Hidup Alya berubah total sejak orang tuanya menjodohkan dia dengan Darly, seorang CEO muda yang hobi pamer. Semua terasa kaku, sampai Adrian muncul dengan motor reotnya, bikin Alya tertawa di saat tidak terduga. Cinta terkadang tidak datang dari yang sempurna, tapi dari yang bikin hari lo tidak biasa.
Itulah Novel ini di judulkan "Not Everyday", karena tidak semua yang kita sangka itu sama yang kita inginkan, terkadang yang kita tidak pikirkan, hal itu yang menjadi pilihan terbaik untuk kita.
next bab👉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Drama di balik meja mewah
Suara riuh reda musik lembut bercampur obrolan tamu memenuhi ruang tengah rumah Tante Rani. Aroma hidangan yang di tata rapi di meja panjang membuat suasana makin mewah.
Gue berdiri di samping Mama, berusaha menyamar jadi vas bunga biar nggak terlalu keliatan. Acara kayak gini selalu buat Gue ngerasa kayak alien, terjebak di dunia formalitas yang sebenarnya nggak Gue suka.
Darly sibuk mondar-mandir dengan senyum penuh percaya diri. Jas birunya keliatan mahal, rambut disisir licin, langkahnya mantap. Di mata semua orang, dia lelaki idaman, sopan, ramah, dan selalu tau cara nyenengin tamu.
Tapi di mata Gue... entah kenapa, tiap kali dia senyum, Gue malah ngerasa ada sesuatu yang dipaksa.
Gue ngikutin arah pandang ke sudut ruangan. Adrian ada di sana, lagi bawa nampan berisi gelas-gelas minuman. Gue otomatis berkerut. Seharusnya dia sibuk di luar, ngatur parkiran, dia kan sopir. Kok sekarang jadi pengantar minum?
Dia tuh sebenarnya rakus kerja, apa gimana sih?
Tapi... memang dia beda jauh dari Darly. Kaos polos hitam ditutupin rompi hitam sederhana, celana bahan yang jelas bukan potongan Tailor made. Tapi anehnya, dia justru kelihatan lebih... hidup.
Senyum jahilnya masih sama, bahkan sambil jalan dia sempet-sempetnya nyeletuk ke salah satu anak kecil yang hampir tumpahi jus. Anak kecil itu ketawa ngakak, buat orang tuanya malah ikut tersenyum.
Tapi entah kenapa, mata Gue terus ngikutin gerakannya.
Sampai akhirnya Gue lihat sesuatu yang buat Gue nggak nyaman. Dari kejauhan, Darly ngelirik Adrian dengan tatapan sinis. Lalu, dengan gerakan halus, dia manggil salah satu pekerja lain, bisik sesuatu di telinganya.
Pelayan itu sempat ragu, tapi Darly kasih tatapan tajam, buat dia akhirnya nurut. Gue nggak bisa denger apa yang dia omongin, tapi firasat Gue nggak enak.
Gue terus perhatiin orang yang dibisikin Darly tadi. Pekerja itu sama kayak Adrian, yang membawa minuman. Tiba-tiba gelas wine merah di tangannya jatuh, isinya nyiprat ketaplak putih bersih.
Semua orang langsung liat. Dan sialnya, di momen yang sama, Adrian baru aja lewat di belakang seorang tamu sambil bawa nampan kosong. Sedangkan lelaki tadi pergi tanpa rasa bersalah.
"Ya ampun!" suara Tante Rani langsung terdengar kaget. "Adrian. Bagaimana sih kamu?! Lihat ini, baju Pak Raymond jadi kena noda juga!"
Gue bisa lihat jelas, Adrian kaget. "Hah? Saya? Saya nggak nyentuh apa-apa, Buk. Tadi saya cuma lewat—"
Tapi Darly cepat banget masuk ke tengah kerumunan. Dengan ekspresi penuh iba, dia langsung sok menenangkan. "Tante, sabar dulu. Mungkin dia nggak sengaja kesenggol. Namanya juga bawa nampan, kan repot."
"Saya nggak nyenggol." Adrian buru-buru nyaut, suaranya masih tenang tapi matanya serius. "Tadi jelas-jelas saya jaga jarak."
Tapi semua mata tamu udah terlanjur menatap ke arah dia. Gue bisa liat beberapa orang berbisik-bisik. Tante Rani menarik nafas panjang, jelas berusaha menahan malu.
"Sudah Adrian. Kamu jangan berdebat. Yang jelas, kejadian ini nggak pantas terjadi." nada Tante Rani tegas.
Adrian cuma diam sebentar, lalu senyum miring khasnya muncul. "Baik, Buk. Kalau semua orang yakin saya salah, saya terima. Tapi kalau boleh jujur, wine bisa jatuh tanpa perlu saya sentuh. Mungkin ada angin."
Beberapa orang ketawa kecil. Gue hampir pengen nutup wajah. Lelaki ini benar-benar nggak bisa serius meskipun lagi disudutkan.
Darly langsung masang wajah prihatin. "Ini bukan saatnya bercanda. Tante Rani udah malu besar. Anda seharusnya minta maaf, jangan malah ngeles."
Adrian menatap Darly sebentar. Senyumnya makin lebar, tapi matanya dingin. "Tenang. Saya masih bisa minta maaf. Cuma... apa saya perlu minta maaf juga karena nggak jago akting?"
Gue membeku. Kata-kata itu tipis banget sindirannya, tapi Gue yakin Darly paham maksudnya.
Darly sempet kaku sepersekian detik, tapi langsung nutupin dengan senyum sopan. "Saya harap, anda jangan memperkeruh suasana. Kalau anda nggak sanggup kerja dengan baik, mungkin memang lebih baik anda... istirahat dulu."
Semua orang langsung ngerti maksudnya. Istirahat, dipecat.
Tante Rani buru-buru angguk. "Iya, lebih baik kayaknya begitu. Adrian, besok kamu nggak usah kerja dulu."
Suasana makin tegang. Gue bisa ngerasa darah Gue makin mendidih. Karena Gue tau, Gue liat sendiri tadi, Darly yang mulaiin semuanya dengan bisikannya. Tapi di depan semua orang, dia berlagak jadi orang bijak.
Adrian cuma ketawa kecil. "Ya udah kalau begitu. Saya memang suka libur dadakan." dia sempet-sempetnya ngelirik Gue, sekilas, senyumnya nakal balik lagi.
Gue hampir keselek. Dia masih sempet-sempetnya kayak begitu.
Darly langsung melotot ke arah Adrian, tapi tetap jaga senyum depan tamu. "Sudah. Jangan buat malu lagi."
Adrian cuma angkat tangan kayak nyerah, lalu jalan keluar dengan santai, seolah nggak ada apa-apa.
Sementara itu, amarah bercampur bingung mengarungi hati Gue. Gue tau jelas siapa dalang semua ini. Tapi Darly benar-benar nggak ngaku. Dia tetap masang wajah manis, pura-pura perduli sama Tante Rani, padahal jelas banget dia yang buat Adrian jatuh.
Ternyata Darly cukup bahaya juga.
Gue mengejar Adrian setelah izin ke Mama dengan alesan mau ke toilet. Ternyata Gue masih sempet ngejar dia yang ternyata masih dengan santainya berdiri di parkiran mobil sambil minum air mineral, walaupun di sisinya ada pekerja lain yang kayak berusaha memberikan semangat pada Adrian.
Satu persatu mereka ternyata pergi saat Gue berjalan mendekat.
"Lo beneran nggak apa-apa?"
Dia hanya senyum lebar dengan gaya santainya. "Emangnya Gue harus apa? Marah? Oh itu bukan aturan yang mana emang Gue di ciptain buat orang tegang jadi ketawa."
"Gila ya lo. Barusan lo itu di pecat."
"Ya nggak apa-apa," dia nyengir. "Lagipula, rezeki Gue nggak mungkin ilang cuma gara-gara segelas wine. Itu kan hanya permainan kecil."
"Permainan kecil?" Gue mendelik. "Lo sadar nggak kalo lo di jebak?"
Dia ketawa. "Ya sadar lah. Tapi kalo Gue ribut malah buat orang yang ngejebak Gue menang. Lebih asik buat dia kesel karena Gue nggak kebawa emosi."
Gue nggak bisa jawab. Entah kenapa, cara dia ngomong, santai tapi penuh yakin. Buat Gue juga yakin, kalau Adrian nggak sekedar lelaki random yang muncul di antara lelaki lain.
Tetapi sebelum Gue mikir jauh, Adrian ngelirik ke arah pintu rumah. "Udah, lo masuk aja. Jangan sampai lo juga jadi bulan-bulanan karena ada di sini. Lo nggak usah mikirin Gue. Gue sih gampang. Gue bisa balik jadi tukang tampal ban atau sendal kapan aja."
Gue pengen ketawa sekaligus pengen marah. "Lo tuh ya, serius dikit napa."
Dia cengir-cengir. "Kalau serius, nanti lo malah beneran kangen. Gue nggak mau di tuduh manipulatif kayak Darly."
Kata-katanya buat Gue refleks terdiam. Ternyata dia sudah tau kalau yang jebak dia itu Darly.
"Masuk sana. Kalau jodoh, kita ketemu lagi."
Gue cuma bisa geleng-geleng kepala. "Bukan jodoh. Tapi Gue juga nggak bisa janji. Gue nggak diam aja. Gue akan balikin lagi pekerjaan lo di sini. Karena lo nggak salah."
Darly hanya tersenyum lebar, sampai gigi putihnya terekspos keluar semua. Gue nggak mau banyak ngomong lagi, akhirnya Gue balik masuk rumah.
Tapi, langkah Gue berat. Bayangan wajah licik Darly, dan Adrian yang santai, bersatu di kepala Gue.