Pengkhianatan itu bukan datang dari musuh, tapi dari orang yang paling dia percaya.
Vilya Ariestha Elora — dihancurkan secara perlahan oleh pacarnya sendiri, dan sahabat yang selama ini ia anggap rumah. Luka-luka itu bukan sekadar fisik, tapi juga jiwa yang dipaksa hancur dalam diam.
Saat kematian nyaris menjemputnya, Vilya menyeret ke duanya untuk ikut bersamanya.
Di saat semua orang tidak peduli padanya, ada satu sosok yang tak pernah ia lupakan—pria asing yang sempat menyelamatkannya, tapi menghilang begitu saja.
Saat takdir memberinya kesempatan kedua, Vilya tahu… ia tak boleh kehilangan siapa pun lagi.
Terutama dia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Bertemu Kembali.
Begitu proses penerimaan selesai, ia menenteng tasnya dan melangkah masuk ke kelas baru.
Begitu pintu terbuka, pandangannya langsung jatuh pada sosok yang tak asing—Karina.
Gadis itu bersandar di tepi jendela, tertawa sambil ngobrol dengan seseorang. Tampak santai, seperti biasa.
Vilya tak berkata apa-apa. Ia hanya menarik napas, lalu memilih duduk di barisan belakang. Kursinya belum tentu tetap, jadi ia tak begitu memperdulikannya.
Dulu, ia kebagian duduk di sebelah Karina. Dan dari sanalah semuanya dimulai.
Ia pernah mengira Karina tulus. Nyatanya, semua hanya topeng.
Waktu itu, Karina justru melesat jadi sosok paling bersinar, jadi Ketua OSIS, bahkan langsung dijamin masuk ke universitas ternama.
Sementara dirinya... hanya bayangan di belakang.
Tapi tidak kali ini. Jalan hidupnya akan berubah.
“Vilya!”
Suara ceria memotong lamunannya. Seorang gadis berkacamata berdiri di sebelah mejanya, senyum lebar menghiasi wajahnya.
“Gila, kita sekelas lagi!”
Ia mendongak pelan, dan matanya langsung memerah. “Kiara…”
“Eh? Kamu kenapa?” Kiara buru-buru duduk dan mengeluarkan sapu tangan dari saku roknya, lalu menyeka pipi Vilya dengan hati-hati.
“Aku nyari kamu ke rumah berkali-kali, loh. Tapi Bibi bilang kamu udah pindah ke rumah ayahmu. Kupikir kita nggak bakal ketemu lagi.”
Ia tersenyum samar. “Banyak yang telah terjadi, Kiara. Aku… nggak tahu harus mulai cerita dari mana.”
Kiara adalah teman yang tumbuh bersamanya sejak kecil. Tapi di kehidupan sebelumnya, saat semuanya berubah, ia menjauh.
Diam-diam, ia memutus semua hubungan—termasuk dengan Kiara.
Meski dulu Kiara sempat sedih karena dijauhi, dia nggak pernah menyalahkannya.
Ada saat kejadian dimana seseorang menuduhnya mencuri, dan satu-satunya orang yang berdiri membelanya adalah Kiara.
Justru orang yang membelanya itu malah ia hindari. Bukan karena benci, tapi karena saat itu, ia terlalu terpuruk untuk bersandar pada siapa pun.
Setelah mendengar kabar Kiara diterima di universitas luar kota, hubungan mereka pun perlahan renggang.
“Udah, jangan nangis lagi ya,” ucap Kiara lembut. “Kalau kamu butuh tempat cerita, aku di sini.”
Vilya mengangguk pelan. Ia tahu… selain ibunya, hanya Kiara yang benar-benar bisa ia percaya.
Lalu ia menyikut lengan sahabatnya dan tertawa kecil. “Kalau kamu beneran kasihan, traktir aku es krim, dong.”
Kiara terkekeh. “Santai, aku masih punya uang lebih. Cukup buat kita berdua.”
Ia sempat terdiam sejenak, ada rasa hangat sekaligus haru. Ia merangkul bahu Kiara sambil tersenyum. “Baiklah.”
Di sisi kelas, ada beberapa pasang mata yang memperhatikan mereka—terutama dari sudut dekat jendela.
Karina sedang duduk santai, berpura-pura ikut mengobrol dengan teman lainnya, padahal pandangannya tak lepas dari Vilya.
Dia mendengar rumor soal putri sulung keluarga Elora yang kembali, dan kini, sosok itu ada di kelas yang sama dengannya.
Seulas senyum terselip di sudut bibir Karina.
Kalau ia bisa mendekatinya lebih dulu, mungkin ini bisa jadi langkah awal yang menguntungkan baginya.
Tak lama, suara langkah kaki guru mengubah suasana kelas yang tadinya riuh jadi hening seketika.
Wali kelas mereka datang dengan langkah ringan. Pria muda itu mengenakan kemeja putih bersih dan celana panjang hitam.
Gaya rambutnya rapi, ada pena terselip di saku kemejanya. Wajahnya tenang, senyumnya hangat. Sekilas, dia lebih mirip kakak kelas dari pada guru.
Ia mengambil kapur dan menulis namanya di papan tulis.
Daren, tulisnya. “Aku guru Bahasa kalian, dulu aku juga bersekolah di sini, terus melanjutkan kuliah di ibu kota."
Kelas tak langsung riuh, tapi tatapan mereka mulai berubah. Ada rasa nyaman yang pelan-pelan tumbuh. Mungkin ini bukan awal yang sempurna, tapi cukup untuk membuka lembaran baru.