Aku seorang gelandangan dan sebatang kara, yang hidupnya terlunta-lunta di jalanan, setelah ibuku meninggal, hidup yang penuh dengan kehinaan ini aku nikmati setiap hari, terkadang aku mengkhayalkan diriku yang tiba-tiba menjadi orang kaya, namun kenyataan selalu menyadarkanku, bahwa memang aku hanya bisa bermimpi untuk hidup yang layak.
Namun di suatu siang bolong, saat aku hendak menata bantal kusam ku, untuk bermimpi indah tiba-tiba, ada segerombolan pria berpakaian rapi, mereka menyeretku paksa, tentu saja hal seperti ini sudah biasa, aku kira aku kena razia lagi.
Dan ternyata aku salah, aku dibawa ke rumah yang megah dan di dudukan di sofa mewah berlapis emas, karena terlalu fokus pada kemewahan rumah itu.
Tiba-tiba saja aku adalah anaknya, dan besok aku harus menikah dengan duda beranak satu yang tak bisa bicara, untuk menggantikan kakakku yang kabur.
Ayo baca yuk!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vie Alfredo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Salah orang
Keesokan paginya Vania dan Lenard di suruh menunggu di depan gerbang.
Tak lama, Divon pun datang dengan menggunakan Bugatti Divo.
"Eh, apa ada tamu Lenard?" tanya Vania pada putranya.
"Mungkin, kita menyingkir dulu Ma." Lenard menggandeng Vania ke pinggir, namun saat itu juga kaca mobil itu turun.
"Papa?" Lenard langsung menghampiri papanya, dan segera mengajak ibunya masuk ke dalam mobil baru yang dibawa papahnya.
"Wah, ini mahal sekali pasti kan suami?" tanya Vania terkagum-kagum dengan mobil yang dibawa suaminya.
"Papa, keren." ujar Lenard memberikan jempol 2 pada papanya.
Divon memberi isyarat pada Vania, untuk menggunakan sabuk pengaman.
"Oh tunggu Suami, pak Amron, iya aku panggil pak Amron dulu." ujar Vania teringat dengan sopirnya.
"Hah?, Ehmm." untuk ketiga kalinya Divon hampir keceplosan lagi.
Bagaimana bisa Vania malah kepikiran dengan sopir pribadinya saat ini.
"Mobil ini, mobil pribadimu, sopir tidak boleh naik ini!" tulis Divon.
"Lah, tapi kan aku tidak bisa mengemudi, lalu kalau aku pakai mobil sendiri, pak Amron ngapain?" ujar Vania sedih.
"Berhenti!" tulis Divon.
"Apa tidak mau, kalau begitu aku beli mobil murah saja, yang penting pak Amron punya pekerjaan!" tegas Vania.
Divon menepuk jidatnya.
"Berhenti jadi sopir pribadimu, tapi dia masih bisa menjadi sopir mu dengan mobil di kediaman Sandreas, tapi Lenard tidak bisa naik." tulis Divon.
"Lalu siapa yang antar kami?" tanya Vania.
Divon menunjuk dirinya dan segera menginjak gas, dan meluncur pergi menuju sekolahan milik Lenard.
Semua orang melihat ke mobil yang dinaiki oleh Vania.
Divon pun segera turun dari mobilnya itu, kemudian membukakan pintu mobil untuk Vania.
Dan saat itu pula Badarawuhi juga sudah ada di sana.
"Lihat itu suamiku, anak ingusan yang membuat wajahku jadi begini!" ujar Badarawuhi menunjuk - nunjuk Vania.
"Ada apa ya tunjuk-tunjuk?" tanya Vania langsung.
"Kau itu beraninya kurang ajar ya, anak kemarin sore saja belagu!" ujar Badarawuhi.
"Suami, lihat ini orang yang mengatakan anak kita bencana, kau harus menghafal wajahnya dengan jelas ini!" ujar Vania.
Divon mengangguk dengan ekspresi tajam.
"Memangnya siapa suamimu?" tanya Badarawuhi dengan wajah remeh.
"Pasti juga kalian pinjam mobil rental kan?, terus main orang kaya, orang kaya.an kan?, suamiku apa kau mengenal pria ini?" tanya Badarawuhi pada suaminya dengan petantang petenteng.
Sementara suami Badarawuhi sudah gemeteran keringat dingin melihat Divon, siapa yang tidak tahu Divon Sandreas, meskipun bukan menjadi Publik dalam perusahaan namun semua tahu sejak kecelakaan itu Divon yang memegang kendali di belakang layar perusahaan Sandreas.
Sudah berapa puluh perusahaan diakusisi olehnya dalam hitungan menit.
"Ehm, sayang kau salah orang, cepat minta maaf!" ujar suami Badarawuhi.
"Apa?, aku minta maaf, aku tidak mau!" tegas Badarawuhi menolak keras.
"Nah ini suamiku, dia yang melempari mobilku dengan Batu." Satu musuh datang lagi.
Begitu suaminya melihat Divon, bukannya marah malah menyalami Divon dengan penuh hormat.
"Tuan Divon, bagaimana kabar anda, ini sudah berapa tahun anda tidak terlihat." ujar orang itu.
"Mohon maaf anda mengenal suami saya?, aduh kalau begitu maaf ya kami masih ada urusan." ujar Vania segera menarik suaminya menuju mobilnya.
"Tuan mohon maaf ini kesalahpahaman, mungkin kita bisa bicarakan baik - baik." ujar Orang itu membujuk Divon.
Wah kesalahan fatal aku meminta suamiku membantu.
Dalam hati Vania.
"Maaf ya Tuan, tidak ada salah paham, istri anda menabrak mobil saya , yang saya beli dengan jeripayah sendiri, lalu dia dengan entengnya mengatakan barang rongsokan, itu membuat saya marah, dan itu di sana, saya tidak ingin ada kata damai karena mulut istrimu mengatakan anakku pembawa bencana!" Ujar Vania menunjuk -nunjuk wanita-wanita songong itu dengan songongnya.
"Maaf apa anda istri kedua Tuan Divon?" tanya salah satu dari mereka.
"Iya kenapa?" jawab Vania.
"Anda dari keluarga Horem?" tanyanya lagi.
"Iya kenapa memangnya?" sahut Vania.
"Astaga, maafkan kelakuan istri saya, mungkin karena tidak tahu siapa anda, tolong dengan rasa kerendahan hati saya, mohon maafkan istri saya." ujar suami yang menabrak Mobil Vania.
"Kenapa kau yang minta maaf, itu kan salah istri anda, aku tidak mau menerima perwakilan dalam meminta maaf!" tegas Vania.
Vania segera masuk ke dalam mobil, dan Divon segera melajukan mobilnya pergi.
Badarawuhi dan temannya di seret - seret suaminya untuk pulang, suami mereka tampak marah dan membuat semua itu menjadi tontonan untuk semua yang ada di sana.
"Haduh, apa mereka tahu kau tak bisa bicara?, maaf ya." ujar Vania merasa bersalah.
"Hal sekecil ini aku seharusnya tidak melibatkan mu." ujar Vania.
Karena Divon sedang mengemudi jadi dia diam saja, Divon membawa istrinya untuk sarapan terlebih dahulu di resto yang dekat dari sekolah putranya.
Di sana mereka berbincang dengan cara yang berbeda satu dengan mulut satu dengan kertas.
Divon mengatakan, senang jika Vania melibatkannya dalam hal seperti itu.
Dan Divon pun tak lupa mengucapkan terima kasih pada Vania yang sangat membela putranya itu.
Lenard adalah anak yang hangat, aku sangat senang dengan anak itu sekarang, dia menjadi penurut setelah salam pertama yang penuh dengan keributan itu.
Divon pun tertawa lepas mengingat hal itu.
"Astaga kau bisa tertawa suami?" tanya Vania.
Divon langsung memasang wajah datarnya lagi.
" Jadi mobil tadi sungguhan apa bohongan?, kalau diganti yang nyaman boleh ?" tanya Vania.
"Itu hadiah dariku untuk pernikahan kita, dan maaf karena merepotkanmu perihal Lenard." Tulis Divon.
"Iya, itu sangat kemahalan, aku mau mobil yang biasa-biasa saja apa boleh, itu tidak cocok untukku, dan aku lebih suka ada sopir pribadi." Ujar Vania.
"Itu terimalah, besok aku belikan yang kau mau, kau bisa memiliki sopirmu lagi." tulis Divon.
"Oh sungguh?, terimakasih." Vania berdiri dan spontan memeluk Divon karena sangat senang.
Hingga pada akhirnya Vania menyadari kelakuannya itu sangat diluar batas.
"Maaf maaf maaaf, aku terlalu senang." Vania pun duduk kembali dan mulai makan lagi karena malu.
Divon tersenyum melihat kelakuan istrinya, kadang-kadang seperti balita, kadang-kadang pemberani, kadang-kadang juga manis.
Apa yang aku pikirkan, hubungan kita hanya sebatas suami istri dan dia adalah ibu pengganti untuk Lenard yang kesepian.
Dalam hati Divon.
Sampai sekarang Divon masih sangat mencintai istrinya dan masih belum bisa melupakan istrinya itu.
"Setelah ini kita jemput lagi Lenard, maaf ya membuat mu ikut sibuk." ujar Vania.
"Dia anakku, jadi kau tidak perlu sungkan." tulis Divon.
"Kau ayah yang baik kan sebentar, kau hanya tidak mau menunjukkan hal itu ke semua orang karena takut Divon terluka." Ujar Vania.
Divon terkejut, rupanya Vania juga menyadari hal itu.