NovelToon NovelToon
Benci Jadi Cinta

Benci Jadi Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Pernikahan Kilat / Menikah dengan Musuhku
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Dewi rani

Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.

mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 9

Artha memang tampan, tetapi bukan berarti Naira sangat memujanya. Dia memiliki harga diri yang selama ini dijunjungnya agar tidak direndahkan orang lain di tengah kemiskinan yang membelenggu kehidupannya.

"Gue tersiksa, Ta! Lo ngerti, enggak? Kalau gue boleh memilih, lebih baik gue enggak kenal sama lo! Lebih baik hidup gue pas-pasan, tetapi hidup dengan tenang. Enggak kayak sekarang!"

"Maksud lo? Gue bikin hidup lo enggak tenang?" Artha bertanya dengan Alis terangkat.

Naira menghela napas panjang. "Setidaknya hargai gue sebagai wanita, meskipun lo nggak nganggep gue sebagai seorang istri. Kita temen sekelas, bukan? Mengapa kita enggak berteman saja? Itu hubungan yang jauh lebih masuk akal

untuk kita yang masih berstatus pelajar."

Sejenak Artha berpikir, dan kemudian anggukan kepala dilakukan.

"Okey! Kita berteman!"

Artha mengulurkan tangan pada Naira. Wajah kesal Naira berangsur pudar dan bergantikan

dengan senyum tipis.

"Deal!"

Artha menaiki motor, bersama Naira yang turut naik di belakangnya. Mereka pergi meninggalkan parkiran rumah sakit setelah mesin motor

dinyalakan.

"Gue nginep di rumah lo!" kata Artha saat mereka

berada di perjalanan.

"Apa? Kenapa?" Naira sempat terkesiap akan

perkataan Artha. Bagaimana bisa Alka berpikir akan menginap di rumah kontrakannya?

"Gue harus jagain lo! Ini perintah Mama," kata Artha tegas. Dia masih fokus mengendarai motor dengan Naira berpegangan pada pinggangnya yang duduk pada boncengan.

"Tapi gue udah biasa sendiri. Lo enggak usah

repot-repot!"

"Gue nggak mau kena omel lagi. Ngerti!"

Hembusan napas berat terdengar dari bibir Naira. Dia tak terbiasa ada pria yang bertamu di rumahnya. Apalagi saat ini mamanya tak ada di rumah. Namun, Artha tipe cowok keras kepala. Bagaimanapun Naira menolak, pria itu pasti tetap pada pendiriannya.

Tiada pembicaraan lagi setelah itu. Keduanya diam dan fokus pada jalanan. Angin malam yang berembus menerpa wajah Naira yang saat ini tidak mengenakan helm. Rambut panjangnya bergerak ke belakang, melambai-lambai seiring gerakan arah angin yang meniupnya.

"Ta, anterin gue ambil motor!" Ya, motor Naira masih tertinggal di parkiran alun-alun kota.

"Gue besok sekolah naik apa? Kita enggak mungkin berangkat bareng, kan?"

"Kenapa nggak mungkin? Besok gue anter ke

sekolah?"

"Hah? Lo gila apa? Bisa ketahuan anak-anak kalau kita ada hubungan!" Sungguh, apa yang dilakukan oleh Thalita tadi siang cukup membuat Naira trauma. Gadis itu nyatanya memiliki ambisi untuk menyingkirkan semuanya yang berhubungan dengan Artha.

"Kita memang ada hubungan," jawab Artha singkat.

"Tapi lo bilang ...."

"Kita temen, kan?"

Hampir saja Naira salah paham. Untung Artha

segera menyela kalimatnya.

"Emm, kita temen."

"Lantas, apa salahnya temen berangkat bareng

ke sekolah?" Naira terdiam. Dia bingung menjawab apa.

Pasalnya apa yang dikatakan Artha juga tidak salah. Namun, bagaimana dengan Thalita? Pasti gadis itu semakin mencari masalah padanya.

"Tapi ... motor gue baik-baik saja, kan? Mama

pasti marah kalau motornya ilang."

"Lo tenang aja. Motor lo aman."

"Tapi kunci motornya ada sama gue."

"Udah, gampang. Lo terima beres!" Artha selalu saja begitu. Irit bicara. Tak mau menjelaskan detail apa yang ingin Naira ketahui. Gadis itu akhirnya bungkam kembali, tak ingin menguras energi untuk bertanya apa pun pada Artha.

Sampailah sekitar lima belas menit lamanya mereka berada di depan rumah kontrakan Naira. Rumahnya kecil. Hanya ada satu kamar tidur, ruang tamu, dapur, dan kamar mandi. Naira turun lebih dulu, mengambil kunci rumah dalam saku. Sementara Artha menaikkan motornya ke atas teras kontrakan Naira.

"Gue parkirin di sini, ya. Takut hujan!" kata Artha

setelah menegakkan standar tengah motornya.

"Masukin aja, Ta! Gue takut motor lo kemalingan. Gue nggak mau tanggung jawab kalau sampai-sampai lo kehilangan motor di rumah gue."

Artha mengernyit, melihat kondisi dalam rumah Naira yang terbuka pintunya sedikit. Rumah sekecil itu dimasukin motor sport yang gede, Artha tidak bisa membayangkan sesesak apa jika dirinya di dalam.

"Nggak usah. Ini juga udah aman. Kalau kemalingan motor gue ada alarmnya. Lo tenang aja!"

"Ya udah. Terserah lo." Naira masuk lebih dulu tanpa mempersilakan Artha. Namun, bukan Artha yang menunggu dipersilakan agar bisa masuk. Lelaki itu kadang urat malunya udah hilang. Hanya tinggal harga diri dan rasa percaya diri yang tingginya menyaingi puncak menara Eiffel.

"Nai, lo nggak ada minuman apa?" tanya Artha setelah memasuki rumah Naira. Kepalanya celingukan mencari minuman. Rumah Naira tidak ada kursi atau sofa. Hanya ada meja kecil yang sengaja diletakkan di sudut ruangan dengan vas bening yang tampak beberapa tangkai bunga terendam air di dalamnya.

"Tuh, di kulkas. Hanya ada minuman dingin. Air mineralnya habis."

"Okey, nggak papa!"

Artha membuka lemari es yang berada di dapur. Ukuran rumah Naomi memang kecil, tetapi cukup rapi. Tiada barang-barang berserakan yang tidak terletak pada tempatnya. Di dalam lemari es lebih didominasi air putih yang dimasukkan pada wadah-wadah botol. Artha mengambil salah satu, lantas menenggaknya langsung.

"Eh, tunggu! Ini gelas-nya." Suara Naira tersendat karena keburu Artha meminunnya.

"Kenapa?" tanya Artha setelah menutup kembali tutup botol tersebut, lantas mengembalikan di dalam rak lemari es.

"Lo takut kita ciuman secara nggak langsung?"

"Eh, apa?"

Wajah Naira memerah. Kalimat Artha terasa

begitu frontal.

"Gue nggak gitu!" Dia mengelak.

"Nggak gitu?" Artha mendekat, memperhatikan wajah Naira lekat-lekat. Baru kali ini dia melihat cewek di depannya ini dengan cermat. Naira memiliki mata bulat bening. Kulitnya putih bersih. Tubuhnya pun tampak padat berisi. Dia cantik.

"Wajah lo merah!"

Naira memalingkan muka. Ditatap seintens itu membuat jantungnya berdebar. Tidak bisa dipungkiri jika Artha memang memiliki paras tampan. Pantas saja cewek-cewek di sekolahnya sangat mengidolakan Artha. Bahkan, ada yang begitu terobsesi. Thalita contohnya.

"Lo tidur di mana? Kamarnya hanya ada satu! Gue enggak mau ya berbagi tempat tidur sama lo!" Naira berbalik, menggelar kasur lantai yang biasa dia gunakan menonton TV bersama mamanya.

"Ini ada kasur. Gue ambilin lo selimut sama bantal."

Artha tak menjawab. Matanya menatap sesuatu yang menarik perhatian. Di dinding yang terdapat rak tempel, ada sesuatu yang menggantung dengan foto yang dicetak lumayan besar. Matanya menatap jeli siapa yang berada di dalam foto itu, memegang piala dengan berkalung medali yang kini dijadikan pajangan.

"Ini lo?" tanya Artha setelah meyakini bahwa yang berada di foto itu adalah Naira.

"Lo atlit?"

Naira yang baru keluar dari kamar sembari membawa bantal dan selimut menatap Artha. Dia duduk di kasur lantai, meletakkan bantal dan

selimut tersebut di sana.

"Masa lalu," kata Naira singkat.

Artha membalik badan. Dia ikut duduk bersila di depan Naira.

"Gue engak pernah tahu kalau lo jago voli. Lalu, kenapa sekarang lo berhenti?"

Artha berpikir, mungkin Naira memang tidak pandai dalam pelajaran akademik. Artha yakin jika Naira memiliki kelebihan lain yang selama ini

tidak pernah ditunjukkan oleh gadis itu.

"Itu masa lalu, Ta! Itu foto waktu SMP. Hanya sebuah kenangan bahwa gue pernah berprestasi." Naira menatap Nanar foto yang ada di dalam bingkai tersebut, seakan-akan ada harapan besar

yang terpendam dari sorot matanya.

"Kenapa lo nggak main lagi?"

Awalnya Naira enggan menjawab. Semua yang berhubungan dengan masa lalunya terasa menyakitkan. Memang itu semua indah unuk dikenang, tetapi mengingat kehidupannya yang sekarang, Naira seakan-akan enggan untuk mengenang apa pun terkait olahraga tersebut.

"Gue cedera. Gue kecelakaan sehari sebelum tanding. Ada motor ugal-ugalan tiba-tiba nabrak

gue, tetapi kabur begitu saja. Gue enggak begitu jelas siapa yang ngelakuin. Tapi karena kecelakaan itu, semua impian gue kandas."

"Maksud lo?"

"Bagi seorang atlit, cedera adalah kiamat. Gue udah fakum setelah kecelakaan itu. Apalagi tak lama setelah kejadian itu, Bokap meninggal. Semua mimpi dan cita-cita gue udah enggak mungkin tercapai."

"Bagian mana yang cedera?" tanya Artha, memperhatikan tubuh Naira yang tampaknya tidak ada yang cacat.

"Bahu! Ada keretakan di sini." Naira menunjukkan dengan meletakkan tangan di bahu

sebelah kiri.

"Gue mau lihat!"

"Apa?"

"Buka baju lo!" kata Artha ngawur.

"Gue mau periksa tubuh lo!" Seketika itu juga Naira melempar bantal ke wajah Artha. Wajahnya memerah.

"Jangan mesum lo! Lo bisa habis di rumah gue!"

"Apa? Siapa yang mesum? Gue cuma mau lihat

bagian cederanya? Lo jangan salah paham!"

"Nggak guna juga lo tahu. Emang lo bisa sembuhin?" kata Naira dengan suara meninggi.

"Gue bisa bawa lo buat berobat. Jangan sia-siain bakat lo!"

Menghela napas, Naira menatap penuh curiga pada Artha.

"Enggak ada yang bisa ditunjukin. Nggak ada bekasnya. Tragedinya udah lama juga."

Walaupun begitu, Naira sempat melepaskan dua kancing bajunya, menyibakkan bagian atas sehingga terlihat bahu dan ketiak atas. Baru saja Alka melihat, tetapi Naomi sudah membenarkan kembali pakaiannya.

"Busyet, bentar banget! Gue belum puas ngelihat."

Naira mendelik, malas meladeni Artha.

"Gue mau tidur! Awas lo gangguin!" Dia beranjak setelah mengatakannya. Namun, Artha malah menarik tangannya sehingga tubuhnya kembali duduk pada kasur lantai.

"Gue belum selesai bicara!"

"Lo mau bicara apa lagi, Ta? Ingat, ya, kita nggak deket sebelum ini?" Naira menuding dengan jari telunjuk pada Artha.

"Jadi, jangan macem-macem!"

Artha tersenyum. Sebelumnya Artha mengira Naira adalah cewek membosankan dengan segala kekurangan. Namun, nyatanya apa yang dibayangkan bertolak belakang dengan kenyataan. Naira merupakan cewek cerewet yang susah dijinakkan.

"Kalau gue macem-macem kenapa?" Kedua tangannya menyentuh bahu Naira. Gerakannya sedikit mendorong sehingga tubuh Naira kini terjatuh dengan posisi telentang di atas kasur lantai. Artha memosisikan tubuhnya di atas tubuh Naira, memerangkap gadis itu di bawahnya.

"Kita suami istri, kan?" tanyanya yang langsung mendapatkan pelototan dari Naira.

"Lo mau apa, Ta? Jangan macem-macem, deh!"

kata Naira memperingatkan.

"Kita masih sekolah."

"Memang kenapa? Kita udah sah, bukan? Pak Ustad bilang, begituan dengan pasangan halal nggak dosa. Malah disebut ibadah. Ngomong-ngomong gue juga pengen tahu rasanya nidurin cewek."

Mata Naira membulat penuh. Telapak tangan yang sejak tadi berada di antara tubuhnya dan Artha, mendorong keras dada liat nan padat hingga membuat celah cukup longgar. Sementara lututnya menendang milik lelaki itu.

Sontak mata Artha membeliak, merasakan nyeri luar biasa pada bagian bawah sana. Dia berguling menyamping, membebaskan tubuh Naira sehingga gadis itu bisa segera menjauh darinya.

"Anjrriit. Sialan lo, Nai!" umpat Artha dengan

menahan rasa sakit di bawah sana.

"Syukurin. Itu hukuman buat otak mesum kayak lo!" kata Naira kemudian yang langsung masuk ke kamar dan menutup pintunya sedikit menggebrak.

1
Indriani Kartini
lanjut thor
karina
up lagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!