NovelToon NovelToon
Cerita Kita

Cerita Kita

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni / Idola sekolah
Popularitas:803
Nilai: 5
Nama Author: cilicilian

kisah cinta anak remaja yang penuh dengan kejutan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cilicilian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Muak

Suasana kelas sudah ramai, gaduh dengan celoteh dan tawa siswa yang memenuhi ruangan. Dela dan Sella, duduk berdampingan, mengamati hiruk-pikuk itu dengan tenang, menunggu kedatangan Dara.

Namun tak lama kemudian, Dara datang dibalik pintu kelas dengan wajah cerah. "Wih, ceria banget tuh muka," celetuk Dela, iseng menyikut Sella. Wajah Dara memang bersinar, senyumnya merekah sampai ke mata. Dela dan Sella saling pandang, menyadari penyebab keceriaan Dara yang tak biasa itu.

Kenangan peristiwa kemarin masih menghantui mereka. Mungkinkah sesuatu terjadi antara Nino dan Dara setelah Sella dan Dela meninggalkan keduanya di ruangan Nino? Keraguan dan pertanyaan rumit berputar-putar dalam benak mereka berdua, khususnya mengenai Dara.

Senyum Dara masih mengembang hingga ia duduk, menyelipkan sehelai rambut yang jatuh di wajahnya di balik telinga. "Kenapa senyum-senyum nggak jelas kayak orang gila?" tanya Dela, memutar tubuhnya untuk menatap Dara. Tatapannya penuh selidik, ia ingin tahu apa ada hubungannya dengan Nino, abangnya? Atau hal lain di balik senyum yang tidak biasanya itu?.

"Nggak papa, gue lagi seneng aja," jawab Dara, senyumnya merekah, menerangi wajahnya yang biasanya datar. Mata indahnya berbinar-binar, namun kilauan itu sirna seketika.

Dela belum sempat menyelesaikan kalimatnya, "Apa jangan-jangan...", suara derap langkah kaki Andra yang semakin dekat telah menggantikannya. Tasnya mendarat dengan keras di atas meja, suara "duk" itu memecah keheningan.

Senyum Dara memudar secepat kilat, digantikan oleh tatapan tajam yang menusuk Andra. "Berhubung mood gue lagi bagus, lo aman kali ini," desis Dara, suaranya terdengar dingin, kontras dengan senyum yang beberapa saat lalu masih menghiasi bibirnya. Tatapannya seolah-olah bisa membakar Andra hingga menjadi abu.

Andra tersenyum tipis, mengamati ekspresi Dara yang lucu ketika marah. Bukan karena ia menikmati kemarahan Dara, bukan sama sekali. Namun ada sesuatu yang menghibur dalam kekesalannya yang tergambar jelas di wajahnya. Sebuah asupan kecil kebahagiaan di pagi hari yang suram, sebelum kembali ke rutinitas pelajaran yang menantinya.

Pandangan Andra tertuju pada Dara yang terlihat serius berbincang dengan dua temannya. Wajahnya yang biasanya ceria kini diliputi ekspresi serius yang kontras, menciptakan keselarasan yang aneh namun menarik. “Lucu,” gumam Andra, suaranya nyaris tak terdengar, lebih seperti bisikan yang terhempas oleh angin pagi yang berhembus lembut di antara pepohonan.

Entah bagaimana, bisikan Andra yang nyaris tak terdengar, seperti hembusan angin yang membawa rahasia, tetap terdengar di telinga Sella. Alisnya bertaut, menunjukkan rasa penasaran yang membuncah. "Lo barusan ngomong apa? Lucu? Siapa yang lucu?" tanyanya, suaranya sedikit meninggi, mencari kejelasan dari ambiguitas kata-kata Andra.

Dela dan Dara, yang sebelumnya asyik berbincang, seketika mengalihkan perhatian mereka ke arah Andra. Tatapan mereka tajam, menuntut jawaban atas celetukan misterius tadi. Andra, dengan wajah datar yang seolah-olah dipahat dari batu, hanya diam, menunjukkan sikap acuh yang semakin menambah rasa ingin tahu mereka.

"Kok lo diem sih! Siapa yang lo bilang lucu?" tanya Sella kembali memastikan, suaranya terdengar meninggi menuntut penjelasan dari Andra.

"Ngak, lo salah denger," jawab Andra singkat, tatapannya tetap terpaku lurus ke depan, menghindari kontak mata dengan Sella. Sikapnya yang acuh semakin membangkitkan amarah Sella.

"Sell, lo emang harus ke dokter THT sih menurut gue," ucap Dara, meledek Sella yang mungkin pendengarannya kurang bagus.

"Jelas-jelas gue dengar kok! Andra bilang 'Lucu'," bantah Sella, suaranya dipenuhi keyakinan. "Lo nggak dengar, ya?" Tatapannya tajam, mencari validasi dari Dela dan Dara, dua sahabatnya yang tampak bingung.

Dela dan Dara menggelengkan kepala serentak, pandangan mereka saling bertemu sejenak sebelum kembali tertuju pada Sella. Memang mereka berdua tidak mendengar apapun, mungkin itu hanya pendengaran Sella ya yang kurang bagus.

"His, terserah lo deh," ucap Sella dengan wajahnya yang ditekuk, terlihat kesal dan memalingkan badanya berbalik ke arah depan.

Dela dan Dara saling bertukar pandang, sebuah senyum tipis, campuran geli dan sedikit iba tersungging di bibir mereka. Bukan tawa lepas, melainkan senyum yang memahami kerumitan emosi sahabat mereka. Mereka terkekeh pelan, suara mereka teredam oleh suasana kelas yang sedikit riuh, menyaksikan tingkah Sella yang sedang merajuk.

Bunyi pintu kelas yang terbuka membuyarkan suasana kecil mereka. Pak Heru, guru mapel Sejarah, masuk dengan langkah mantap. Beliau mengenakan kemeja batik lengan panjang dan celana kain warna gelap, penampilan khas beliau yang selalu rapi. Seketika suasana kelas menjadi lebih tenang, siswa-siswa segera duduk tegak di tempatnya, beberapa yang masih asyik berbincang buru-buru menutup mulut dan memasang tampang serius.

"Selamat pagi, semuanya," sapa Pak Heru dengan suara khasnya yang berat namun ramah. Beliau meletakkan tas jinjingnya di atas meja, lalu membuka buku catatan tebal yang selalu dibawanya. "Hari ini kita akan membahas tentang periode kerajaan Majapahit," ujarnya, menatap siswa-siswinya bergantian. Tatapan beliau tajam, seperti membaca isi pikiran setiap muridnya.

Pak Heru mulai menjelaskan materi dengan gayanya yang khas, sesekali menyelipkan humor ringan yang membuat siswa-siswa tertawa kecil. Dela dan Dara saling melirik, senyum tipis mereka tadi sudah hilang, tergantikan oleh ekspresi fokus mendengarkan penjelasan Pak Heru. Bahkan Sella, yang tadinya masih terlihat murung, perlahan mulai memperhatikan penjelasan Pak Heru. Suasana kelas berubah dari riuh menjadi khusyuk, semua fokus pada materi pelajaran Sejarah yang sedang dibahas.

Pak Heru meninggalkan kelas, suara langkah kakinya menjauh, menandai berakhirnya pelajaran dan dimulainya kembali hiruk pikuk kelas. Andra, dengan senyum yang Dara anggap menyebalkan, senyum yang terasa penuh perhitungan, mendekati Dara. Jarak di antara mereka menyusut, hingga hembusan napas berbau mint, terasa hangat mengenai telinga Dara. "Ra, nanti pulang sekolah, anterin aku ke perpustakaan, ya?" bisikannya, lembut namun terdengar sangat menyebalkan dan membuat muak bagi Dara..

Rasa tidak nyaman, lebih dari sekadar risih, menyelimuti Dara. Ia merasakan ketidaksukaan yang kuat terhadap pendekatan Andra yang terlalu dekat dan terkesan memaksa.

Dengan gerakan cepat, Dara menggeser kursinya menjauh, menciptakan jarak aman di antara mereka. Dara melirik Andra tajam, sinisme terpancar jelas di matanya, tidak perlu ada upaya untuk menyembunyikannya.

Ketidaksukaannya pada Andra begitu nyata. "Nggak!," jawabnya tegas, nada suaranya lugas, tanpa basa-basi atau bertele-tele. Ia kembali fokus pada catatannya, mencoba untuk terlihat sibuk, sebuah cara untuk menghindari interaksi lebih lanjut dengan Andra.

Andra menghela napas pelan, mencoba menjaga ketenangannya, ia hanya perlu bersabar agar Dara bisa merasa nyaman berasa di dekatnya. "Kok gitu? Aku kan murid baru di sini, masih nggak tahu tata letak buku yang aku cari."

"Gue bilang nggak, ya nggak!" Dara sedikit meninggikan suaranya, ketidaksabarannya mulai memuncak. Ia risih dengan sikap Andra yang terlalu dekat dan memaksa.

Andra tak menyerah begitu saja. Ia mengeluarkan senjata pamungkasnya, "Please, Ra, anterin aku. Nanti aku beliin kamu cokelat," rayuan Andra terdengar sedikit putus asa.

Dara mendengus, "Gue bisa beli sendiri." Ia bahkan merasa jijik dengan tawaran Andra yang murahan itu. Dara menjawab singkat, tetap fokus pada bukunya.

"Es krim, deh?" Andra masih berusaha. Nada suaranya sudah terdengar lebih melas. Upayanya untuk merayu Dara tampak semakin terlihat jelas.

Dara tetap terdiam, pandangannya kosong, fokusnya tertuju pada buku catatan yang terbuka di hadapannya. Namun, pikirannya melayang jauh, mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Andra, pertemuan yang langsung menimbulkan rasa muak yang tak tertahankan.

Kini, nasib buruk mempertemukan mereka lagi, bahkan menempatkan mereka di bangku yang sama. Ironisnya, Andra yang selalu berhasil membuatnya merasa jijik berada sedekat ini. Dara menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi yang hampir meledak. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin ia harus menghabiskan waktu berjam-jam dengan orang yang keberadaannya saja sudah membuatnya mual.

"Kok diem aja? Berarti kalo diem, iya dong, ya? Oke, kalau gitu nanti setelah pulang sekolah langsung ke perpus," ucap Andra dengan senyum manisnya yang dibuat-buat. Senyum yang sama sekali tak mampu meluluhkan hati Dara, justru sebaliknya, senyum itu bagaikan racun yang semakin memperparah rasa muaknya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!