NovelToon NovelToon
Pesona Cinta CEO Tampan

Pesona Cinta CEO Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Mira j

Maura, gadis lugu dari kampung dengan mimpi besar di kota, bekerja sebagai pengasuh nenek dari seorang milyader muda bernama Shaka Prawira. Tak disangka, Maura juga ternyata mahasiswi di universitas milik Shaka. Di balik sikap dinginnya, Shaka menyimpan perhatian mendalam dan mulai jatuh cinta pada Maura—meski ia sudah memiliki tunangan. Terjebak dalam cinta segitiga, Maura harus memilih antara impian dan perasaannya, sementara Shaka berkata,

"Aku sangat menyukaimu, Maura. Aku ingin kau ada saat aku membutuhkanku."

“ anda sudah bertunangan tuan ,saya tidak mau menyakiti hati wanita lain .”

“ Kau tidak akan menyakitinya sayang ,Thalita urusanku ”.

Namun, apakah cinta mampu mengalahkan janji dan status?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 9

Lampu-lampu kristal menggantung indah di langit-langit apartemen mewah Thalita. Cahaya keemasan menyinari seisi ruangan, memantulkan kilau dari gaun hitam yang membalut tubuhnya. Malam ini, ia memilih tampilan paling memukau—gaun ketat berpotongan rendah, dengan belahan paha yang menggoda. Make up-nya sempurna, lipstik merah pekat menghiasi bibirnya yang penuh.

Ia melirik jam tangan peraknya. Sudah lewat tiga puluh menit dari waktu janji temu. Shaka belum juga muncul.

Tangannya meraih ponsel dari meja rias. Jemarinya yang dihiasi cat kuku merah menyala mulai mengetik dengan cemas. Tapi tak jadi ia kirimkan pesan itu. Thalita memilih menelepon.

Beberapa dering... dan akhirnya tersambung.

"Shaka, kamu di mana?" suaranya terdengar tenang, tapi jelas sarat emosi. "Kita janjian jam delapan, sekarang sudah hampir jam sembilan."

Suara di seberang terdengar berat dan dingin, seperti tak terpengaruh.

"Aku masih di kantor, Thalita. Ada rapat penting."

"Selalu begitu!" seru Thalita, mulai tak bisa menahan diri. "Setiap kali kita ada rencana, selalu saja ada alasan. Kamu pikir aku nggak berharga, ya?"

Shaka diam sesaat, lalu menjawab datar, "Aku nggak mau berdebat. Aku sibuk."

Klik.

Sambungan terputus begitu saja.

Thalita terpaku menatap layar ponsel. Matanya membelalak tak percaya. "Apa-apaan itu? Dia tutup telepon begitu saja?!"

Dengan kasar ia melempar ponselnya ke sofa. Nafasnya memburu, dadanya naik turun menahan amarah. Gaun yang tadi terasa anggun kini justru terasa sempit, menyiksa. Air matanya mulai menggenang.

"Kenapa, sih? Apa aku kurang cantik? Kurang sempurna?" bisiknya lirih.

Ia berjalan ke depan cermin besar, menatap bayangannya sendiri. Sosok wanita cantik, glamor, tapi kini tampak rapuh. Perlahan, air mata menetes dari matanya, merusak riasan yang tadi ia poles dengan penuh semangat.

Hatinya menjerit. Ia sudah merelakan banyak hal demi Shaka. Ia bertahan atas semua kesibukan Shaka, Shaka tak benar-benar peduli. tapi ia tak mau kehilangan Shaka ,bagaimanapun caranya Shaka harus jadi milik nya .

Suara hujan tiba-tiba mulai terdengar di luar jendela apartemen. Seakan langit pun ikut merasakan pedihnya hati Thalita. Ia berjalan menuju balkon, membiarkan angin malam menerpa wajah nya.

"Kau tak bisa menghindar dariku Shaka, kau adalah hidupku .aku butuh uangmu tidak dengan dirimu yang dingin itu ?" gumam Thalita.

Thalita menghapus sisa air mata di pipinya dengan punggung tangan. Dengan langkah cepat, ia meraih ponsel dari sofa. Jari-jarinya bergerak lincah, mencari satu nama yang sudah lama ada dalam pikirannya setiap kali Shaka mengecewakan: Nathan.

Tak butuh waktu lama untuk tersambung. "Datanglah ke apartemenku," ucap Thalita singkat, suaranya masih bergetar, tapi terdengar manja.

"On my way, beautiful," jawab Nathan dengan nada genit.

Tak sampai setengah jam, suara bel berbunyi.

Thalita berjalan ke pintu dengan langkah anggun, membuka pintu lebar-lebar. Di hadapannya, Nathan berdiri dengan senyum menggoda, tampak santai dengan kemeja putih sedikit terbuka di bagian dada.

"Wow," gumam Nathan, matanya mengamati Thalita dari atas ke bawah. "Malam ini kamu... luar biasa, Litha."

Thalita membalas senyumannya, membiarkan Nathan masuk. Ia menutup pintu pelan, membiarkan dirinya larut dalam hawa panas yang perlahan menguar di antara mereka.

Nathan menjatuhkan dirinya ke sofa dengan santai, mengamati Thalita yang berjalan ke dapur kecil untuk mengambilkan minuman. Dengan penuh gaya, ia membawa dua gelas wine ke ruang tamu, menyerahkan satu kepada Nathan sebelum akhirnya duduk di samping pria itu.

Aroma parfumnya menguar halus, menggelitik hidung Nathan. Ia mengangkat gelasnya, bersulang kecil. "Untuk malam yang tak terduga," bisiknya, matanya menatap dalam ke mata Thalita.

Thalita tersenyum, membiarkan dirinya sedikit bersandar pada Nathan. Cumbuan-cumbuan kecil dimulai—sentuhan di lengan, belaian di rambut, dan tatapan penuh godaan.

Nathan mendekat, bibirnya hampir menyentuh pipi Thalita saat ia berbisik, "Kamu cantik sekali malam ini, Litha. Sepertinya... kamu tadinya mau pergi dengan Shaka, ya?"

Thalita menghela napas, tersenyum sinis. Ia memiringkan kepala, menatap Nathan seolah menyimpan rahasia.

"Dan... sepertinya lagi-lagi Shaka mengecewakanmu, kan?" tebak Nathan, nada suaranya nakal tapi mengandung simpati.

Thalita tertawa kecil, menggoda. "Kau memang pintar, Nathan."

Nathan tertawa pelan, tangannya mulai mengusap lembut punggung Thalita, membiarkan keintiman itu tumbuh perlahan di antara mereka.

Sofa empuk itu hanya menjadi awal. Tubuh Thalita terasa ringan ketika Nathan membimbingnya perlahan menuju kamar. Tak ada kata-kata, hanya tarikan nafas yang semakin berat, seolah keduanya sudah berbicara lewat sentuhan.

Di dalam kamar, cahaya remang-remang dari lilin-lilin kecil membuat suasana tampak seperti dunia lain—hangat, intim, dan menggoda.

Thalita berdiri di depan Nathan, matanya berkilat menantang namun penuh hasrat. Dengan perlahan, jemarinya yang ramping membuka kancing bajunya sendiri satu per satu, membiarkan gaun malam itu jatuh mengalir ke lantai, menyisakan kulit halusnya yang terpapar udara malam. Nathan menahan napas, matanya menyapu pemandangan di hadapannya dengan penuh kekaguman dan hasrat yang menyesakkan dada.

Nathan mendekat, membelai pinggang Thalita dengan kedua tangannya, menariknya ke dalam dekapan. Bibir mereka bertemu lagi, kali ini lebih panas, lebih dalam. Ciuman Nathan menjelajahi bibir, rahang, lalu turun ke leher Thalita, meninggalkan jejak-jejak basah yang membuat tubuh gadis itu bergetar.

Thalita merintih pelan, tangannya meremas ringan rambut Nathan, memanggil namanya di antara nafas tercekat.

"Shh... malam ini, hanya aku," bisik Nathan di telinga Thalita, sebelum mengangkat tubuh ringan itu ke atas ranjang.

Thalita mendesah saat tubuh mereka bertemu di atas ranjang, sprei putih berkerut di bawah mereka. Nathan menciumi setiap jengkal kulit Thalita, dengan perlahan dan penuh penghayatan, seolah-olah ia sedang melukis kenangan di tubuhnya.

Mereka saling mengeksplorasi, menciptakan irama tubuh yang seirama dengan detak jantung mereka. Setiap sentuhan, setiap ciuman, membuat malam itu terasa semakin panas. Ruangan dipenuhi dengan bisikan, erangan lirih, dan suara napas yang saling berpadu.

Di puncak malam, ketika mereka akhirnya mencapai puncak keintiman, Thalita membenamkan wajahnya di leher Nathan, membiarkan dirinya larut, melupakan semua luka, semua kecewa.

Dalam pelukan Nathan, Thalita menemukan sepotong kehangatan yang selama ini tak pernah bisa didapatkan dari Shaka.

Dan untuk malam itu... Thalita membiarkan dirinya lupa siapa shaka dalam hidupnya .

*

*

*

Udara siang itu seharusnya terasa damai di taman kampus saat waktu istirahat. Maura dan Laila, seperti biasa, duduk di bangku panjang, tenggelam dalam dunia buku. Hanya sesekali mereka saling melemparkan obrolan ringan, membuat suasana semakin nyaman.

Namun ketenangan itu terusik.

Tak jauh dari sana, Megan bersama geng-nya — Astrid, renna, dan Dhea — duduk mengawasi mereka dengan tatapan penuh racun. Astrid berbisik dengan nada sengit, "Tadi pagi aku lihat Maura antar pakai mobil mewah, Meg. Gaya kampung naik kelas."

Megan menyipitkan mata, lalu berdiri sambil merapikan rambutnya dengan angkuh. Ia berjalan menghampiri Maura, disusul oleh geng-nya. Begitu sampai di depan meja tempat Maura dan Laila duduk, Megan menatap tajam, lalu dengan suara lantang yang disengaja, ia berteriak,

"CEWEK ANI-ANI!"

Seluruh taman kampus sontak menoleh. Sebagian mahasiswa berhenti berjalan, sebagian lagi pura-pura membaca sambil mencuri dengar.

Maura awalnya hanya mendesah pelan. Ia mencoba fokus membaca, tetapi Megan tak mau berhenti.

BRAK!!

Tangan Megan menghantam meja, membuat buku Maura terpental sedikit. Laila sontak berdiri, menahan napas.

Maura perlahan mendongakkan kepala, matanya menatap Megan tajam, tanpa rasa takut.

"Apa masalahmu?" suara Maura rendah tapi penuh tekanan.

Megan mendengus. "Masalahku? Masalahku cuma satu, aku benci cewek murahan yang sok bersih seperti kamu."

Beberapa mahasiswa mulai merekam dengan ponsel mereka.

Maura tersenyum tipis, bangkit dari kursinya dengan anggun. "Kalau benci, jangan lihat aku. Matamu yang sakit, bukan aku," ucap Maura dengan nada yang menusuk.

"Dasar cewek kampung baru dapat duit! Jangan sok suci di sini!" teriak Astrid menambahkan.

Maura melangkah maju, berdiri sangat dekat dengan Megan. "Kalau kamu mau menghina aku, pastikan dulu dirimu lebih baik. Jangan hanya jago menggonggong seperti anjing jalanan."

Semua orang yang menyaksikan langsung bergumam heboh. Megan, yang tak tahan dipermalukan, mendorong Maura keras.

Maura tersentak mundur beberapa langkah, tapi dengan cepat ia membalas — tangan kecilnya menampar pipi Megan dengan keras.

PLAK!!

Suara tamparan menggema di seluruh taman.

Megan membelalak, lalu menyerang Maura. Mereka berdua akhirnya terlibat saling dorong, rambut Maura sempat ditarik, tapi Maura tidak tinggal diam, ia menahan lengan Megan dan mendorongnya jatuh ke rumput.

"Berani sentuh aku lagi, lihat saja!" bentak Maura dengan nafas memburu.

Keributan itu semakin memanas hingga beberapa petugas keamanan kampus berlari menghampiri. Mereka melerai pertengkaran itu dengan susah payah.

"Kalian berdua ikut kami sekarang!" seru salah satu petugas, wajahnya merah karena marah.

Maura dan Megan — masih saling melempar pandangan membunuh — akhirnya digiring ke ruang tata usaha untuk dipanggil menghadap pihak kampus.

Taman yang semula damai kini dipenuhi bisik-bisik. Banyak mahasiswa menatap Maura dengan kagum, karena berani melawan Megan, si ratu kampus yang selama ini seenaknya sendiri.

Laila mengejar di belakang Maura, khawatir namun juga bangga. "Kamu keren, Maura... Tapi semoga kita nggak dikeluarkan ya," bisiknya setengah takut.

Maura hanya tersenyum tipis, wajahnya tetap tenang.

Ia tahu resikonya... tapi untuk kali ini, ia memilih mempertahankan harga dirinya

 Shaka baru saja turun dari mobil mewahnya, mengenakan setelan abu-abu elegan yang membuat sosoknya semakin mencolok di tengah para mahasiswa yang berlalu-lalang.

Sebagai pemilik utama yayasan kampus ini, hari ini ia harus menghadiri rapat penting bersama dekan dan beberapa pejabat lainnya. Biasanya urusan seperti ini bisa diwakilkan, tapi kali ini kehadiran Shaka diperlukan langsung untuk mengambil keputusan penting.

Baru saja melangkah ke lobby utama, ia dihentikan seorang staf dan  dengan wajah gelisah.

"Pak Shaka, maaf mengganggu. Ada sedikit keributan di taman kampus."

Alis Shaka langsung berkerut. "Keributan?" tanyanya tegas.

"Iya, Pak. Dua mahasiswi... Megan dan Maura."

Mendengar nama itu, langkah Shaka terhenti sejenak. "Megan? Si ratu kampus itu?"

Staf itu mengangguk gugup.

"Dan... Maura?" Shaka mengulang perlahan, seolah tak percaya.

"Iya, Pak. Maura itu mahasiswa penerima beasiswa... yang biasa pendiam itu. Tapi tadi katanya bertengkar hebat dengan Megan."

Shaka terdiam, matanya menyipit, ekspresinya sulit dibaca.” Apakah Maura Antika ?”

‘Berani juga gadis kecil itu melawan Megan...’ pikirnya dalam hati, sedikit terkesan.

"Di mana mereka sekarang?" tanyanya cepat.

"Sudah dibawa ke ruang tata usaha, Pak. Menunggu dipanggil dekan."

Tanpa banyak bicara, Shaka langsung berbalik arah, menuju ruang tata usaha. Para staf yang melihatnya hanya bisa saling bertukar pandang.

Maura duduk tegak di kursi, sementara Megan di seberangnya terus memelototinya. Wajah Megan masih merah karena malu dan marah. Maura, sebaliknya, tampak tenang meski di dadanya degup jantung berdetak cepat.

Suasana terasa tegang saat pintu tiba-tiba dibuka dengan suara berat.

Semua mata langsung menoleh.

Shaka masuk dengan aura dingin dan wibawa yang menyengat. Tatapannya langsung tertuju pada Maura, membuat gadis itu hampir menahan napas ia bingung kenapa Shaka ada di sini.

Untuk pertama kalinya, Shaka melihat Maura dalam keadaan berbeda — bukan sebagai gadis pemalu, tapi sebagai seseorang yang berani berdiri untuk harga dirinya.

"Pak Shaka..." salah satu dosen berdiri gugup.

Shaka mengangkat tangan, menghentikan penjelasan mereka. Ia berjalan perlahan ke tengah ruangan, tangannya menyelip di saku celana, tubuhnya tegap dan santai, namun tatapannya menusuk.

"Apa yang terjadi?" tanyanya datar, matanya sesekali melirik Maura yang tetap berusaha menjaga ketenangannya.

Salah satu staf mulai menceritakan kejadian di taman kampus, termasuk bagaimana Megan memprovokasi lebih dulu. Shaka mendengarkan dengan saksama, sesekali melirik Megan yang mulai lebih dulu.

Setelah mendengar semuanya, Shaka berdiri di hadapan mereka.

"Di kampus ini," suaranya tegas dan dalam, "semua mahasiswa punya hak yang sama. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah karena status atau kekayaan."

Megan menunduk, wajahnya terlihat geram namun tidak berani melawan.

Shaka kemudian menoleh ke arah Maura. Tatapannya berubah sedikit lebih lembut, meski tetap serius. Ia menatap Maura lama, seakan berusaha membaca isi hatinya.

"Kamu," katanya, nada suaranya lebih pelan, "sudah menunjukkan keberanianmu. Tapi ingat, lain kali, selesaikan masalah dengan kepala dingin. Jangan biarkan emosi menguasai."

Maura hanya bisa mengangguk, mencoba menahan gemuruh dalam dadanya. Berada dalam sorotan mata Shaka seperti membuatnya kehilangan kemampuan untuk berpikir jernih.

Shaka membalikkan badan sejenak, berbicara pada pihak dosen, "Selesaikan administrasi masalah ini sesuai prosedur. Saya ingin laporan tertulis di meja saya sore ini."

Sebelum benar-benar keluar, ia berhenti di ambang pintu. Kepalanya sedikit menoleh ke samping, suaranya dalam dan memerintah.

"Maura," panggilnya tegas.

Maura refleks menegakkan tubuhnya.

"Setelah semua urusan ini selesai, datang ke ruangan saya."

Seketika semua mata di ruangan itu membelalak kaget — termasuk Maura. Tapi Shaka tidak memberi kesempatan untuk bertanya. Ia sudah melangkah pergi dengan langkah tenang namun penuh wibawa, meninggalkan Maura yang masih terpaku di tempat duduknya, wajahnya memanas karena campuran gugup dan rasa penasaran.

Laila, yang sejak tadi diam, berbisik di samping Maura, "Astaga, Maura... apa yang mau dibicarakan sama kamu? Melihatnya saja aku takut ,apa kamu mau dikeluarkan dari kampus ?"

Maura hanya menggigit bibir bawahnya, jantungnya berdetak tak karuan.

1
Petir Luhur
lanjutkan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!