Orang bilang Abel yang jatuh cinta duluan dengan gombalan-gombalan itu, tapi Abi juga tahu kalau yang rela melakukan apa saja demi membuat Abel senang itu Laksa.
.
Berawal dari gombalan-gombalan asbun yang dilontarkan Abel, Laksa jadi sedikit tertarik kepadanya. Tapi anehnya, giliran dikejar balik kok Abel malah kabur-kaburan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanadoongies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12
“Jangan ngintilin gue kalau lagi ketemu sama Abel.”
“Lah?”
“Muka lo bikin dia bete terus.”
“Ya Tuhaaaan. Perasaan bawaan pabriknya emang udah begini deh, kenapa malah disalahin juga?”
Abel sadar kalau dirinya cukup kekanakan dalam menanggapi permasalahan ini, tapi setiap kali membicarakan hal tersebut, akan muncul perasaan tidak terima seolah ia yang menanggung semuanya.
Simpati? Mungkin. Mau mendefinisikan secara luas, Abel juga tidak cukup mengerti.
“Bel, lagi PMS, ya, lo?” Anjani tersenyum tipis. “Perasaan kemarin udah oke-oke aja kok sekarang jadi emosi lagi? Baper?"
“Nggak tau.” Tapi bibirnya mulai bergetar karena menahan tangis.
“Lah, malah nangis.”
Abel tak begitu memperhatikan siapa-siapa saja yang telah menghuni gedung kesehatan itu, ia menerobos masuk seolah tempat itu hanya miliknya sendiri. Ranjang paling ujung telah ditempati, padahal ia berharap bisa menangis di sana sampai hatinya merasa lega. Terpaksa menghuni ranjang samping kalau begini caranya.
“Bel, jangan nangis elah. Kemarin lo, ‘kan, udah setuju buat maafin Bian, kok sekarang malah dipermasalahin lagi?”
“Sediiih.”
“Kata gue mending lo tidur. Lagi mellow begini kalau nggak menghindari konflik pasti bawaannya bakal nangis mulu.”
“Kasihan Laksa.”
“Ya elaaahh. Dia juga udah bisa baku hantam bisa-bisanya masih lo tangisin juga. Selama bukan sakit demam, cowok tuh nggak akan gimana-gimana. Nggak perlu ditangisin sampai segininya ah, kayak Laksa peduli aja.”
“Lo nggak tau gimana luka dia kemarin.” Abel meringkuk di atas ranjang, membelakangi Anjani yang tengah menyilangkan tangan.
“Gue lihat, ye. Mending lo diem sebelum diusir karena udah ganggu ketenangan pasien lain.”
“Berisik!”
Abel kontan membuka gorden yang menutupi ranjangnya. “Laksa? Sejak kapan lo ada di sini?”
“Ck. Ganggu orang mau tidur aja.”
“Laksaaaa.”
“Ngapain nangis lagi sih?” Abel juga tidak tahu kenapa air matanya semakin sulit dikendalikan. Entah karena berhadapan dengan Laksa atau karena ranjang bagian itu selalu membuatnya menangis tanpa tedeng aling-aling.
“Bel?!” Ketika Abel menangis lagi, Laksa refleks menggerutu. “Kenapa gue harus ketemu sama lo lagi sih?!”
Abel akhirnya berhenti menangis setelah ditenangkan cukup lama, sekarang tengah terlelap sembari memegang tiga bungkus permen milkita, itu pun hasil penyuapan karena Laksa mulai jengah mendengar permintaan maafnya.
Ia terlelap dengan menghadap tembok, menempati kasur yang semula ditempati oleh Laksa. Lagi-lagi karena hasil penyuapan. Kalau Laksa enggan mengalah, mungkin Abel akan terus merengek sepanjang siang.
Setelah terdiam cukup lama—canggungnya ada banget— Anjani memutuskan untuk buka suara. Yah, meskipun ujungnya tetap bicara satu arah sih. Tahu sendiri Laksa paling malas diajak ngoceh, apalagi si pencair suasana sedang tidur begini. Meskipun penasaran setengah mampus kenapa Abel bisa jadi sensitif seperti ini, namun Laksa enggan bertanya. Lagi-lagi karena malas, memangnya karena apa?
“Tangan lo udah baikan?”
“Hm.”
“Sorry deh. Gara-gara Bian, lo jadi harus nanggung luka itu. Padahal aslinya nggak ada peraturan kayak gitu. Iya, ada hukuman fisik, tapi seharusnya masih tahap wajar. Nggak tau kenapa dia tiba-tiba jadi kayak gitu."
Sebetulnya Laksa juga tidak mengerti kenapa Evan masih memintanya push-up kepal tangan setelah menyerahkan daun semanggi. Padahal sudah sesuai ketentuan, berdaun empat, tidak lebih dan tidak kurang, tapi ujung-ujungnya masih tetap mengandalkan hukuman fisik juga. Lantas ia jadi teringat ucapan Abi, kalau yang namanya cemburu emang nggak pernah pandang bulu.
“Kemarin Abel debat gede sama Bian dan anak-anak OSIS yang lain, terkhususnya buat belain lo. Terus entah kenapa gue malah ngerasa kalau Abel yang begini baru gue lihat kali ini.”
Laksa menaikkan alisnya.
“Yang menggebu-gebu banget maksud gue. Biasanya, ‘kan, dia cuma kebagian haha hihi doang, tiba-tiba lihat dia debat seberani itu siapa juga yang nggak kicep? Bentukan dia kemarin tuh kayak bukan Abel yang selama ini kami kenal.”
Gara-gara Laksa tidak menjawab apa-apa, Anjani terpaksa ngoceh lagi.
“Jangan diem doang elah. Gue, ‘kan, jadi nggak enak karena harus ngoceh mulu. Jawab apa gitu biar gue nggak kelihatan ngenes-ngenes amat.”
“Jawab apa?”
“Ya, apa aja kek. Gue nggak lagi ngobrol sama tembok.”
“Nggak usah ngobrol kalau kayak gitu.”
“Ya, elah, pundungan amat.” Anjani melenguh, dia sempat memandangi Laksa selama beberapa kali karena keduanya saling berhadapan. “Lo blasteran, ya?”
“Kenapa?”
“Muka lo kayak ada vibes oppa-oppa Koreanya.”
“Hm.”
“SERIUUS?!” Anjani terlihat semakin antusias. “Siapa yang menurunkan darah Sokor di tubuh lo? Bapak lo?”
“Hm.”
“Widiiiih. Pantesan kek beda gitu kalau lihat muka lo. Kalau Abel tahu mungkin dia tambah kegirangan karena lo punya darah yang sama kayak idola dia.”
Laksa kembali menaikkan alis, ogah bertanya lewat suara.
“Jisung. Lo tau Jisung NCT? Nah, muka lo agak mirip sama mukanya dia. Secara look dan tinggi badan kayaknya juga nggak beda jauh. Bedanya, Jisung lebih demen ngobrol sama pohon, kalau lo diajakin ngobrol aja malah ogah.”
“Lo lagi ngatain gue?”
“Nggak juga sih. Cuma agak protes dikit soalnya lo pendiem banget. Agak ramean dikit kenapa, Lak. Ngobrol sama orang lain tuh seru tau!”
“Ngatur.”
Anjani kembali melenguh. “Yang paling cocok ngobrol sama lo emang cuma Abel sama Abi doang. Gue bagian melipir aja deh, plis lo nggak seru banget.”
Laksa balik rebahan lagi. Kedua tangan terlipat di bawah kepala dengan pikiran mengawang-awang jauh ke angkasa. Belum ada satu menit, suara Bian tiba-tiba terdengar dari luar gedung UKS. Laksa refleks menarik gorden. Ogah kalau harus berurusan dengan Bian di tengah suasana syahdu yang paling wueeeenak untuk merem sepanjang siang.
“Abel? Lo masih di dalam, ‘kan?” Bian mendorong pintu dengan tidak sabaran.
“Anaknya lagi tidur, Bi. Jangan heboh dulu nanti dia malah kebangun.”
Bian mengamati Abel, wajah memerah hasil menangis hebat berhasil membuat dahinya mengerut dalam. Tapi yang menarik perhatiannya bukan itu, melainkan tiga bungkus permen milkita yang digenggam begitu erat.
“Habis nangis?”
“Kayak yang lo lihat.”
Bian tiba-tiba mengedarkan perhatiannya ke sembarang arah, lalu menjatuhkan titik fokus pada ranjang samping yang telah terpakai. Ia menatapnya cukup lama sampai Anjani jadi ketar-ketir sendiri. Tapi alih-alih segera membuktikan kecurigaannya, Bian justru memperhatikan Abel lagi.
Fyuh! Untung aja.
“Dia ngeluh sakit pinggang nggak?”
“Nggak ada sih, tapi nggak tau kalau dirasain sendiri.”
Anjani terpaksa bergeser ketika Bian memilih duduk di tepian ranjang. Kepala Abel diusapnya penuh sayang dengan kekhawatiran mendalam. “Kalau ada keluhan lain, nanti nggak usah ikut rapat.”
“Biar Abel diomongin sama anak-anak lain gitu?” Jani mendengus sebal, tangannya tersilang di depan dada. “Jangan mulai bias deh, Bi. Kemarin lo sendiri yang koar-koar kalau kita harus profesional apapun alasannya. Sekarang lo udah mau minum ludah lo sendiri?”
“Yang lain juga bakal paham apa alasan Abel nggak ikut rapat.”
“Berarti lo nggak cukup memahami Abel kalau kayak gitu caranya."
“Kenapa lo jadi kontra begini sama gue? Mulai condong ke Laksa mentang-mentang Abel belain dia terus?”
“Lah, kok jadi Laksa?” Anjani mulai defensif. Dia yang sudah menahan diri akhirnya meledak juga. “Eh, gue tuh cuma pengen lo memperlakukan Abel kayak anak-anak lain terlepas lo suka sama dia atau nggak. Kalau lo bias begini, yang bakal kena imbasnya itu Abel, Bi. Jangan plin-plan kenapa? Lo tuh pemimpin di sini, opini anak-anak tergantung sama tindakan lo.”
Bian terpaksa mengalah. Kalau dia paksa berdebat lebih panjang lagi, situasinya mungkin akan lebih chaos dibandingkan kemarin. Satu hal yang pasti, ia tidak ingin Abel terbangun karena perdebatan mereka.
“Terserah Abel mau kayak gimana. Kalau bener-bener harus izin, kasih tau gue aja.”
“Dah, sana balik ke kelas lo. Biar gue yang jagain Abel di sini.”
Bian bangkit. Lagi-lagi memperhatikan ranjang samping seolah menyadari keberadaan seseorang di sana. Tangannya terulur untuk membuka gorden, membuat Anjani kembali deg-deg ser karena takut Laksa ketahuan.
SREEEK!