Yun Sia, gadis yatim piatu di kota modern, hidup mandiri sebagai juru masak sekaligus penyanyi di sebuah kafe. Hidupnya keras, tapi ia selalu ceria, ceplas-ceplos, dan sedikit barbar. Namun suatu malam, kehidupannya berakhir konyol: ia terpeleset oleh kulit pisang di belakang dapur.
Alih-alih menuju akhirat, ia justru terbangun di dunia fantasi kuno—di tubuh seorang gadis muda yang bernama Yun Sia juga. Gadis itu adalah putri kedua Kekaisaran Long yang dibuang sejak bayi dan dianggap telah meninggal. Identitas agung itu tidak ia ketahui; ia hanya merasa dirinya rakyat biasa yang hidup sebatang kara.
Dalam perjalanan mencari makan, Yun Sia tanpa sengaja menolong seorang pemuda yang ternyata adalah Kaisar Muda dari Kekaisaran Wang, terkenal dingin, tak berperasaan, dan membenci sentuhan. Namun sikap barbar, jujur, dan polos Yun Sia justru membuat sang Kaisar jatuh cinta dan bertekad mengejar gadis yang bahkan tidak tahu siapa dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Paginya, Istana Lang berubah total. Kalau biasanya suasananya masih terasa tenang dan rapi, hari itu benar-benar ribut. Pelayan berlari ke sana ke mari, kain-kain digantung di sepanjang lorong, kotak-kotak kayu besar berdatangan tanpa henti, suara perintah tumpang tindih dari berbagai arah, dan semua orang tampak seperti semut kebingungan yang baru saja disiram air panas. Yun Sia berdiri di tengah kamarnya sambil memegang secangkir teh yang telah dingin, namun tak sempat disentuh sama sekali karena terlalu banyak yang terjadi di sekelilingnya, terlalu banyak suara, terlalu banyak orang, dan terlalu banyak keputusan yang harus dibuat dalam waktu bersamaan.
“Putri Mahkota! Ini warna kain yang dipilih Yang Mulia Wang?”
“Putri! Ukuran lengan baju ini benar?”
“Putri Mahkota, pelayan dari Kekaisaran Wang minta bertemu!”
“Putri—”
“STOP!” seru Yun sia pusing
Yun Sia mengangkat tangannya, membuat semua orang langsung membeku di tempat. Ia menghela napas panjang sebelum berbicara dengan suara lelah tapi masih terkendali.
“Pelan-pelan. Aku ini bukan tiga orang.”
Para pelayan saling pandang, lalu beberapa dari mereka terkekeh kecil tanpa bisa menahannya. Suasana yang tegang sedikit mencair ketika Ibu Suri Agung Wang masuk ke kamar dengan langkah santai, seolah-olah tidak ada perang logistik yang sedang terjadi di sekeliling. Ia duduk di kursi dekat jendela dan mengamati kekacauan itu dengan senyum tipis yang geli.
“Mereka lebih panik dari kamu.” ujar ibu suri Wang ibu dari A-Yang
Yun Sia melirik sekeliling kamar yang hampir tidak dikenali lagi karena penuh kain, peti, dan perhiasan. “Mereka memang kelihatan seperti yang mau menikah itu mereka, Bu… padahal yang menikah aku.”
Ibu Suri tertawa kecil sambil bersandar santai di kursinya. “Kamu tahu, dulu waktu aku menikah dengan Ayah dari Wang Tian, aku juga ingin kabur.”
Yun Sia langsung menoleh dengan mata membesar.“SERIOUS?”
“Serius,” jawab Ibu Suri mantap sambil mengangguk. “Waktu itu aku bersembunyi di gudang senjata.”
Yun Sia menatapnya penuh kagum. “Bu… aku mulai paham kenapa Ayang keras kepala,
Itu warisan keluarga,” jawabnya ringan.
Ibu suri tertawa pelan mengagumi calon menantunya yang apa adanya.
----
Beberapa pelayan dari Kekaisaran Wang mulai masuk membawa contoh kain, aksesori, dan kotak kayu berisi perhiasan. Salah satu kotak dibuka tepat di depan Yun Sia, membuat langkahnya refleks mendekat. Di dalamnya tersusun cincin, kalung, gelang, dan hiasan rambut yang semuanya berkilau mahal. Bukan sekadar mahal, tapi terlalu mahal. Yun Sia refleks menutup kotaknya lagi.
“Bu…”
“Ya?”
“Rasanya aku sedang mau menikah dengan satu kekaisaran, bukan satu orang.”
Ibu Suri tertawa pelan. “Sayangnya, menantu kaisar memang sepaket dengan kekaisaran, Nak.”
Sementara itu, di paviliun sisi timur, Kaisar Wang Tian atau ayang sedang duduk di mejanya, bukan membaca laporan negara atau membahas politik, melainkan menatap daftar panjang yang membuat kepalanya berdenyut. Mochen berdiri di dekatnya dengan ekspresi netral, sementara Liyan berdiri di belakang sambil memegang catatan. A-yang memijat pelipisnya pelan sambil menghela napas berat.
“Kenapa tirai untuk kamar permaisuri ada lima belas pilihan?” tanya ayang
“Karena lima belas pembuat kain terbaik mengirim contoh,” jawab Mochen datar.
“Kenapa semuanya harus ‘terbaik di dunia’?”tanya ayang lagi
“Karena Yang Mulia menikahi satu-satunya Putri Mahkota Lang yang baru ditemukan kembali setelah belasan tahun,” jawab Liyan tanpa berpikir panjang.
Mochen melirik Liyan sebelum menambahkan dengan nada datar, “…dan ibundanya tidak mau disebut pelit.”
A-yang menutup matanya.“Ini lebih sulit dari perang.”
Wang Lee masuk sambil membawa sekantung kacang.“Gege.”
“Apa.”
“Kalau kamu stres, makan.”Ia melempar satu kacang dan A-yang menangkapnya refleks.
“…Terima kasih.”
“Aku dengar jie jie Yun Sia mau bawa ayam.”
A-yang mengangguk.“Namanya Bumi.”
Wang Lee tampak serius.
“Gege… kamu menikah dengan wanita luar biasa dari legenda.”
-----
Sementara di sisi lain istana, Yun Sia sedang dipakaikan tiga lapis baju hanya untuk uji ukuran. Pelayan Lang dan Wang saling debat kecil soal potongan dan gaya, membuat Yun Sia berdiri diam seperti boneka pajangan sambil menatap langit-langit dan berdoa dalam hati agar proses ini segera selesai.
“Pinggangnya lebih cocok gaya Wang.”
“Tapi bahunya lebih cocok Lang.”
Permaisuri Lang akhirnya masuk.
“Cukup.”
Semua orang berhenti, dan Permaisuri hanya tersenyum melihat kondisi Yun Sia.
“Yang penting, dia masih bisa bernapas.”
Satu lapisan baju segera dibuka, dan Yun Sia menarik napas lega.“Hidup kembali.”
Sore harinya, Yun Sia meminta izin keluar sebentar, yang langsung membuat seluruh istana nyaris panik.
“PUTRI MAHKOTA MAU KELUAR?”
“Bersama siapa?!”
“Ke mana?!”
Pada akhirnya ia hanya membawa Liyan dan seekor ayam bernama Bumi yang dibungkus kain. Liyan berjalan kaku di sampingnya.
“Aku ini pengawal kaisar… bukan pengasuh ayam.”
“Tapi kamu satu-satunya yang tidak menjerit waktu aku angkat ayam ini,” jawab Yun Sia ringan.
Mereka menuju pasar, dan seperti biasa Yun Sia langsung jadi pusat perhatian. Orang-orang yang dahulu mengira sang putri telah mati kini melihatnya hidup, dan sebentar lagi akan menikah dengan kaisar besar. Ia tersenyum sopan pada setiap orang yang menyapanya dan berhenti di satu toko kue.
“Bungkus satu.”
“Untuk siapa, Putri?” tanya pedagang itu ramah.
Yun Sia menoleh ke ayam di dalam kain.
“Untuk calon permaisuri ayam.”
Pedagang itu membeku sesaat, dan Liyan menutup wajah dengan telapak tangannya.
Malamnya, rapat keluarga besar digelar, dihadiri oleh Kaisar Lang, Permaisuri, Kaisar Tua Wang, Ibu Suri Agung Wang, Wang Jia, Wang Lee, dan A-yang. Yun Sia duduk di samping A-yang dan berkata pelan namun tegas.
“Aku ingin pernikahan sederhana.”
Semua pasang mata tertuju padanya.
“Aku setuju,” ujar A-yang segera.
“Sederhana seberapa sederhana?” tanya Ibu Suri.
“Yang penting keluarga senang… dan aku bisa bernapas.”
Kaisar Lang tersenyum.
“Ayah mendukung.”
Kaisar Tua Wang Dan terkekeh pendek.
“Kau tahu, pernikahan dua kekaisaran tidak pernah sederhana. Tapi kita bisa membuatnya tidak menyiksa.”
permaisuri Lang akhirnya mengangguk.
“Baik… Kita buat megah secukupnya.”
A-yang menatap Yun Sia.
“Secukupnya versi ibumu itu… biasanya tetap luar biasa.”
Yun Sia hanya nyengir kecil.
Hari-hari berikutnya diisi dengan latihan berjalan anggun, duduk dengan benar, tersenyum sopan, menyapa pejabat, hingga berbicara sebagai permaisuri. Yun Sia hampir menyerah.
“Aku mau kembali ke hutan.”
“Sudah terlambat,” jawab Permaisuri sambil terkekeh.
Yun Sia duduk lesu di lantai saat Mochen lewat dan memberinya secangkir teh.
“Minum.”
“Terima kasih.”
“Yang Mulia juga hampir menyerah tadi pagi.”
Yun Sia langsung bangkit.
“DIA?”
“Ia tidak bisa menghafal tata cara sembah keluarga Wang.”
Yun Sia tertawa kecil.
“Bagus… ternyata kita sama.”
Malam sebelum keberangkatan, Yun Sia duduk di kamarnya melihat barang-barangnya yang telah dikemas. Ibu Suri Agung Wang datang dan duduk di sampingnya.
“Takut?”
“Dikit.”
“Normal,” jawabnya lembut. “Ayang itu anak yang sulit.”
“Ya.”
“Tapi satu hal… kalau dia mencintai, dia bertahan.”
Yun Sia mengangguk pelan.
“Aku akan coba bertahan juga.”
Di balkon seberang, A-yang berdiri sendiri saat Mochen menghampiri.
“Yang Mulia.”
“Apa.”
“Apakah Anda gugup?”
A-yang terdiam lama.
“Ya.”
“Lebih dari perang?”
Ia mengangguk.
“Berarti… Anda sungguh jatuh.”
A-yang tersenyum kecil.
Keesokan pagi, rombongan berangkat. Kereta megah bergerak perlahan, kuda berjalan berbaris, dan bendera dua kekaisaran berkibar berdampingan. Yun Sia melongok dari jendela sementara A-yang menunggang kuda di sampingnya. Mereka saling pandang tanpa berkata apa-apa, tapi senyum itu sudah cukup.
Perjalanan panjang itu diisi dengan singgah, istirahat, dan malam-malam yang dihabiskan bersama untuk berbincang tentang hal kecil, tentang masa depan, tentang ayam, tentang mimpi konyol, hingga tentang pakaian pernikahan.
“Kalau aku jatuh waktu berjalan?”
“Aku tangkap.”
“Kalau aku gugup?”
“Aku pegang tanganmu.”
“Kalau aku lupa tata krama?”
“Aku juga.”
Mereka tertawa.
Akhirnya, setelah menempuh perjalanan beberapa hari gerbang Kekaisaran Wang tampak di depan mata, megah, tinggi, dan terasa begitu besar. Yun Sia menelan ludah ketika A-yang turun dari kuda, membuka pintu kereta, dan mengulurkan tangan.
“Selamat datang… di rumah.”
Yun Sia menggenggam tangannya, jantungnya berdebar bukan karena istana, tapi karena pria di hadapannya. Dan di situlah persiapan pernikahan yang sebenarnya dimulai, bukan hanya tentang kain dan upacara, melainkan tentang menata dua kehidupan menjadi satu.
Bersambung