Sebagai pembaca novel akut, Aksa tahu semua tentang alur cerita, kecuali alur ceritanya sendiri. Hidupnya yang biasa hancur saat sebuah buku ungu usang yang ia beli mengungkap rahasia paling berbahaya di dunia (para dewa yang dipuja semua orang adalah palsu).
Pengetahuan itu datang dengan harga darah. Sebuah pembantaian mengerikan menjadi peringatan pertama, dan kini Aksa diburu tanpa henti oleh organisasi rahasia yang menginginkan buku,atau nyawanya. Ia terpaksa masuk ke dalam konspirasi yang jauh lebih besar dari cerita mana pun yang pernah ia baca.
Terjebak dalam plot yang tidak ia pilih, Aksa harus menggunakan wawasannya sebagai pembaca untuk bertahan hidup. Ketika dunia yang ia kenal ternyata fiksi, siapa yang bisa ia percaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Equinox_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rapat Pertama Klub Misteri
Ruangan klub usang itu, Brian memandang Aksa dengan wajah serius. Sedari awal di jalan setelah berbisik, ia tidak memberikan satu patah kata pun dari mulutnya.
“Brian, sebelum aku masuk kelas pagi, aku telah membawa buku itu ke ruangan ini,” ucap Aksa. Ia mendekati buku itu yang terletak di sofa yang biasa ia tempati. ”Kau lihat buku ini usang?”
“Emmm... iya,” jawabnya.
“Pada umumnya, orang akan berpikir buku ini adalah buku sampah, bukan?” ujar Aksa sambil menunjuk-nunjuk buku di tangannya.
Brian mengangguk setuju. ”Lalu, apa yang aneh?”
“Kemarin malam, buku ini tiba-tiba muncul tulisannya sendiri,” Aksa memulai dengan nada yang cukup rendah. ”Setelah buku ini muncul tulisannya, buku ini bergerak sendiri.” Tangannya memeragakan bagaimana kejadian buku itu terbuka sendiri.
“Kau gila, ya? Mana mungkin bisa seperti itu?” jawab Brian. ”Mungkin hanya karena angin.”
“Tidak mungkin, bodoh!” Nada Aksa meninggi. ”Gerakannya benar-benar cepat hingga mengeluarkan suara 'wush'.”
Brian tertawa terbahak-bahak. Ia benar-benar tak percaya dengan cerita temannya itu. ”Kau terlalu banyak membaca novel fiksi, Aksa.” Ia mendekati Aksa dan meraih buku usang itu. ”Lihat, di dalamnya kosong, tidak ada apa-apa.”
“Kan sudah kubilang, buku ini aneh. Hanya bisa dilihat ketika kau benar-benar sendiri,” tegas Aksa.
Brian melemparkan buku itu ke tumpukan artefak gagal miliknya.
Aksa memperhatikan kejadian itu dengan seksama, berharap kejadian yang sama terulang seperti saat ia melempar buku ke atas kasurnya.
'Tidak ada yang terjadi?' pikirnya. 'Padahal tadi malam...'
Ia mencoba mengambil kembali buku tersebut dan meletakkan bukunya ke dalam saku seragamnya.
“Yah, pokoknya setelah pulang dari sini, kita harus ke tempat itu,” ajak Aksa dengan antusias.
Mereka berbincang dengan intens membahas buku usang tersebut, hingga tak sadar ada seseorang yang membuka pintu usang klub itu.
Nyiiiit... suara pintu terbuka.
Bayangan dengan perawakan gadis muncul, membayangi pintu itu di antara lorong dan ruangan klub. Aksa dan Brian menoleh ke arah pintu. Di sana, berdiri seorang gadis cantik dengan rambut pirang serta dilengkapi mata biru yang tajam, memandang Aksa dan Brian.
“Aksa!” ucap gadis berambut pirang itu.
Aksa mengabaikannya dan duduk di sofa kesayangannya itu, sedangkan Brian menyapa gadis itu dengan senang hati. ”Auriel! Sudah lama kamu tidak berkunjung kemari,” ucapnya dengan wajah gembira.
Gadis itu bernama Auriel, salah satu dari tiga anggota Klub Misteri yang tidak pernah mencatatkan prestasi apa pun di dalam akademi.
“Aku dengar klub ini mau dibubarkan?” tanya Auriel dengan nada tegas.
Mendengar hal itu, Aksa acuh tak acuh, tidak memandang muka Auriel sama sekali. ”Tak pernah datang, tetapi protes yang paling pertama, ya?” sindir Aksa dengan memasang wajah kesal.
“Hah?!” Tangan Auriel menunjuk Aksa karena terpancing sindirannya. “Sedari awal, kaulah yang menjebakku untuk masuk ke sini dengan alasan kekurangan anggota,” jawab Auriel dengan nada kesal.
“Woah... woah...,” sela Brian. Ia mengangkat kedua tangannya. “Kalian berdua, tenang dulu.”
Brian melihat Aksa yang bersedekap dengan wajah masam.
“Selama dua tahun ini, Klub Misteri tidak pernah menorehkan prestasi apa pun,” ucap Auriel dengan nada rendah, tapi tajam. “Namanya saja Klub Misteri, tapi isinya cuma orang pemalas.”
Gadis itu tidak pernah sekali pun datang ke klub, lantaran ia dijebak oleh Aksa untuk syarat pembuatan klub yang diharuskan berisi tiga orang.
Tertegun sejenak, Brian mendengar hal itu, lalu langsung menghadap Auriel. “Ayolah, Auriel, jangan keras seperti itu.” Ia mulai membawa beberapa artefaknya ke depan Auriel. ”Apa kau tidak lihat? Aku di sini membuat artefak, lho.”
“Ini suatu kegiatan yang produktif untuk klub,” terus Brian.
Gadis itu mengambil artefak dari salah satu lengan Brian. ”Apa ini menyangkut misteri?” tanya gadis itu.
Lelaki pirang itu tertegun sejenak dengan memasang senyum tipis. ”Mmmm... mungkin.”
Auriel membanting artefak itu dengan keras. “Tentu saja tidak! Asal kalian tahu, aku sudah tidak bisa pindah klub selama dua tahun!” ujarnya yang kesal karena persyaratan akademi yang hanya mengharuskan siswa-siswinya memilih satu kegiatan klub yang diikutinya dan tidak diperbolehkan pindah.
“Dua tahun yang lalu, kau, Aksa, memohon untuk membujukku,” cibir gadis itu sambil mendekati Aksa yang sedang duduk di sofa. “Kau dahulu menjanjikan kegiatan yang mengungkapkan misteri.”
Aksa, yang awalnya membuang muka saat perdebatan gadis itu dengan Brian, mulai menatap gadis itu yang berdiri tepat di sebelahnya. “Haish, berisik sekali. Itu hanyalah masa lalu,” ucap Aksa. Ia menggaruk telinganya, seolah meremehkan gadis itu. “Lagian, ya, kita sebentar lagi mau lulus. Toh, tidak ada gunanya mempermasalahkan hal ini?”
Brian mengamati ocehan berintensitas tinggi itu layaknya sedang menonton dua kucing yang bertarung memperebutkan wilayahnya.
“Kalian berdua cocok sekali,” sela Brian sambil tersenyum, seolah tersipu melihat temannya yang seperti pasangan itu.
Mereka berdua memelototi Brian. Ia sontak membuang muka. 'Huh, mereka ini tak pernah jujur satu sama lain. Jelas sekali, bukan?' pikirnya yang seolah mahatahu.
Ia yang ingin mereka akrab mulai mengangkat kedua tangannya dengan gestur cenderung kaku.
Plak!
Suara tepukan tangan berasal dari Brian, seolah ia mendapat pencerahan. ”Hei, Aksa! Begini saja, bagaimana kalau kita membawa Auriel ke tempat kakek penjual buku itu?” seru Brian.
“Tidak!” jawab Aksa dengan tegas sambil memandang Auriel. ”Orang ini tidak ada sangkut pautnya.”
Kepala Auriel memiring sedikit karena keheranan. “Apa maksudmu, Brian?” tanya Auriel.
Brian mendekati Aksa dan perlahan mengambil buku dari saku seragam Aksa. “Yah, pada intinya, kata Aksa, ini buku aneh,” ujarnya.
Aksa, yang awalnya memasang gestur melawan karena paksaan Brian, sekarang hanya terdiam.
“Ia bilang bahwa buku ini bisa menulis tulisannya sendiri,” ucap Brian sembari membuka satu per satu halaman buku itu. “Dan katanya, ini bisa membuka bukunya sendiri.”
Hening sejenak. Wajah amarah gadis itu perlahan memudar, digantikan wajah yang penasaran. “Hehhh... menarik.” Matanya yang biru kini menyoroti Aksa dengan tatapan berbeda.
“Kita berdua akan mendatangi penjual itu,” tegas Brian sambil mengembalikan buku itu kepada Aksa. ”Apa kau mau ikut, Auriel?” terusnya.
Sebelum Auriel menjawab, Aksa dengan sekejap meletakkan badannya di depan Brian. “Tidak! Kubilang tidak!” selanya.
“Sudahlah, mari kita bawa dia. Toh, ini berhubungan dengan misteri,” ucap Brian sambil menatap Auriel. ”Toh, dia tetap anggota klub kita, 'kan?”
“Baiklah, aku ikut. Mungkin ini sedikit menarik,” Auriel menerima ajakan Brian.
Aksa hanya terdiam melihat kekeraskepalaan temannya itu.
'Haish, wanita yang merepotkan.'
Ting... ting... ting...
Suara bel pulang akademi berbunyi nyaring, melewati semua ruangan yang ada di dalam akademi.
Di klub usang itu, mereka bertiga berjalan bersamaan untuk pergi ke pasar, bertemu si kakek penjual buku usang aneh tersebut.