Series #2
Keputusan Rayden dan Maula untuk kawin lari tidak semulus yang mereka bayangkan. Rayden justru semakin jauh dengan istrinya karena Leo, selaku ayah Maula tidak merestui hal tersebut. Leo bahkan memilih untuk pindah ke Madrid hingga anaknya itu lulus kuliah. Dengan kehadiran Leo di sana, semakin membuat Rayden kesulitan untuk sekedar menemui sang istri.
Bahkan Maula semakin berubah dan mulai menjauh, Rayden merasa kehilangan sosok Maula yang dulu.
Akankah Rayden menyerah atau tetap mempertahankan rumah tangganya? Bisakah Rayden meluluhkan hati sang ayah mertua untuk merestui hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 : Penyelidikan
...•••Selamat Membaca•••...
Pukul 20.13, dua jam setelah laporan penculikan masuk, tim penyelidik berhasil menemukan mobil hitam yang terekam dalam CCTV keluar dari basement mall, mobil yang sama yang dinaiki Maula dan pria misterius itu.
Maula ditusuk sesuatu dan pingsan lalu diseret masuk ke dalam mobil.
Kendaraan itu ditemukan terparkir di depan sebuah gedung tua terbengkalai di pinggiran Distrik Vallecas, sebuah lokasi yang terkenal karena dipenuhi bangunan terlantar.
Namun dari sanalah semuanya mulai menjurus ke hal tak masuk akal.
Gedung itu sunyi dan tak ada jejak ban yang baru. Tak ada suara juga.
Saat polisi menggeledah bangunan empat lantai itu, hasilnya nihil. Debu menebal di lantai, tidak terganggu. Pintu belakang berkarat dan tak bisa dibuka tanpa alat. Anjing pelacak kehilangan jejak begitu memasuki lantai dua, seolah bau Maula menguap begitu saja.
Rayden mengerti dengan gaya kerja Leo atau pun polisi, itulah kenapa dia bekerja sangat teliti agar tidak dicurigai dan juga tidak meninggalkan jejak sama sekali.
Mobil yang ditinggalkan pun tak membantu. Plat nomor palsu. Tidak ada sidik jari atau darah. Tidak ada rambut. Bahkan kamera lalu lintas pun tidak menangkap ke mana pelaku pergi setelah meninggalkan mobil itu—seolah mobil itu muncul begitu saja di depan gedung, dan semua jejak setelahnya ditelan bumi.
“Ini tidak wajar,” gumam Inspektur Elena sambil menyisir dinding lantai atas gedung. Ia mengarahkan senter ke arah ceruk gelap yang dulunya mungkin adalah kamar mandi lalu ia tidak melihat sesuatu.
“Terlalu rapi,” bisiknya.
“Elena!” teriak Sersan Romero dari bawah. “Kami periksa semua CCTV dari blok sekitar. Tidak ada satu pun rekaman pelaku keluar dari sini. Tak ada gerakan. Tidak ada orang keluar... seolah mereka menghilang di udara.”
Pukul 23.37, konferensi darurat diadakan di kantor pusat kepolisian. Media mulai mencium aroma aneh dari kasus ini. Seorang mahasiswa hilang dari mall, ditinggal di mobil misterius, dan jejaknya berhenti di gedung berhantu.
Elena berdiri di depan papan besar yang berisi foto Maula, cetakan peta, dan tangkapan CCTV. Ia menatap ruangan yang penuh wajah tegang.
“Ini bukan penculikan biasa. Ini dilakukan oleh seseorang yang tahu cara menghapus jejak. Seseorang yang memahami sistem keamanan kota ini. Kita tidak sedang berhadapan dengan penjahat amatiran.”
Ia memukul papan putih dengan telapak tangannya.
“Maula masih hidup. Tapi kita hanya punya waktu sedikit sebelum jejaknya benar-benar hilang.”
Di luar jendela, hujan mulai turun pelan-pelan. Dan di balik bayangan malam New York, di tempat bawah tanah yang tak bisa dipetakan, Maula berada di ambang dunia sendirian, diam-diam menunggu akankah suaminya melakukan kekejian lagi?
Leo juga tidak tinggal diam, fokusnya saat ini hanya ada pada putrinya, sehingga yang lain tidak ia pedulikan tapi tak secuil pun dia ingat nama Rayden.
...***...
Tap. Tap. Tap
Derap langkah tegas Rayden menggema di lorong bawah tanah itu, membawa satu nampan makanan untuk istrinya karena dari tadi pagi, Maula tidak dia beri makanan sama sekali.
“Malam sayang,” sapa Rayden dengan senyum ramah, dia menghidupkan lampu gantung dengan cahaya temaram di langit-langit.
Maula duduk dengan wajah pucatnya, kejadian tadi pagi saat Rayden melakukan hubungan paksa masih membuat dirinya sakit. Beberapa lebam di wajahnya juga terlihat makin jelas di wajah putihnya.
“Makanlah, aku akan kembali lagi nanti setelah kamu menghabiskan makanan ini, ingat! Ini makanan terakhir untukmu hari ini.” Rayden menaruh makanan itu di lantai, lalu berjalan pergi, Maula tak banyak bicara karena perutnya memang lapar. Rantai yang melilit pergelangan tangan dan kakinya cukup panjang jadi dia masih bisa bergerak ke sana ke mari.
Karena kondisi saat itu gelap dan hanya disinari cahaya yang minim dari lampu gantung yang jauh di langit-langit ruangan, Maula tak sengaja menginjang ujung nampan sehingga makanan di atasnya bertaburan ke lantai, karena dia kaget, gelas yang ada di dekatnya juga ikut jatuh dan air itu tumpah.
Rayden yang sudah melangkah pergi jadi balik lagi dan geram karena menganggap Maula menendang semua makanan itu.
Dia kembali dengan langkah tergesa dan menampar kuat kedua pipi Maula, lalu menjambak rambutnya.
“Kau pikir ini rumah ayahmu? Seenaknya kau membuang-buang makanan hah?” Maula meringis dan air mata meluncur ketika kuatnya jambakan di rambutnya dari Rayden.
“Aku tidak sengaja, Ray. Aku tidak membuangnya.” Maula berkata dengan isakan kecil. Rayden kembali memukul wajah Maula hingga rahang gadis itu terasa sedikit bergeser dan ngilu.
“Kau tidak akan makan malam ini, makan saja apa yang ada di lantai itu, jika besok aku kembali dan makanan itu masih bersisa, kau akan aku pukuli. Mengerti!” Maula mengangguk dan Rayden melepaskan jambakan itu dengan kasar.
Ia melangkah pergi, dentuman keras dari pintu besi membuat Maula semakin menangis histeris dalam suara tertahan.
Dia memeluk lututnya sendiri dan mulai mengambil makanan yang ada di lantai. Memungutinya hingga tak bersisa, lalu memakannya sampai habis, tak peduli dengan rasa yang telah berubah.
Ia ingat saat di Palestina, betapa banyak anak yang menderita dan memakan makanan sisa. Penderitaan ini belum seberapa dibandingkan mereka di sana. Maula tetap bersyukur dengan dirinya saat ini.
Saat mengunyah makanan, Maula sesekali memejamkan matanya karena rahangnya begitu sakit usai dipukul suaminya sendiri.
Maula menyusun piring, gelas dan mangkuk kecil itu dengan rapi di atas nampan lagi. Agar nanti Rayden kembali, dia tidak marah.
Maula kembali rebahan dengan rantai yang masih melilit dirinya. Darah menetes ke bantal dari hidungnya dan ia abaikan, sesekali Maula terisak pelan.
Tengah malam, Rayden kembali dengan sedikit rasa bersalah, dia membawa makanan lagi untuk istrinya dan cukup teriris melihat makanan yang bertaburan di lantai telah bersih tanpa sisa.
Ia mendekati ranjang Maula dan di tangan itu masih ada sisa makanan yang belum dicuci karena tidak ada air.
Rayden menahan sesak di hatinya dan mengemukakan ego untuk tidak kasihan.
Perlahan, Rayden membangunkan Maula yang tampak tidur dengan lelap, darah di hidungnya juga sudah mengering.
Maula terbangun saat Rayden menggoyangkan tubuhnya, bangun dengan mata melotot kaget dan refleks terduduk.
“Apalagi yang kau lakukan di sini?” tanya Maula dengan nada sedikit takut dan kaget.
“Kau menghabiskan makanan di lantai?” tanya Rayden dengan ragu, anggukan kepala Maula tak sanggup membuat Rayden tak menitikkan air mata. Dengan cepat dia hapus lalu mengambil makanan baru yang dia bawa.
“Makanlah, kau pasti lapar lagi kan?” Rayden menyosorkan makanan pada Maula dan dengan ragu Maula menerimanya.
“Kalau aku tidak makan, nanti dia malah menjejalkan makanan ini ke mulutku, mana rahangku sakit lagi,” keluh Maula dalam hatinya.
Perlahan dia memasukkan makanan itu ke dalam mulut dan memejamkan mata saat rahangnya begitu ngilu ketika mengunyah makanan.
Rayden membasahi kain kasa lalu membersihkan darah di hidung dan sudut bibir Maula. Seketika pandangan mereka bertemu dan rasa sakit itu kembali muncul.
“Kau ini sebenarnya kenapa Rayden? Kenapa kau malah jadi menakutkan begini?”
Kalimat demi kalimat terus bergumam di hati Maula tanpa bisa dia ucapkan secara langsung.
Selesai makan, Maula bersandar di kepala ranjang dan Rayden membawa semua peralatan makan itu pergi.
Paginya, Rayden kembali dengan makanan lagi dan kali ini emosinya tersulut ketika melihat Maula berusaha melepaskan rantai dengan memukulkannya ke pinggiran kepala ranjang.
“Apa yang kau lakukan?” teriak Rayden.
“Aku ingin keluar dari sini, kau bajingan Rayden. Aku mau pulang, kau pikir dengan menahan aku di sini, aku akan tersiksa hah? Tidak. Aku bahkan semakin membenci kamu brengsek.” Rayden kembali melayangkan pukulan dan kali ini bukan hanya wajah tapi juga tubuh.
Rayden membanting istrinya ke atas kasur dan memperkosanya lagi, kali ini benar-benar brutal tanpa ampun bahkan mungkin milik Maula sedikit robek karena kasarnya perlakuan Rayden pagi ini.
...•••Bersambung•••...