Dewi Ayu Ningrat, gadis ningrat yang jauh dari citra ningrat, kabur dari rumah setelah tahu dirinya akan dijodohkan. Ia lari ke kota, mencari kehidupan mandiri, lalu bekerja di sebuah perusahaan besar. Dewi tidak tahu, bosnya yang dingin dan nyaris tanpa ekspresi itu adalah calon suaminya sendiri, Dewa Satria Wicaksono. Dewa menyadari siapa Dewi, tapi memilih mendekatinya dengan cara diam-diam, sambil menikmati tiap momen konyol dan keberanian gadis itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Pagi datang, tapi tak membawa semangat. Bagi Dewi, hari ini seperti kertas kosong yang tidak ingin ia tulis.
Di rumah, ia memandangi cermin. Wajahnya lelah, tapi bukan karena fisik melainkan karena batin yang terus bertanya:
Kenapa Dewa menyimpan semua itu sendirian?
“Lo yakin mau masuk kantor hari ini?” tanya Naya dari dapur.
Dewi mengangguk pelan. “Yakin. Gue nggak mau dia lihat gue lari lagi.”
Sementara itu, di gedung kantor utama, Dewa memanggil seluruh divisi ke ruang konferensi. Wajah-wajah penasaran memenuhi ruangan.
Dewi, baru saja sampai, berdiri di dekat pintu, bingung kenapa tiba-tiba semua staf dikumpulkan. Nadine berdiri di depan barisan, mengenakan blazer putih dan senyum penuh kemenangan.
Dewa berdiri di depan layar, memandang semua orang dengan ekspresi dingin, tapi nada suaranya lebih tenang dari biasanya.
“Terima kasih atas kerja keras kalian selama ini,” katanya. “Tapi hari ini saya umumkan satu hal penting...”
Ruangan menjadi senyap.
“Saya mengundurkan diri dari jabatan sebagai CEO Wicaksono Group.”
Semua terbelalak. Bahkan Nadine pun mendadak kehilangan senyum.
“Mulai minggu depan, posisi saya akan digantikan oleh rekan strategis perusahaan. Saya akan mundur dari operasional... dan mengambil waktu untuk pribadi.”
Bisik-bisik langsung memenuhi ruangan. Dewi melongo dari kejauhan.
"APA??! DIA... MUNDUR?" jerit hati Dewi
Setelah pengumuman selesai, Dewi berlari kecil menyusul Dewa di koridor.
“Pak—eh... Dewa!” panggilnya.
Dewa berhenti. Menoleh.
“Kamu kenapa mundur?” tanya Dewi langsung, tanpa basa-basi.
Dewa hanya menatapnya. “Karena aku tak mau jadi alasan kamu merasa terjebak.”
Dewi terpaku. Dewa melanjutkan, “Aku tahu kamu marah. Dan kamu berhak. Tapi aku nggak pernah main-main. Aku memang salah karena diam... tapi aku nggak pernah berniat menyakiti kamu.”
“Kamu pikir dengan mundur dari jabatan, semuanya selesai?” tanya Dewi, suaranya goyah.
Dewa tersenyum tipis, penuh luka. “Tidak. Tapi setidaknya... aku sudah tidak berdiri lebih tinggi darimu. Sekarang, kalau kamu mau melihat aku lagi... kamu akan melihat aku dari tempat yang sama.”
Dewi terdiam. Lidahnya kelu.
Dewa menghela napas. “Kalau suatu saat kamu bisa percaya lagi... aku masih ada di sini. Tapi kalau tidak... aku akan tetap ingat bahwa perempuan yang kabur dari perjodohan itu adalah perempuan paling berani yang pernah aku temui.”
Ia meninggalkan Dewi di koridor, melangkah pergi. Kali ini, bukan untuk mengejar... tapi untuk memberi ruang.
Di rumah Naya...
Dewi masih terduduk di tangga rumah, menatap ponsel kosong. Tak ada pesan dari Dewa. Tak ada chat yang masuk. Tapi di berandanya, ada sebuah unggahan yang baru muncul.
Dewa Satria Wicaksono (Instagram Post):
"Kadang, mencintai artinya membebaskan. Dan kalau kau ingin pergi, aku tetap akan mendoakan mu dari jauh. Tapi kalau kau ingin kembali... aku akan menunggu, bukan sebagai pewaris nama besar, tapi sebagai pria biasa yang hanya ingin dicintai tanpa syarat."
Naya mengintip dari balik pintu. “Kamu nangis?”
“Enggak,” jawab Dewi, walau suaranya serak.
Naya tersenyum kecil. “Terus sekarang, kamu mau ngapain?”
Dewi berdiri. Matanya penuh cahaya baru. “Aku mau mikir... bukan tentang sakitnya dikhianati. Tapi tentang beraninya seseorang mundur... demi bikin aku merasa setara.”
Dan malam itu, Dewi membuka buku hariannya. Tulisannya dulu masih ada:
"Katanya, aku harus menikah demi kehormatan keluarga.
Kataku? Aku kabur.
Hari ini, ia menambahkan satu halaman baru:
Tapi kalau yang datang bukan lagi kehormatan...
tapi pengertian, kejujuran, dan kesetaraan...
Mungkin, aku nggak perlu kabur lagi.
...----------------...
Dua minggu berlalu sejak Dewa mundur dari jabatannya.
Bagi Dewi, hidup perlahan kembali normal. Tidak ada lagi tatapan sinis di kantor, tidak ada lagi bisikan soal “si cewek bos”. Tapi... juga tidak ada lagi sosok Dewa yang tiba-tiba muncul di ruang kerja atau pantry sambil memberi arahan dengan suara datar tapi menenangkan.
Yang ada hanya... sunyi.
Namun hari ini, di tengah rutinitas, Dewi menerima email tak terduga dari kantor pusat:
> Subjek: Penawaran Proyek Internasional — Tokyo Branch
Isi: “Kami tertarik menjadikan Anda sebagai kandidat utama untuk bergabung dalam pengembangan cabang baru di Jepang selama enam bulan ke depan...”
Dewi membaca ulang dua kali. Tangannya sedikit gemetar.
Naya yang duduk di sampingnya langsung berteriak, “GILA! LO MAU KE JEPANG???”
“Bukan mau...” Dewi pelan, “tapi... harus mikir dulu.”
Naya mengerutkan dahi. “Mikir apaan? Ini kesempatan gede, Dew!”
Dewi menggigit bibir. “Iya, tapi... kalau aku ke sana, aku... ninggalin dia.”
Malamnya, Dewi berjalan sendirian di taman kota. Tempat yang dulu menjadi saksi pengakuan Dewa. Tempat yang masih menyimpan jejak langkah dan luka.
Tanpa ia sadari, seseorang memperhatikannya dari jauh.
Dewa.
Ia tidak mendekat. Tidak bicara. Hanya berdiri di bayang-bayang pohon, menatap sosok yang masih ia jaga dari kejauhan.
Ponsel Dewa bergetar. Pesan masuk dari asisten kepercayaannya:
“Proyek Jepang akan dimulai bulan depan. Kami sudah tahu siapa kandidat utamanya: Dewi.”
Dewa menutup ponsel. Wajahnya tenang... tapi matanya menyimpan perasaan yang dalam.
“Bagus,” gumamnya. “Akhirnya dia punya sayap untuk terbang.”
Keesokan harinya...
Dewi memberanikan diri menghubungi Dewa. Ia mengetik pesan pendek
Dewi: "Bisa ketemu? Aku cuma mau bicara. Satu kali, sebelum aku pergi"
Dewa hanya membalas:
Dewa: "Tempat biasa. Jam tujuh malam"
Mereka bertemu di taman yang sama.
Dewi datang lebih dulu. Jantungnya berdetak cepat. Bukan karena gugup... tapi karena ingin jujur.
Lima menit kemudian, Dewa datang. Dengan jaket hitam dan tatapan tenang, ia menatap Dewi seolah tak pernah ada jarak.
“Kamu akan pergi?” tanya Dewa pelan
Dewi mengangguk. “Enam bulan.”
Dewa hanya tersenyum kecil. “Jepang musim gugur indah.”
Dewi terdiam sejenak, lalu berkata, “Aku takut kehilangan kamu.”
Dewa mengangkat alis. “Kamu yang bilang mau hidup bebas, kan?”
“Bebas bukan berarti sendiri.” Suara Dewi lirih. “Tapi kalau kamu tetap diam di sini... dan aku ke sana... apakah semuanya akan tetap sama?”
Dewa mendekat, hanya berjarak satu langkah darinya.
“Aku nggak akan janji hal manis, Dewi. Tapi aku janji satu hal: aku akan tetap jadi Dewa yang kamu kenal... dan akan tetap berdiri di tempat yang sama kalau kamu pulang.”
Air mata Dewi menitik, cepat-cepat ia sapu.
“Kenapa kamu selalu bisa bilang hal yang bikin aku gamang?” ujar Dewi
“Karena kamu perempuan paling berani yang aku kenal. Tapi bahkan keberanian pun... boleh ragu sebentar.” jawab Dewa
Dewi tertawa kecil, lalu menatapnya dalam.
“Tunggu aku?”
Dewa mengangguk.
“Dan kamu?” tanya Dewa balik, “akan tetap jadi Dewi yang aku kenal?”
“Enggak.”
Dewa terdiam.
“Aku akan pulang jadi Dewi yang lebih tahu siapa yang dia cintai.”
Lalu mereka berdiri dalam diam. Tak ada pelukan. Tak ada ciuman. Hanya tatapan yang jujur. Karena kadang... yang paling dalam tak butuh kata-kata.
Malam itu, Dewi kembali ke rumah, menuliskan halaman baru di buku hariannya:
Katanya, hidupku harus mengikuti aturan.
Kataku... kali ini aku menulis aturanku sendiri.
Dan di dalamnya... ada dia. Yang tak pernah memaksa, tapi selalu ada.
Kalau cinta ini bisa bertahan jarak... maka dia bukan cuma jodoh.
Dia rumah.
Bersambung