Sebagai seorang putra mahkota Kekaisaran Tang, sudah selayaknya Tang Xie Fu meneruskan estafet kepemimpinan dari ibunya, Ratu Tang Xie Juan.
Namun takdir tidak berpihak kepadanya. Pada hari ulang tahun dan penobatannya sebagai seorang kaisar, terjadi kudeta yang dipimpin oleh seorang jenderal istana. Keluarga besarnya tewas, ibunya dieksekusi mati, dan kultivasinya dihancurkan.
Dengan cara apa Tang Xie Fu membalaskan dendamnya?
Ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muzu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Bayangan
Namun, begitu mereka akan menarik kembali pedangnya, simbol di kening Xie Fu menyala dan langsung menghisap inti jiwa keduanya. Xie Fu yang terluka pun akhirnya tak sadarkan diri.
Menjelang pagi ketika matahari bersiap menampakkan diri, seorang pria tua berkelebat menghampiri Xie Fu yang tergeletak di tengah jalan. Pria tua itu menyunggingkan senyum lembar dan berkata, “Setelah lima tahun, akhirnya aku menemukanmu.” Setelah berkata demikian, sang kakek meleburkan kedua pedang yang menancap, lalu menghilang membawa Xie Fu bersamanya.
Beberapa hari kemudian, sang kakek tampak cemas melihat kondisi Xie Fu yang begitu pucat dengan tubuh menyerupai mayat.
“Apa yang tersembunyi di tubuhnya?” pikir si kakek masih penasaran. Sebagai seorang ahli, ia tidak mampu menemukan sesuatu yang menjadi penghalang dirinya mengobati luka di tubuh si pemuda.
“Di mana aku?” gumam Xie Fu setelah membuka mata.
“Bambu Merah,” sahut sang kakek yang duduk bersila tak jauh dari tempat Xie Fu berbaring.
Xie Fu menoleh ke asal suara dan melihat seorang kakek yang sangat ia kenali. “Kakek Qianfan,” ucapnya lirih.
“Tetaplah berbaring!” pinta sang kakek yang kemudian datang menghampiri.
“Xie Fu, apa ada yang kamu sembunyikan dari Kakek?” Qianfan menatapnya serius. “Mungkin Kakek bisa membantumu dengan sedikit pemahaman.”
Xie Fu memahami maksud dari pertanyaan yang dilontarkan oleh sang kakek. Tampak keengganan terpancar dari sorot matanya yang bening. Sejenak ia menghirup napas panjang sebelum akhirnya ia berani menceritakan semuanya. Dimulai pada saat ia berusaha untuk keluar dari kolam mayat dan bertemu dengan kerangka seorang raksasa yang terduduk di depan sebuah kitab. Ia pun menceritakan upayanya dalam menerjemahkan setiap simbol yang terukir pada lembaran kitab hingga sampai ia berhasil mengaktifkan salah satu dari simbol itu.
“Inikah yang dinamakan jalur inti kultivasi?” gumam Qianfan setelah menyimak semua yang diceritakan oleh muridnya itu. Pandangannya kemudian beralih ke arah kaki kiri Xie Fu dan merabanya.
Rasa hangat menjalar di kaki kiri Xie Fu ketika energi spiritual dialirkan Qianfan, memicu simbol kuno yang menjadi penopang dan penggeraknya bereaksi.
“Apa kaki kirimu ini hilang setelah salah satu simbol kuno itu aktif?” tanyanya kemudian.
“Betul, Kek,” jawab Xie Fu seraya mengikuti arah pandang si kakek.
Qianfan manggut-manggut semakin memahaminya. “Kau berada dalam jalur inti kultivasi, cucuku,” ujarnya.
“Maksud Kakek?” Xie Fu mengernyit tidak mengerti.
Sejenak, Qianfan mendongakkan wajah menatap langit-langit. Pikirannya menerawang ke masa silam, masa ketika ia merintis jalan menjadi seorang kultivator di alam fana. Setelah itu ia tersenyum, detik berikutnya ia menggelengkan kepala, lalu kembali menatap Xie Fu dengan pandangan kagum.
“Pengetahuan tentang kultivasi jalur inti hanya sebatas dugaan. Di alam fana ini tidak ada metode kultivasi seperti itu. Namun, Kakek yakin dengan jalan kultivasi inti yang kamu tempuh, dirimu akan menjadi sosok agung suatu hari nanti,” ujarnya.
“Begitu,” timpal Xie Fu sedikit kecewa.
Qianfan tersenyum melihatnya. Ia ulurkan tangan ke atas kepala sang murid seraya berkata, “Yakinlah pada dirimu sendiri.”
“Baik, Kakek.” Xie Fu mengangguk yakin.
Tiba-tiba saja Xie Fu merasa sesak napas, lalu terbatuk keras sampai memuntahkan banyak darah. Qianfan membantunya duduk, dan langsung mengalirkan energi spiritualnya.
“Maaf, Kek, aku selalu merepotkan,” ucap Xie Fu lirih.
Qianfan menggeleng pelan. Ia tidak pernah merasa direpotkan. Baginya sudah menjadi kewajiban untuk menyelamatkan satu-satunya generasi yang tersisa dari klan Tang.
“Ramuan yang Kakek buat hanya sekadar memperlambat proses pembusukan di tubuhmu. Kau harus secepatnya menemukan esensi semesta untuk mengaktifkan simbol lainnya guna menggantikan tubuhmu yang fana.”
“Baik, Kek. Aku akan mencarinya.”
“Beristirahatlah sampai lukamu tak lagi meneteskan darah. Setelah itu, kuasailah jurus ini!” kata Qianfan seraya menempelkan ujung jari di kening Xie Fu.
“Langkah Bayangan dan Bayangan Pedang. Terima kasih, Kek.” Xie Fu menjura, ia terlihat gembira setelah mendapatkan dua jurus pamungkas dari sekte Bayangan Jingga.
“Kedua jurus itu murni gerakan fisik tanpa harus mengerahkan energi spiritual maupun kekuatan jiwa,” ujar Qianfan menjelaskannya.
Xie Fu mengangguk paham, lalu menutup mata dan memasuki alam pikirnya. Dua jurus bayangan melayang di relung-relung pikirannya, merefleksikan setiap gerakan demi gerakan hingga tuntas. Namun, Xie Fu hanya mengamati jurus Langkah Bayangan saja karena untuk mempraktikkan jurus Bayangan Pedang haruslah menggunakan pedang.
“Bisakah aku melatihnya di alam pikir?” Xie Fu menimbangnya dengan saksama. Jurus yang mengandalkan kekuatan fisik biasanya menuntut tubuh nyata sebagai medianya. Namun, alam pikir tak mengenal batas tubuh, hanya sebagai batas kesadaran.
Keraguan sempat menyelinap, tetapi rasa penasaran kembali menggugurkan semua ketidakpastian. Xie Fu memulai dengan sikap kuda-kuda. Ia membentuk postur tubuh, memperhatikan keseimbangan pada setiap langkah sesuai pola yang tergambar.
Kemudian ia mulai bergerak. Tangannya meluncur cepat membentuk gerakan awal yang menuntut kecepatan dan presisi. Ia mengulangi gerakan memutar lengan dari atas kepala turun ke bawah, menyalurkan tekanan ke tanah, dan secepatnya bertransisi ke langkah berikutnya.
Tubuhnya berputar menggabungkan langkah kaki cepat dengan dorongan lengan kanan, seolah hendak memecah udara. Gerakan itu disusul teknik menghindar yang memanfaatkan kepekaan terhadap ritme serangan. Gerakannya terasa kaku, ia terus mengulanginya berkali-kali, memastikan gerakannya sesuai arah dan waktu tercepat yang bisa dicapainya.
Kali ini gerakannya semakin lancar. Xie Fu tidak lagi sekadar menghafal, melainkan bisa memahaminya dengan baik. Langkah-langkah yang awalnya kaku kini mengalir seperti aliran sungai yang menari di antara bebatuan. Di akhir sesi, Xie Fu berdiri tegak, merasa cukup puas dengan pencapaiannya yang telah berhasil menguasai jurus Langkah Bayangan.
Pada saat kedua matanya terbuka, Xie Fu mendapati tubuhnya berkeringat. Pupil matanya melebar tidak menduga akan reaksi tubuh yang sebelumnya begitu pucat, kini tampak hidup dan memiliki warna dari darah yang kembali mengalir. Secepatnya ia berlari keluar untuk menemui kakek gurunya.
“Kek, aku sudah menguasainya!” serunya setelah sampai di depan sang kakek yang sedang bermeditasi di bale bambu.
Qianfan terkejut bukan main melihat muridnya mampu menguasai jurus hanya dalam beberapa hela napas. Ia bahkan baru saja keluar dari rumah bambu dan duduk dalam posisi meditasi di bale bambu yang jaraknya lebih dari lima puluh tombak.
“Ba … bagaimana mungkin?” Qianfan menggelengkan kepala.
Melihat keterkejutan sang kakek, Xie Fu tersenyum, lalu dalam satu kedipan mata, ia membawakan teh untuk gurunya. “Minum tehnya, Kek!” kata Xie Fu sambil menuangkannya.
Tangan Qianfan bergetar saat mengambil secangkir teh hingga membuat air teh tertumpah sebagian.
“Langkah Bayangan berada dalam batas membentuk kabut angin, dan kau … bahkan mataku tak sempat berkedip,” ucap Qianfan setelah menyesap air teh dalam satu teguk.
“Aku tidak hanya mengamatinya di alam pikir, bahkan aku langsung melatihnya di sana,” jelas Xie Fu yang senyumnya semakin mengembang.
“Duduklah!” pinta Qianfan yang kembali dibuat terpana oleh muridnya itu.
Pandangan Qianfan tertuju ke arah tubuh Xie Fu yang bagian atasnya terbuka. Terlihat olehnya luka menganga di tubuh Xie Fu mengecil meski tidak sepenuhnya tertutup. Jantungnya kembali berfungsi normal, mengalirkan darah dengan lancar ke seluruh tubuh, membuatnya tidak lagi terlihat pucat pasi seperti mayat.
jawab gitu si Fan ini tambah ngamuk/Facepalm/