NovelToon NovelToon
TERKUTUK! Rumah Tua Ini Simpan Rahasia Kematian Ibuku Yang Sebenarnya!

TERKUTUK! Rumah Tua Ini Simpan Rahasia Kematian Ibuku Yang Sebenarnya!

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Trauma masa lalu / Keluarga / Roh Supernatural / Romansa
Popularitas:37
Nilai: 5
Nama Author: Bangjoe

Setelah kematian ayahnya, Risa Adelia Putri (17) harus kembali ke rumah tua warisan mendiang ibunya yang kosong selama sepuluh tahun. Rumah itu menyimpan kenangan kelam: kematian misterius sang ibu yang tak pernah terungkap. Sejak tinggal di sana, Risa dihantui kejadian aneh dan bisikan gaib. Ia merasa arwah ibunya mencoba berkomunikasi, namun ingatannya tentang malam tragis itu sangat kabur. Dibantu Kevin Pratama, teman sekolahnya yang cerdas namun skeptis, Risa mulai menelusuri jejak masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Setiap petunjuk yang mereka temukan justru menyeret Risa pada konflik batin yang hebat dan bahaya yang tak terduga. Siapa sebenarnya dalang di balik semua misteri ini? Apakah Bibi Lastri, wali Risa yang tampak baik hati, menyimpan rahasia gelap? Bersiaplah untuk plot twist mencengangkan yang akan menguak kebenaran pahit di balik dinding-dinding usang rumah terkutuk ini, dan saksikan bagaimana Risa harus berjuang menghadapi trauma, dan Pengkhianatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 17: Jerat Sumur Tua

Kepanikan Kevin terdengar jelas, memecah kesunyian dingin sumur. Suaranya adalah jangkar, secercah harapan di tengah kegelapan yang pekat. Risa mendongak, menatap tali tambang tebal yang bergoyang-goyang di atasnya, menjuntai seperti urat nadi penyelamat. Kevin! Ia benar-benar datang. Air mata kelegaan membasahi pipinya, bercampur dengan kotoran dan keringat dingin. Namun, rasa sakit di kaki kanannya, pergelangan kakinya yang mungkin terkilir atau bahkan patah, mengalirkan nyeri yang menggerogoti. Kepalanya masih pening, sisa-sisa energi negatif dari hantu bermata merah itu seolah menempel di kulitnya, membuatnya merinding.

“Risa! Pegang talinya! CEPAT!” Suara Kevin bergetar, disusul erangan berat. Ia pasti sedang berusaha sekuat tenaga menahan tali itu agar tidak bergeser. Kevin selalu begitu. Selalu melindunginya. Tapi apakah ia punya kekuatan untuk berpegangan? Apakah ia bisa diselamatkan?

Bisikan ibunya kembali terngiang, “Jangan… Jangan ke sana…”

Tapi ia sudah di sini. Di dalam sumur ini. Dan ia tahu, rahasia kematian ibunya… tersembunyi di kedalaman gelap ini. Rasa sakit di kakinya, pusing di kepala, semua itu terasa remeh dibanding dorongan kuat untuk mengetahui. Ia mengulurkan tangannya yang gemetar, jari-jarinya yang kaku berusaha meraih tali yang kini terasa begitu jauh. Setiap sentimeter terasa seperti kilometer. Nafasnya tercekat, paru-parunya seperti kemasukan air dingin. Ia bisa merasakan air sumur merembes membasahi sebagian bajunya, dinginnya menusuk tulang.

Kevin terus memanggil namanya, lebih mendesak sekarang. “Risa! Ayolah! Sedikit lagi!”

Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Risa mencengkeram tali itu. Kulit tangannya langsung terasa perih bergesekan dengan serat kasar. Ia merasakan bahunya terentak saat Kevin mulai menariknya perlahan. Gerakannya sangat lambat, terasa begitu menyiksa. Rasa sakit di kakinya menjalar hingga ke pinggul, setiap tarikan memicu gelombang nyeri baru. Ia meringis, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat hingga terasa anyir di lidah. Demi ibunya. Demi kebenaran. Ia harus keluar dari sini.

Perlahan, demi perlahan, tubuh Risa terangkat. Air menetes dari bajunya yang basah. Pandangannya sesekali kabur, kepalanya berdenyut, tapi ia memaksakan diri untuk tetap membuka mata. Ia tidak bisa pingsan sekarang. Tidak boleh. Kevin pasti akan panik luar biasa.

“Bertahan, Risa! Sedikit lagi!” Suara Kevin semakin dekat, napasnya terdengar berat. “Aku melihatmu!”

Risa mengangkat kepalanya sedikit, menatap ke atas. Di tepian sumur yang gelap, siluet Kevin terlihat jelas, otot-otot lengannya menegang saat ia menarik tali dengan sekuat tenaga. Wajahnya merah padam, cemas. Sebuah sentuhan kehangatan menyelinap di antara rasa dingin dan sakit yang mencengkeram Risa. Kevin selalu ada untuknya. Entah bagaimana, ia selalu tahu kapan Risa membutuhkan bantuannya.

Akhirnya, setelah perjuangan yang terasa seperti selamanya, kepala Risa menyembul keluar dari bibir sumur. Mata Kevin melebar, lega sekaligus ngeri melihat keadaannya. Rambut Risa lepek, wajahnya pucat pasi, dan kakinya tergantung lemas, terlihat membengkak.

“Ya Tuhan, Risa!” Kevin buru-buru meraih pinggangnya, membantu Risa menarik tubuhnya sepenuhnya keluar dari sumur. Risa merasakan tanah kering di bawahnya, sebuah kelegaan yang luar biasa. Ia ambruk, terbatuk-batuk, paru-parunya terasa sesak. Aroma tanah basah dan lumut langsung memenuhi indra penciumannya, terasa begitu nyata setelah aroma busuk di dalam sumur.

Kevin langsung berlutut di sampingnya, melepaskan jaketnya dan melingkarkannya di bahu Risa yang gemetar. “Kamu… kamu nggak apa-apa? Kaki kamu kenapa?!” Tangannya dengan hati-hati memegang pergelangan kaki Risa yang membengkak, wajahnya pucat, bahkan tahi lalat kecil di bawah mata kirinya seolah terlihat lebih gelap.

Risa hanya bisa menggeleng lemah, mencoba mengatur napasnya. “Sakit… sakit banget, Kevin…” Air matanya kembali mengalir, kali ini bukan karena ketakutan, tapi karena rasa sakit yang nyata dan kelegaan yang membanjiri dirinya. “Aku… aku melihatnya…”

“Melihat apa? Siapa?” Kevin segera merangkul Risa, membantunya bersandar ke dinding sumur yang kini terasa tidak begitu mengancam. “Apa yang terjadi di bawah sana? Kenapa kamu bisa sampai masuk sumur? Aku… aku panik banget, Risa. Aku kira kamu…” Kevin tidak melanjutkan kalimatnya, tapi Risa tahu apa yang ada di pikirannya. Ia pasti mengira Risa sudah tiada.

“Hantu itu… dia ada di sana…” Risa berbisik, suaranya parau. Ia menunjuk ke arah sumur dengan tangan gemetar. “Mata merah… rambutnya panjang… dia… dia mencoba mencengkeramku…”

Kevin menoleh ke arah sumur, tatapannya menyapu kegelapan di dalamnya, lalu kembali ke Risa. Alisnya berkerut. “Hantu? Risa, apa yang kamu bicarakan? Kamu pingsan? Jatuh? Aku… aku menemukan kamu tergeletak di samping sumur, lalu kamu bergerak dan jatuh ke dalam. Untung aku langsung melihatnya. Aku lari sekuat tenaga dan untung ada tali ini di gudang… Risa, kamu harus tenang dulu.” Kevin mengatakannya dengan nada yang menenangkan, tapi Risa bisa melihat keraguan dan ketakutan di matanya.

“Aku nggak pingsan!” Risa membantah, sedikit lebih keras. “Aku… aku melihatnya. Dia ingin aku diam… dia nggak mau aku tahu… rahasia Ibu…”

“Rahasia ibumu?” Kevin menatapnya bingung. “Risa, kamu kedinginan. Kamu syok. Kita harus keluar dari sini. Aku harus bawa kamu ke klinik terdekat. Kaki kamu… itu parah.”

Risa menggeleng lagi, air matanya tak berhenti mengalir. “Nggak! Nggak bisa! Aku nggak mau pergi. Kevin… aku harus cari tahu. Aku melihatnya… di dasar sumur. Ada… ada sesuatu di sana. Ada… kotak kayu. Kotak itu… ada nama Ibu di sana. Dan… aku mendengar bisikan… suara Ibu…” Ia mencengkeram lengan Kevin, matanya memohon. “Dia bilang jangan ke sana… tapi aku harus. Aku harus tahu.”

Kevin menghela napas berat, menatap Risa dengan tatapan khawatir sekaligus lelah. Ia tahu berdebat dengan Risa dalam kondisi seperti ini tidak akan membuahkan hasil. Tekad Risa keras kepala, terutama jika itu menyangkut ibunya. Ia tahu Risa tidak berhalusinasi. Ia mungkin skeptis, tapi ia juga telah melihat dan mengalami cukup banyak keanehan di rumah ini untuk mengabaikan cerita Risa begitu saja. Apalagi melihat betapa pucatnya Risa dan kondisi kakinya.

“Oke, oke. Aku mengerti,” kata Kevin, mencoba setenang mungkin. “Tapi kita nggak bisa melakukan apapun kalau kamu begini. Kaki kamu harus diperiksa. Kalau kamu pingsan di sini, siapa yang mau menolong kita?” Ia menunjuk kakinya yang membengkak. “Kita nggak bisa turun lagi ke sana kalau kaki kamu sakit begini. Bahkan kalaupun bisa, kita butuh alat. Kita nggak bisa gegabah.”

Risa terdiam, napasnya masih terengah-engah. Apa yang dikatakan Kevin ada benarnya. Kaki ini… sangat menyiksa. Setiap gerakan kecil terasa seperti dihantam godam. Ia tidak bisa turun lagi ke sana. Tapi ia sudah sangat dekat. Begitu dekat dengan kebenaran yang ibunya coba sembunyikan.

“Kita harus kembali. Aku akan menggendongmu,” kata Kevin, tanpa menunggu jawaban. Ia mencoba berdiri, tapi tubuhnya sendiri tampak lelah setelah menarik Risa dari dasar sumur. “Tunggu sebentar. Aku harus ambil napas.” Kevin bersandar pada dinding sumur, memejamkan mata sebentar. Ia membuka mata lagi, menatap Risa dengan tatapan sendu. “Risa, lain kali… jangan nekat sendirian. Aku khawatir setengah mati.”

Risa merasakan pipinya memanas, bukan karena demam, tapi karena malu dan sedikit terharu. “Maaf, Kevin…”

“Bukan itu yang aku maksud,” potong Kevin. “Maksudku… beritahu aku. Kita hadapi bersama. Apa pun itu. Kan aku sudah janji?” Ia memberikan senyum tipis, mencoba meyakinkan. Senyumnya selalu berhasil menenangkan Risa, bahkan di tengah kekacauan ini. “Sekarang… kita harus pergi dari sini. Kamu kedinginan. Aku juga. Dan… aku nggak suka suasana di sini.” Kevin melirik ke arah sumur yang gelap, aura tegang masih terasa kuat di sana.

Dengan susah payah, Kevin memposisikan dirinya, berjongkok di depan Risa. “Naik ke punggungku.”

Risa ragu, “Tapi… kaki kamu juga pasti sakit. Aku berat, lho.”

“Nggak ada tapi-tapian,” Kevin bersikeras. “Kamu pikir aku akan membiarkan kamu jalan dengan kaki seperti itu? Jangan keras kepala.”

Risa akhirnya menyerah. Dengan bantuan Kevin, ia memaksakan diri naik ke punggungnya. Lengan Kevin melingkar erat di pahanya, sementara Risa melingkarkan lengannya di leher Kevin. Setiap gerakan kecil memicu nyeri di kakinya, tapi ia berusaha menahan diri agar tidak mengerang. Kevin berdiri perlahan, tubuhnya sedikit goyah, tapi ia berhasil menopang Risa.

“Pegangan yang kuat,” bisik Kevin, lalu mulai melangkah perlahan, menjauh dari sumur terkutuk itu. Setiap langkahnya terasa berat, tapi ia terus berjalan. Risa menyandarkan kepalanya di bahu Kevin, matanya terpejam, mencoba meresapi kehangatan punggung Kevin yang terasa begitu menenangkan. Aroma Kevin, campuran parfum maskulin dan sedikit bau tanah, memenuhi hidungnya. Untuk sejenak, ia merasa aman. Tapi bayangan hantu bermata merah itu, bisikan ibunya, dan kotak kayu di dasar sumur… semua itu berputar-putar di kepalanya, menuntut jawaban.

Mereka berjalan menembus semak-semak yang rimbun, melewati pepohonan tua yang menjulang tinggi, dan akhirnya sampai di halaman belakang rumah. Rumah tua itu tampak semakin suram di bawah cahaya rembulan yang samar. Jendela-jendela gelapnya seperti mata-mata kosong yang mengamati mereka. Kevin berjalan pelan, berhati-hati agar Risa tidak terguncang terlalu keras. Kaki Risa terasa semakin sakit, berdenyut-denyut. Ia mencengkeram bahu Kevin lebih erat.

Saat mereka hampir sampai di pintu belakang, sebuah lampu sorot tiba-tiba menyala, menyorot mereka dari arah rumah. Kevin dan Risa tersentak. Dan di ambang pintu belakang, berdiri sosok yang membuat jantung Risa mencelos.

Bibi Lastri. Wajahnya yang biasanya ramah kini terlihat kaget, matanya membelalak menatap mereka berdua, terutama pada kondisi Risa. Di tangannya, ia memegang sebatang linggis. Linggis yang berlumuran… darah.

“Kevin? Risa? Kalian… kalian dari mana? Ya Tuhan, Risa! Kaki kamu kenapa?!” Suara Bibi Lastri terdengar panik, tapi Risa menangkap nada lain di sana. Nada yang membuatnya merinding. Bukan kepanikan seorang wali yang khawatir, tapi lebih seperti… keterkejutan. Keterkejutan karena mereka masih hidup.

Dan darah di linggis itu… darah siapa?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!