawa kembali Chunhua ke saat ini. Cahaya matahari yang menembus kisi-kisi menyingkap wajah Jing Zimo.
Jing Zimo melihat Chunhua yang masih melihatnya. Begitu teliti. Seperti pembeli yang melihat daging, menilainya apakah cukup segar atau tidak.
Chunhua berdecak sekali, kemudian mencela, "heh, berlutut? Kepada siapa kamu ingin memamerkannya?"
Jing Zimo mengangkat bahu kemudian berdiri. "Beberapa pertunjukan masih perlu dilakukan," katanya, kemudian menghampiri Chunhua dan mendesak sebagian kecil tempat duduk untuk dirinya sendiri.
Chunhua melirik seorang pelayan yang sedang menyapu di halaman. "Ah, domba kecil," ujarnya, "omong-omong, apa yang membawamu ke sini?"
Kening Jing Zimo mengernyit. "Apakah Yang Mulia benar-benar menikahi An Changyi?"
Chunhua mengangguk. "Ya."
"Menarik An Changyi ke pihak kita memang terlihat menguntungkan, tapi An Yuanzhen, si pria kolot itu tidak akan mudah menyerah," tutur Jing Zimo.
"Tidak masalah jika tidak bisa menariknya ke pihak kita," jawabnya, "hanya saja putri perdana menteri saat ini berada di usia pernikahan."
Jing Zimo melihat Chunhua, tatapannya bercampur antara terkejut dan curiga.
"Mo'er, jangan katakan, kamu tidak mengetahuinya," ucapnya, "atau kamu juga berpikir rubah tua itu benar-benar akan mengirim dua kekasih masa kecil bersatu?"