Langit senja berwarna jingga keemasan, perlahan memudar menjadi ungu lembut. Burung-burung kembali ke sarang, sementara kabut tipis turun dari gunung di kejauhan, menyelimuti desa kecil bernama Qinghe. Di ujung jalan berdebu, seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun berjalan tertatih, memanggul seikat kayu bakar yang nyaris dua kali lebih besar dari tubuhnya.
Bajunya lusuh penuh tambalan, rambut hitamnya kusut, dan wajahnya dipenuhi keringat. Namun, di balik penampilan sederhananya, sepasang mata hitam berkilau seolah menyimpan sesuatu yang lebih besar daripada tubuh kurusnya.
“Xiao Feng! Jangan lamban, nanti api dapur padam!” teriak seorang wanita tua dari rumah reyot di pinggir desa. Suaranya serak tapi penuh kasih. Dialah Nenek Lan, satu-satunya keluarga yang tersisa bagi bocah itu.
Xiao Feng menyeringai meski peluh bercucuran.
“Ya, Nenek! Sedikit lagi! Kayu ini lebih keras kepala dari banteng gunung, tapi aku akan menaklukkannya!”
Nenek Lan hanya mendengus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 – Perpisahan yang Berat
Langit pagi di Desa Qinghe berwarna keemasan, disinari cahaya mentari yang baru terbit dari balik perbukitan. Embun masih menempel di dedaunan, dan suara ayam jantan bercampur dengan deru angin lembut yang berhembus melewati sawah. Bagi penduduk desa, hari itu tampak biasa—mereka menyiapkan cangkul, menimba air, dan memanggil anak-anak mereka untuk sarapan.
Namun bagi Xiao Feng, pagi itu berbeda.
Ia berdiri di depan pondok kecilnya, memandang jalan tanah yang berliku keluar dari desa. Jalan itu tampak biasa—dilalui pedagang, pengembara, dan kadang sekadar petani. Tapi di matanya, jalan itu terasa asing, seperti jurang lebar yang akan memisahkannya dari masa lalu.
Di tangannya, ia menggenggam erat batu giok hijau. Batu itu berdenyut samar, seakan tahu bahwa pemiliknya akan mengambil langkah penting.
Wu Zhen keluar dari pondoknya, membawa tongkat kayu tua. Meski wajahnya penuh keriput, matanya tajam, menyiratkan kebijaksanaan sekaligus rasa sayang terhadap muridnya.
“Xiao Feng,” katanya dengan suara dalam namun lembut, “apakah hatimu sudah bulat? Begitu kau melangkah keluar dari desa ini, jalan kembali tidak akan mudah. Dunia di luar sana penuh perselisihan, darah, dan tipu daya.”
Xiao Feng menatap gurunya, mata hitamnya bergetar. Ada ketakutan samar, tapi juga tekad yang menyala.
“Guru… sejak kecil aku hidup dalam ejekan, hinaan, dan rasa lapar. Aku bahkan tak tahu siapa orang tuaku sebenarnya, hanya warisan batu giok ini yang menjadi penuntun. Jika aku tetap di sini, aku akan selamanya jadi beban. Aku ingin tahu siapa diriku, aku ingin jadi kuat, dan aku ingin melindungi apa yang penting bagiku. Jika itu berarti meninggalkan desa, aku siap.”
Wu Zhen mengangguk pelan. “Kau masih muda, tapi hatimu jauh lebih tegar dari kebanyakan orang. Itulah yang membuatmu berbeda, Feng’er.”
Sambil mempersiapkan perbekalannya, Xiao Feng duduk sebentar di tepi ranjang lusuhnya. Ia mengelus kayu tua yang rapuh, tempat ia tidur sejak kecil.
“Ayah… Ibu… aku bahkan tidak ingat wajah kalian. Tapi aku tahu, kalian pasti ingin aku tidak hanya hidup, tapi juga berdiri. Batu giok ini… adalah pesan kalian. Aku akan membawanya, aku akan membawamu bersamaku.”
Matanya memerah. Ia jarang menangis, karena sejak kecil air matanya lebih sering kering sebelum sempat jatuh. Tapi kali ini, hatinya benar-benar berat.
“Apakah aku akan bisa kembali? Atau apakah suatu hari, desa ini hanya akan jadi kenangan yang tak bisa kucapai lagi?”
Tangannya menggenggam erat, air mata jatuh di batu giok. Batu itu berkilau samar, seakan memberi jawaban: jalanmu memang bukan lagi di sini.
Sementara itu, di rumah besar keluarga Li, Li Shen duduk di aula keluarga dengan wajah gelap. Kabar bahwa Xiao Feng akan meninggalkan desa sudah sampai ke telinganya.
“Ayah! Mengapa kita membiarkan dia pergi begitu saja? Jika dia keluar dan benar-benar menjadi kuat, bukankah itu berarti dia bisa kembali suatu hari untuk membalas dendam?”
Li Kang, ayahnya, tetap tenang sambil menyesap teh.
“Shen’er, dunia kultivasi itu keras. Anak itu bahkan tidak tahu bahaya apa yang menunggunya. Biarkan saja ia pergi. Jika takdirnya pendek, ia akan mati di jalan. Jika panjang… barulah kita urus nanti.”
Li Shen mengepalkan tinju, hatinya terbakar cemburu.
“Tidak! Aku tidak bisa menerima ini. Selama ini aku yang selalu berada di puncak, aku yang harus dipuji. Bagaimana mungkin seorang pengemis kotor tiba-tiba bisa berdiri sejajar denganku?!”
Matanya menyala penuh kebencian.
“Xiao Feng… Aku bersumpah, aku akan menghancurkanmu, dimanapun kau berada.”
Malam sebelum keberangkatannya, Xiao Feng berjalan melewati desa. Angin malam bertiup pelan, membawa bau jerami dan asap kayu. Anak-anak desa sudah tidur, namun beberapa orang dewasa masih duduk di beranda rumah, berbisik ketika ia lewat.
“Dia akan pergi besok.”
“Mungkin lebih baik begitu. Kehadirannya hanya membawa masalah.”
“Tapi… bagaimana jika benar dia jadi kuat? Bukankah itu baik untuk desa?”
“Bah! Jangan mimpi. Dunia luar bukan tempat bagi anak desa.”
Bisikan itu menusuk telinga Xiao Feng, namun ia hanya diam. Dalam hatinya, ada rasa getir. Ia tahu, tidak semua orang ingin melihatnya berhasil. Sebagian berharap ia gagal, karena itu akan membuat dunia mereka tetap sama.
Namun, ada pula beberapa tatapan lain—tatapan anak-anak yang diam-diam mengaguminya, tatapan orang miskin yang berharap suatu hari ia bisa membawa perubahan.
Pagi itu, langit cerah tanpa awan. Udara segar memenuhi paru-paru Xiao Feng. Ia berdiri di gerbang desa, membawa tas kain sederhana berisi makanan kering, pisau kecil, dan batu giok yang tergantung di lehernya.
Wu Zhen berdiri di sampingnya, tongkatnya menancap di tanah.
“Feng’er,” ucapnya, “ingatlah tiga hal di jalan kultivasi. Pertama, jangan terlalu percaya siapa pun. Kedua, jangan terlalu meremehkan siapa pun. Ketiga…”
Ia terdiam sesaat, menatap muridnya dengan sorot mata penuh kasih.
“…jangan pernah melupakan siapa dirimu.”
Xiao Feng menunduk hormat, matanya berkaca-kaca. “Guru… terima kasih atas segalanya. Jika bukan karena Anda, aku mungkin sudah mati kelaparan sejak lama. Aku bersumpah, suatu hari aku akan kembali, bukan sebagai beban, tapi sebagai murid yang layak disebut.”
Wu Zhen menepuk pundaknya. “Aku percaya padamu. Ingat, jalanmu bukan sekadar melawan musuh di luar, tapi juga melawan kelemahan dalam hatimu sendiri.”
Beberapa orang desa berkumpul di kejauhan, menatap diam-diam. Ada yang berbisik, ada yang hanya menghela napas. Seorang anak kecil tiba-tiba berlari ke arah Xiao Feng, memberikan bunga liar kecil.
“Kakak Feng… semoga kau cepat kembali.”
Xiao Feng tertegun, lalu tersenyum, menerima bunga itu. Ia mengelus kepala bocah itu. “Terima kasih. Aku akan kembali.”
Itu mungkin hanya kata-kata, tapi di dalam hatinya, tekad itu berakar kuat. Ia tidak boleh mati. Ia harus kembali, lebih kuat, lebih besar.
Dengan tarikan napas dalam, Xiao Feng melangkah keluar dari gerbang desa. Setiap langkah terasa berat, seolah tali tak terlihat mencoba menahannya. Tapi ia tidak berhenti.
Jalan tanah membentang panjang, melewati padang rumput dan bukit. Burung beterbangan di langit, dan suara serangga memenuhi udara. Dunia terasa lebih luas, lebih asing, tapi juga lebih memanggil.
“Inilah permulaan… Jalan menuju menjadi dewa tertinggi.”
Di kejauhan, Wu Zhen masih berdiri di gerbang, menatap punggung muridnya sampai menghilang di balik bukit. Bibirnya berbisik lirih:
“Semoga langit tidak terlalu kejam padamu, anakku.”
Namun, ketika Xiao Feng melangkah jauh dari desa, bayangan lain ikut bergerak di belakangnya. Beberapa pria misterius berpakaian hitam, mata mereka dingin, mengikuti dari kejauhan.
“Anak itu membawa sesuatu yang berharga… Aku bisa merasakannya,” bisik salah satu dari mereka.
“Ya. Batu giok itu… bukan barang biasa. Jika benar itu Segel Api Langit, maka kita harus merebutnya sebelum sekte lain mengetahuinya.”
Mereka menyeringai, menghilang dalam kegelapan hutan.
Xiao Feng, yang tak menyadari bahaya baru, melanjutkan perjalanannya dengan hati penuh harapan dan tekad. Ia tidak tahu, langkah kecilnya hari itu adalah awal dari badai besar yang akan mengguncang seluruh dunia kultivasi.