Berfokus pada Kaunnie si remaja penyendiri yang hanya tinggal bersama adik dan sang mama, kehidupannya yang terkesan membosankan dan begitu-begitu saja membuat perasaan muak remaja itu tercipta, membuatnya lagi dan lagi harus melakukan rutinitas nyeleneh hanya untuk terbebas dari perasaan bosan tersebut.
tepat jam 00.00, remaja dengan raut datar andalannya itu keluar dan bersiap untuk melakukan kegiatan yang telah rutin ia lakukan, beriringan dengan suara hembusan angin dan kelompok belalang yang saling sahut-sahutanlah ia mulai mengambil langkah, Kaunnie sama sekali tidak menyadari akan hal buruk apa yang selanjutnya terjadi dan yang menunggunya setelah malam itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yotwoattack., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BI BAB 16 - Tumbal pesugihan.
Aku terus bungkam sampai Sebastian membenarkan posisi duduknya lalu menarik nafas sejenak sebelum mulai bersuara.
"Legenda iblis melawan iblis ini gak banyak diketahui. Tapi sebelum saya mulai cerita, kamu lihat itu," Sebastian menunjuk kearah belakangku dengan jarinya.
Pandanganku mengikuti apa yang Sebastian tunjuk dan ternyata terdapat hal yang 'sejenis' dengan sesuatu yang akhir-akhir ini mulai sering kulihat.
Makhluk astral? Tak salah lagi.
Disana terdapat sosok yang seperti kabut pekat membentuk sebuah tubuh terlihat sedang duduk dengan posisi sedikit menunduk tepat di belakangku. Aku tidak sadar bahwa sosok itu ternyata sama miripnya dengan sosok yang beberapa harian ini mengikuti ku.
Omaga! Hantuu~
Jujur, aku masih merinding jadi aku sedikit menggeser posisiku untuk lebih dekat dengan Sebastian.
...(( komentator Z : modus ))...
Sebastian menghela nafas dengan wajah yang terlihat lelah. Ia mengusap sebelah matanya sebelumnya melanjutkan obrolan. "Itu makhluk yang selalu mengikuti saya dimanapun dan kapanpun saya berada. Sebenarnya saya sedikit heran kenapa kamu belum sadar sadar juga dengan keberadaan makhluk itu namun karena kamu sepertinya adalah orang yang 'tidak perdulian' jadi saya merasa tidak perlu heran lagi." Ujar Sebastian kalem.
Menyedihkan.. bahkan orang yang notabenenya 'baru' didepanku ini saja bisa tahu bahwa aku adalah orang yang tidak terlalu perduli dengan sesuatu yang tidak membuatku untung.
Apa kalimat 'tidak perdulian' itu tanpa sadar tertulis di dahiku sehingga orang yang melihatku sekilas bisa dengan mudah mengetahui sifatku yang bisa dibilang buruk bisa dibilang baik ini?
Aku menggedikan bahu. Yasudahlah, ku eratkan pelukanku pada bantal lalu mulai menantikan rentetan kalimat panjang Sebastian selanjutnya.
"Kamu akhir-akhir ini mulai sering ngeliat mereka, kan?" Aku memberi anggukan kecil pada pertanyaan Sebastian.
"Nah, itu seharusnya kamu udah bisa ngelihat dia yang di belakang kamu namun... Seperti yang saya bilang, kamu bukan orang yang perdulian." Ujar Sebastian dengan nada yang sama sekali tidak menyindir namun terdengar sedikit menyebalkan di telingaku.
Kenapa malah bahas aku sih? Bukannya tadi mau cerita soal legenda iblis melawan iblis ya?
"Kamu keluar dari topik. Kembali ke topik awal aja." ujarku santai yang langsung membuat pria tinggi besar disebelahku itu terkekeh. Apa yang lucu? Aku benar, kan? Kuangkat sebelah alisku sembari membalas tatapan Sebastian yang tak pernah lepas. Mungkin karena aku terlalu imut.
Sebastian berdehem berusaha menetralkan kekehan miliknya. "Oke-oke. Jadi, legenda iblis melawan iblis adalah legenda kuno, Awalnya saya gak percaya namun setelah beberapa minggu yang lalu saya sering mimpiin anak-anak yang adalah kamu, saya mulai percaya bahwa legenda iblis melawan iblis itu ad--##"
"Tunggu." Ku potong kalimat Sebastian yang menurutku membingungkan sekaligus membagongkan.
Oke, tadi sore dia bilang bahwa dia tau aku ini dari 'mimpi' jadi... Aku menggeleng sembari sedikit memukul kepalaku dengan tangan. Apasih?! Aku gak paham.
"Sabar. Dengerin saya dulu makanya," ujar Sebastian menarik pelan tanganku yang masih aktif memukul ringan kepala. Sebastian meletakan jarinya didepan bibir, ia menyuruhku diam yang langsung ku turuti saja.
"Saya calon tumbah pesugihan."
'HAHHHH?!!'
Tiba-tiba saja Sebastian mengganti arah bicara yang topik kali ini tidak kalah membuatku shik shak shok.
Legenda iblis melawan iblis saja aku masih belum mengerti, sekarang aku malah diulti dengan yang lain namun tentu saja aku masih setia mengantup mulut. Aku tidak ingin memotong.
'tumbal pesugihan?'
Kalau dipikir-pikir tidak aneh juga.. dulu aku pernah bilangkan bahwa keluarga Clop itu adalah orang kaya baru? Heum.. apa mereka bisa kaya karena pesugihan?
Aku sering mendengar tentang 'pesugihan' karena kampungku itu mistisnya kental sekali namun aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan berjumpa secara langsung dengan 'calon tumbal pesugihan'.
Berarti Sebastian tidak lama lagi akan mati? Aku menggeleng kuat.
Tidak.
Jangan sampai dan tidak akan kubiarkan.
...(( MissThor : dimana hilangnya sifat 'gak perdulian' Kaunnie. ))...
...(( komentator X : jamban ))...
"Sedari kecil saya dan orang tua saya tidak pernah merasakan apa itu hidup enak. Saudara saudari menjauhi kami, begitu pula dengan nenek dan kakek, mereka semua gak sudi membantu kami yang mungkin memang sudah ditakdirkan hidup susah."
Aku mengangguk-angguk sembari berdehem pelan menanggapi cerita Sebastian. Ternyata ada yang lebih melarat dari keluarga kecilku.
Oh iya, kenapa pria tinggi besar disebelahku ini tiba-tiba curhat? Tapi bagus sih.
"Kehidupan kami terus berjalan namun bukannya semakin hari semakin membaik malah yang terjadi adalah sebaliknya.
Semakin bertambahnya waktu semakin kami dicekik oleh keadaan. apalagi ketika saya harus mulai menempuh dunia pendidikan.
Kedua orang tua saya tidak punya uang untuk membelikan saya seragam, kalaupun mereka punya uang, sudah pasti mereka tetap tidak sudi membelikan saya. Jadi dulu saya sekolah hanya menggunakan baju lusuh saya seperti biasa. Saya selalu diejek oleh murid-murid lain, bahkan para guru pun juga turut menghina saya.. mereka bilang meskipun saya cukup pintar, saya tetap tidak pantas sekolah, mereka bilang saya tidak tahu malu karena masih punya keberanian untuk bermimpi bisa sekolah padahal keadaan keluarga kami saat itu jauh dari kata mampu.."
Kalimat Sebastian terhenti karena sepertinya ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokan pria tinggi besar itu. Dengan mata yang sedikit memerah, Sebastian menunduk sedikit untuk menatapku yang sedang menatapnya lamat dengan pandangan yang biasa saja.
Aku tidak akan memandangnya penuh kasihan karena aku tahu bagaimana rasanya.. dipandang seolah dirimu adalah manusia paling menyedihkan dan itu adalah next levelnya memalukan menurutku.
Toh, dari cerita Sebastian barusan sepertinya pria tinggi besar tersebut sudah terlalu muak dipandang begitu.
"Terimakasih." Ujaran Sebastian yang langsung membuat alisku terangkat satu.
Ee? Apanya? Aku melayangkan tatapan penuh tanya pada Sebastian yang dengan aneh tersenyum lalu melayangkan kalimat 'terimakasih' kan agak gajelas gituch.
Sebastian sekali lagi terkekeh, dengan mata yang berkaca-kaca ia menatapku dengan senyum yang teramat tulus. "Terimakasih." Ujarnya lagi.
"Iya, sama-sama." Balasku sedikit canggung. Yeah, walaupun aku tidak mengerti namun ya seng penting dibalas dulu makasih nya.
Sebastian lagi-lagi tersenyum sampai matanya melengkung membentuk bulan sabit.
Hidung mancung pria tinggi besar itu memerah, begitu juga dengan sekitaran bahwa matanya. Anehnya, walaupun wajah Sebastian itu terkesan menyeramkan namun tampan, saat menangis seperti sekarang kok cocok-cocok aja, ya? Padahal kan yang punya muka sangar kayak gitu kalau nangis seharusnya mukanya jadi agak aneh?
...(( komentator L : Zk juga sangar tapi kalau nangis kayak anak kucing tuh.. ))...
...(( komentator Z : ehehe.. ))...
Entahlah.
"Ah, sampai mana tadi? Malah terjebak dalam situasi huru huru begini ahahahaa~" Sebastian dengan canggung mengusap kasar kedua matanya yang berair.
Pria tinggi besar itu berdehem, lalu dengan wajah yang kembali datar ia mulai melanjutkan ceritanya lagi.
"Intinya keluarga kami memang gak pernah jauh-jauh dari kata susah, waktu saya mau lulus smp, saya pernah jadi tukang parkir dan temen saya yang sesama tukang parkir juga sering bilang ke saya bahwa mungkin keluarga saya itu kena kutukan saking buruknya kondisi keluarga kami saat itu.
Kehidupan kami terus terombang-ambing bak layangan putus. Kami kenyang hinaan, kami kenyang dihakimi, kami kenyang dengan perlakuan buruk orang-orang disekitar, sebegitu buruknya sampai-sampai kami seolah terbiasa."
Tok tok tokk..