NovelToon NovelToon
Ketika Takdir Menemukan Langit

Ketika Takdir Menemukan Langit

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / CEO / Office Romance
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.

Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.

Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.

Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.

Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8 – Langit di Tengah Malam

Malam sudah lewat jauh dari batas wajar. Kota di luar jendela kaca penuh lantai itu tertidur dalam balutan lampu-lampu kuning yang redup, tapi ruang kerja di lantai atas Atmaja Group masih menyala samar. Hanya satu sumber cahaya di sana: layar laptop yang memancarkan warna biru pucat, membuat siluet furnitur minimalis tampak seperti bayangan panjang yang tidak ingin beranjak.

Meja kayu besar di depannya—rapi, tapi penuh—dipenuhi dokumen proyek, proposal bisnis  internasional, dan beberapa notes strategi yang ditulis dengan tulisan tangannya yang tegas. Di sisi kanan, secangkir kopi hitam yang sudah lama kehilangan panas duduk diam seperti saksi bisu betapa lamanya malam ini berlangsung.

Langit Mahendra Atmaja bersandar di kursi kulit hitamnya. Kursi itu mahal, ergonomis, dan seharusnya membuat tubuhnya nyaman, tapi malam ini punggungnya terasa tetap tegang. Bahunya berat. Napasnya pelan.

Ia menatap layar laptop yang menampilkan grafik digital—angka-angka yang biasanya memompa adrenalinnya, kini hanya bergerak tanpa makna. Baginya, semua itu seperti suara jauh: ada, tapi tidak benar-benar masuk ke kepala.

Pikirannya tidak lagi berada di ruangan itu. Tidak lagi pada presentasi besar yang besok pagi harus ia jalankan. Bukan pada proyek ekspansi yang sudah ia bangun selama berbulan-bulan.

Bahkan bukan pada angka-angka yang biasanya menjadi bahasa hidupnya.

Langit Mahendra Atmaja bukan sekadar pengusaha muda sukses yang wajahnya sering muncul di majalah bisnis. Ia adalah otak di balik Atmaja Group, perusahaan teknologi raksasa yang dalam sepuluh tahun terakhir tumbuh menjadi perusahaan IT terbesar di Indonesia—sebuah kerajaan digital yang berdiri di atas inovasi, disiplin, dan standar kerja nyaris sempurna.

Atmaja Group bergerak di dua pilar utama: hardware dan software—dua dunia yang biasanya berdiri sendiri, namun di tangannya mampu disatukan menjadi ekosistem teknologi yang kuat, saling menopang, dan terus berkembang.

Gedung utama Atmaja Group menjulang setinggi lima puluh lantai—struktur kaca dan baja yang berdiri anggun di pusat kota, sekaligus menjadi jantung dari seluruh inovasi teknologi perusahaan itu. Di dalam gedung inilah semua riset penting berlangsung: mulai dari pengembangan perangkat keras seperti server, prosesor custom, sistem keamanan fisik, hingga teknologi sensor yang kini digunakan di berbagai sektor pemerintahan dan industri, sampai ke divisi perangkat lunak yang menjadi rumah para insinyur terbaik negeri ini.

Setiap lantai memiliki dunianya sendiri.

Di satu lantai, tim hardware sibuk merancang motherboard dan modul sensor.

Di lantai lainnya, tim software membangun aplikasi berskala nasional, menguji sistem keamanan digital, dan menyempurnakan algoritma kompleks yang menjadi tulang punggung berbagai platform besar. Meski berbeda disiplin, kedua tim itu bekerja berdampingan, terintegrasi dalam satu ekosistem yang berjalan harmonis di bawah satu atap.

Atmaja Group bukan sekadar perusahaan—ia adalah simbol kemajuan teknologi Indonesia.

Merek yang setiap tahun meraih penghargaan inovasi, menjadi rujukan bagi perusahaan lain, dan sering disebut sebagai pelopor digitalisasi modern di tanah air.

Dan di puncak semua itu berdirilah Langit Mahendra Atmaja.

Seorang CEO yang sering dianggap “terlalu muda” untuk posisi sebesar itu, namun tidak pernah sekali pun mengecewakan ekspektasi. Langit dikenal dingin dan terukur—pria yang bisa memecahkan masalah besar hanya dengan beberapa kalimat singkat, pria yang dapat memimpin ratusan orang dengan satu tatapan percaya diri.

Dengan reputasi perfeksionisnya, para karyawan sering menyebutnya sebagai sosok yang “lebih paham sistem daripada manusia”. Karena bagi Langit, logika adalah fondasi. Data adalah bahasa. Keputusan adalah struktur.

Ia hidup dalam dunia yang bergerak cepat, penuh grafik, kode, rapat strategis, dan milestone bisnis yang tak pernah berhenti berjalan. Jam kerjanya tidak mengenal kata “pulang”. Malam-malamnya penuh dengan blueprint, presentasi, atau debugging sistem keamanan baru.

Namun, di balik semua pencapaian dan profesionalisme itu, ada satu hal yang jarang diketahui orang:

Dunia sebesar Atmaja Group… pada akhirnya hanya ditopang oleh satu pria yang jarang beristirahat. Pria yang terbiasa mengambil keputusan besar, tapi tidak terbiasa menerima gangguan kecil yang mampu mengacaukan ritme hidupnya.

Dan gangguan kecil itu datang dari tempat paling tidak terduga:

Sebuah voice note salah kirim. Dari perempuan yang bahkan tidak tahu siapa dirinya.

Suara lembut yang ia dengar semalam. Dari voice note singkat yang masuk tanpa nama, tanpa salam, tanpa maksud apa pun. Hanya sebuah pesan yang dikirimkan ke nomor yang bahkan tidak pernah ia bagikan secara sembarangan.

Voice note yang diawali tarikan napas gugup. Kalimat-kalimat kecil yang terdengar kikuk.

Nada hangat yang tidak dibuat-buat. Seakan perempuan di balik pesan itu tidak menyadari betapa tulusnya ia terdengar.

Sebuah suara yang masuk sebagai gangguan kecil… tapi entah kenapa meninggalkan gema yang belum pergi sampai detik ini.

Langit memejamkan mata sebentar, mencoba menepis ingatan itu, tapi suaranya kembali terputar jelas—lebih jernih dibanding grafik rumit di layar.

Ia mengangkat tangan dan menekan jembatan hidungnya, sebuah kebiasaan yang hanya muncul saat pikirannya kacau. Biasanya, ia bisa memutus fokus dan kembali bekerja dalam hitungan detik.

Tapi malam ini berbeda. Ada sesuatu dari suara itu, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Sesuatu yang… menarik perhatiannya tanpa permisi.

Langit membuka mata, menatap layar kosong di hadapannya lagi, tapi tatapannya kosong, jauh, seperti menembus permukaan digital dan meluncur ke tempat lain—tempat di mana suara itu pertama kali muncul.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, seorang Langit Mahendra Atmaja—CEO muda berumur 32 tahun yang dingin, metodis, selalu rasional—menyadari satu hal: Satu voice note random telah berhasil mengacaukan malamnya.

Langit mengambil ponselnya, menatap layar sebentar, lalu menekan ikon pesan suara. Butuh beberapa detik sebelum suara itu kembali mengalun—lembut, pelan, sedikit gemetar seperti seseorang yang sedang belajar memberanikan diri bicara pada dunia.

“Hmm… halo. Aku nggak tahu harus ngomong apa, tapi… ya… ini percobaan supaya nggak kayak chatting sama bot.”

Suara itu memenuhi ruang kerja yang sunyi, melapisi malam dengan lapisan hangat yang tak pernah ia antisipasi. Langit memejamkan mata perlahan. Kalimat sesederhana itu—kikuk, jujur, tanpa polesan—anehnya terus menempel di kepalanya sejak semalam.

Ia bukan pria yang percaya kebetulan, apalagi cerita-cerita klise tentang “takdir lewat salah nomor”. Dunianya dibangun dari data, keputusan objektif, dan strategi rapi yang selalu mengarah pada hasil. Tetapi malam ini, logika itu seperti tersingkir pelan.

Hanya karena satu suara asing. Ia memutar voice note itu sekali lagi. Lalu… sekali lagi.

Bukan untuk memastikan isinya. Ia sudah hafal.mTapi untuk memastikan dirinya sendiri—bahwa reaksi aneh ini bukan ilusi otak yang kelelahan.

Setiap nada kecil di suaranya terasa nyata. Setiap ketidaksempurnaan justru membuatnya… menarik.

Tangan kanan Langit mengetuk permukaan meja kayu pelan, ritmenya stabil—kebiasaan lamanya saat pikirannya bekerja keras. Ia mencoba kembali fokus pada grafik yang masih terbuka di layar laptop, namun tak satu pun angka benar-benar masuk.

Di saat itu, ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan baru masuk. Dari nomor yang sama. Nomor yang tidak ia simpan, tapi sudah ia hafalkan visualnya.

[Unknown Number]: Eh, by the way… gue baru sadar, kita kemarin ngobrol banyak, tapi bahkan belum tahu nama masing-masing.

Langit terdiam sejenak.

Ada sesuatu yang lucu, spontan, dan hidup dari pesan itu—sesuatu yang tidak hadir di dunia profesionalnya. Ia mendapati dirinya tersenyum kecil. Sebuah senyum tipis yang jarang muncul, bahkan untuk orang-orang terdekatnya.

Ia mengetik perlahan.

Langit: Mungkin itu bagian paling menariknya.

Ia menatap pesannya beberapa detik sebelum menekan kirim. Ada jeda ringan di dadanya—sejenis sensasi yang tidak sering ia rasakan. Setelahnya, ia meletakkan ponsel di meja, lalu menyandarkan tubuh kembali ke kursi kulitnya.

Namun pikirannya tetap tidak tenang.

“Nomor random,” gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri. “Tapi bisa bikin otak gue berisik kayak gini.”

Ia mengalihkan pandangan ke jendela besar di samping meja kerjanya. Dari lantai lima puluh, kota tampak seperti lautan cahaya—lampu kendaraan, gedung-gedung tinggi, dan bintang-bintang samar yang kalah terang.

Biasanya, kesunyian seperti ini memberi ketenangan padanya. nDunia digital di tangan, bisnis di kepala, dan malam yang stabil. Tapi malam ini terasa… lain.

Langit mengusap wajahnya, mendesah pendek sambil terkekeh halus.

“Aneh banget,” bisiknya. “Cuma salah kirim. Tapi suaranya kebayang terus.”

Selayaknya CEO yang rasional, ia tahu betapa mudahnya mencari tahu identitas perempuan itu. Satu panggilan ke tim IT Atmaja Group, satu perintah kecil untuk melacak metadata pesan—dan nama, foto, hingga lokasi pengirim bisa didapat dalam hitungan menit.

Tapi ia tidak melakukannya. Tidak malam ini.

Ada sesuatu yang membuatnya ingin membiarkan misteri itu tetap misteri. Membiarkan rasa penasaran tumbuh perlahan, seperti manusia normal. Sesuatu yang jarang ia izinkan dalam hidup yang selalu terukur.

“Kalau ini memang salah kirim kedua,” katanya pelan, senyum tipis kembali muncul, “berarti semesta memang lagi kerja lembur.”

Ia menutup laptopnya perlahan, menyalakan musik instrumental lembut dari speaker. Nada piano mengisi ruangan, mencampur dengan cahaya malam dari kaca jendela.

Langit menyandarkan kepala ke kursi, memejamkan mata sejenak.

Namun ketenangan tidak datang. Yang datang justru suara lembut itu lagi—sedikit gugup, sedikit canggung… tapi jujur. Dan entah kenapa… ia menyukainya.

Di meja, ponselnya bergetar dengan beberapa notifikasi dari grup kerja. Tapi yang menarik perhatiannya tetap satu kontak itu.

“Unknown Number.” Sederhana. Tanpa nama. Tanpa identitas.

Tapi di benaknya, perempuan itu mulai terasa tidak asing—seperti gema yang terus memanggilnya kembali. Dan Langit, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama…

tidak keberatan untuk mendengarnya lagi.

Malam di Bar Hotel Jenggala**

Lampu-lampu gantung di Bar Hotel Jenggala menjatuhkan kilau keemasan di sepanjang ruangan, memantul lembut pada dinding kaca yang menghadap langsung ke pemandangan kota malam. Di luar, lampu-lampu kendaraan merangkai garis cahaya yang bergerak seperti aliran sungai cahaya yang tak pernah tidur. Di dalam, atmosfernya hangat namun eksklusif—jenis tempat yang membuat waktu terasa melambat.

Musik jazz mengalun dari pojok ruangan, nada saksofon bercampur harmonis dengan denting gelas dan riuh rendah percakapan tamu yang menolak pulang meski jarum jam sudah mendekati pukul dua belas. Aroma alkohol premium, kayu manis, dan sedikit wangi citrus dari cocktail bar bercampur di udara, menciptakan suasana malam yang dewasa dan nyaman.

Bartender sibuk meracik minuman, lampu-lampu neon kecil di rak minuman memantulkan warna biru-ungu pada botol-botol kaca. Beberapa tamu duduk berpasangan, beberapa berbicara pelan di booth sofa empuk, sementara sisanya tertawa pelan sambil menunggu minuman kedua atau ketiga.

Langit melangkah masuk dengan aura tenang yang langsung menarik perhatian beberapa orang.

Kemeja hitamnya digulung hingga siku—separuh formal, separuh kelelahan yang berkelas. Dasi yang tadinya ia pakai sepanjang hari kini dilonggarkan, membiarkan lehernya sedikit bernapas. Wajahnya tampak lelah, tetapi tetap rapi dan memancarkan karisma dingin yang tidak pernah redup.

Ia menatap sekeliling ruangan sejenak, membiarkan matanya beradaptasi dengan cahaya hangat bar. Suara jazz, aroma minuman, dan suasana malam itu seolah menyapu sebagian beban hari yang baru saja ia lalui.

Dan seperti biasa—tanpa perlu bertanya—ia langsung menemukan dua sosok yang sudah menunggunya di sudut favorit mereka. Sebuah booth kulit hitam yang setengah tersembunyi di balik rak anggur, tempat yang sudah menjadi markas kecil mereka tiap kali dunia bisnis terasa terlalu berat untuk ditanggung sendirian.

Langit melangkah menuju mereka, mengusap tengkuknya sebentar, lalu membiarkan dirinya melebur dalam atmosfer malam yang hangat itu.

Di sudut booth kulit hitam yang tertutup separuh oleh rak anggur, dua sahabat lama Langit sudah menunggu. Cahaya bar yang keemasan memantul lembut di wajah mereka, memberi kesan seperti tiga karakter utama drama malam yang punya masalah terlalu dewasa untuk usia mereka.

Samudra Pranaja—atau Sam—dengan kemeja putih rapi dan blazer abu yang tampak lebih seperti seragam fashion editor dibanding outfit pertemuan bisnis, sedang menatap ponselnya dengan fokus penuh. Dari sudut matanya terlihat feed majalah fashion “VENTI”, majalah miliknya. Jarinya sesekali mengetuk layar, seperti sedang menilai outfit seseorang dan memberikan penilaian mental.

Di sisi lain, Angkasa Wiratama, sang pengacara kalem dengan aura berwibawa, duduk tegak sambil memutar gelas whiskey di tangannya. Setelan hitamnya kontras dengan lampu kuning bar, mempertegas kesan pria yang selalu terlihat siap sidang kapan saja. Tak ada yang menyangka pria dingin ini adalah pemilik The Wiratama Group, salah satu jaringan firma hukum terbesar di negeri ini.

Begitu Langit mendekat, Sam mengangkat wajahnya tanpa senyum.

“Luar biasa, Langit Mahendra akhirnya datang,” ujarnya datar. “Gue kira lo udah kawin diam-diam sama laptop.”

Langit menarik kursi, duduk santai dengan gerakan lelah namun berkelas. “Gue pikir kalian udah lupa rasanya kerja. Ternyata masih ingat cara ngajak nongkrong.”

Angkasa terkekeh pelan, suaranya rendah namun punya ketajaman khas pengacara.

“Ini bukan nongkrong, bro. Ini terapi jiwa buat tiga pria yang sukses finansial tapi gagal emosional.”

Sam menoleh cepat, menatapnya tajam. “Jangan lupa, dua dari tiga itu jomblo abadi.”

Lalu pandangannya bergerak ke Langit. “Dan yang satunya lagi, jomblo spiritual.”

Langit mengangkat alis sambil meneguk minumannya, wajahnya tenang-tenang saja. “Gue sih nggak masalah. Setidaknya gue nggak pernah ngerayu HRD kantor sendiri kayak lo, Sam.”

Sam mendengus keras. “Itu networking, bukan ngerayu. Jangan salah konteks.”

Angkasa menambahkan santai, “Network yang gagal terkoneksi, lebih tepatnya.”

Tawa kecil pecah di meja mereka—jenis tawa renyah yang hanya keluar di tempat seperti ini, ketika dunia luar sementara ditinggalkan di balik pintu bar.

Langit memutar gelasnya pelan, menatap cairan amber di dalamnya. Tanpa ia sadari, bibirnya terangkat membentuk senyum kecil yang jarang muncul.

Sam langsung mendeteksi itu. Mata Sam berbinar, penuh gosip premium. “Nah, Nah, Nah… lo liat nggak, Sa?” katanya menunjuk Langit pakai dagu. “Dia senyum sendiri. Ini bukan senyum orang normal.”

Angkasa mengamati lebih teliti, alisnya terangkat tipis. “Biasanya dia cuma senyum kayak gitu kalau baru dapet proyek triliunan.” Ia berhenti sebentar, lalu menambahkan dengan nada menggoda, “Atau… kalau baru kenalan sama cewek.”

Langit berpura-pura sibuk dengan gelasnya. “Kalian berdua drama banget.”

“Yang drama tuh lo,” balas Sam cepat. “Ngaku aja. Lagi deket sama siapa? Jangan bilang staf magang lo, karena itu udah kayak nungguin skandal meledak.”

Langit menahan tawa, tapi matanya bersinar geli. “Kalau gue bilang… gue lagi ngobrol sama orang yang bahkan nggak tau nama gue, percaya nggak?”

Sam spontan melirik Angkasa. “Dia ikut main dating app, bro.”

Langit menggeleng pelan. “Bukan. Ini… salah kirim. Nomor acak.”

Angkasa menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke kursi, jelas tertarik. “Salah kirim tapi bisa bikin lo senyum begitu? Menarik.”

Sam menghembuskan napas dramatis. “Lo tuh CEO, Langit… bukan remaja TikTok yang jatuh cinta gara-gara salah DM.”

Langit hanya tersenyum samar—senyum yang jarang sekali muncul. “Mungkin itu masalahnya. Gue udah lama banget nggak ngerasa hal-hal receh bisa bikin hari gue semenarik ini.”

Sejenak, meja itu hening. Hanya ada suara musik jazz, dentingan gelas, dan suasana malam bar yang melunak.

Angkasa yang pertama memecah keheningan, suaranya lembut namun dalam. “Kadang, hal kecil yang salah justru bikin kita ngerasa hidup lagi, Lang.”

Sam mendecak, menyesap minumannya. “Halah, dua jomblo sok filosof. Liat aja—jangan-jangan yang salah kirim itu cuma spam jualan skincare.”

Langit tertawa pelan. “Kalau iya pun… minimal kulit gue bakal glowing.”

Tawa mereka bertiga pecah lebih besar kali ini. Di tengah bar hotel yang elegan, di antara anggur mahal dan musik jazz yang meluruh lembut, tawa tiga pria mapan itu terdengar ringan—dan entah bagaimana… terasa menyedihkan sekaligus hangat.

Untuk malam itu, mereka bukan CEO, bukan pengacara, bukan fashion editor. Mereka hanya tiga lelaki dewasa yang, di balik segala kesempurnaan hidupnya, ternyata masih sama-sama tersesat dalam urusan hati.

**

Apartemen mewah milik Langit di lantai dua puluh lima menatap langsung ke arah lampu kota yang berkilau seperti lautan kecil. Hujan baru saja reda, menyisakan aroma aspal basah yang samar tercium dari jendela yang terbuka sedikit.

Langit melepaskan jam tangannya dan melempar dasi ke sofa dengan gerakan malas. Ia berjalan ke dapur, menuang segelas air putih, lalu menatap bayangannya di kaca dapur yang buram. Wajahnya tampak letih, tapi entah kenapa bibirnya tersungging sedikit—seolah ada hal kecil yang masih menggelitik pikirannya.

Ia mengambil ponselnya di saku celana, membuka kontak terakhir. Nomor itu. Nomor tanpa nama.

Satu digit berbeda dari apa pun yang harusnya penting. Tapi… anehnya, justru itu yang paling mengganggu malamnya.

Langit menyandarkan punggung ke dinding, menatap layar kosong. Suara perempuan itu terngiang lagi — lembut, ragu, agak grogi, tapi jujur.

“Hmm… halo. Aku nggak tahu harus ngomong apa, tapi ya… ini percobaan supaya nggak kayak chatting sama bot.”

Langit menutup mata sebentar, senyum kecil muncul tanpa izin. “Kalimat absurd, tapi kok enak didengar, ya…” gumamnya pelan.

Ponselnya ia putar di tangan. Satu bagian otaknya berkata untuk menghapus kontak itu — toh cuma salah kirim. Tapi bagian lain, yang jarang bicara, justru menolak diam.

Ada rasa ingin tahu yang aneh, yang bahkan dia sendiri nggak ngerti asalnya. Langit, pria yang terbiasa memutuskan hal besar dalam hitungan detik, kini malah bimbang gara-gara suara asing di tengah malam.

Ia menjatuhkan diri ke kasur, kepala menatap langit-langit putih. Di sebelahnya, ponsel bergetar pelan — notifikasi dari email kerja masuk. Tapi entah kenapa, matanya justru menatap ke pesan lama itu. Pesan pertama.

“Maaf! Salah kirim. Tolong pura-pura nggak kenal aku.”

Langit membaca ulang kalimat itu untuk kesekian kali. Sudut bibirnya terangkat, matanya setengah terpejam.

“Tenang, aku udah komitmen buat amnesia selektif,” ucapnya pelan, mengulang balasan yang pernah dia kirim.

Tapi kali ini, suaranya lebih lembut. Ada nada yang nggak dia sadari — hangat, tapi juga... rindu yang belum tahu asalnya.

Ia menarik napas panjang. “Gue beneran kenapa, sih?” Tangannya menutupi wajah, tapi tawa kecil lolos dari bibirnya.

Di luar, suara rintik hujan kembali turun pelan, seperti jadi musik latar dari pikirannya yang tak bisa tenang.

Langit membalikkan badan, ponsel masih di tangan. Ia mengetik pesan baru — tapi akhirnya dihapus lagi. Tangannya berhenti di atas layar, lalu ia hanya menatap nama kontak itu… atau lebih tepatnya, nomor tak bernama itu.

“Tidurlah, salah sambung,” gumamnya lirih. “Biar aku yang susah tidur malam ini.”

**

tbc

1
Bia_
ferdi lu bener bener ya,
Al_yaa
greget banget sama bab ini, gak sabar nunggu lanjutannya, updatenya bisa langsung 5 bab gak thor,penasaran bangettt
Al_yaa
cepatt cari orang bodoh itu papiiii
Al_yaa
cefatt rekrut diaa langitttt
KaosKaki
rasakno koe fer
KaosKaki
boleh gak berkata kasar buat di Ferdi /Panic//Panic/
Bubuuu
ceritanya bagus banget 👍👍😍😍
Al_yaa
yg buat virus perempuan, diremehin pulak tapi bikin satu gedung gonjang ganjing /Joyful/
aRa_
hebat banget embun, langsung ulti si Ferdi pake virus biar kicep
aRa_
bajigur banget si Ferdi /Panic/
aRa_
baru telponan aja udh deg degan ya embun
Al_yaa
ferdi, lo syibal banget yakk/Angry/
Al_yaa
pandangan pertama awal aku berjumpa /Hey//Hey/
Al_yaa
one step closer langit, berawal dari callan lama lama video callan dehhh
Bia_
akhirnya akhirnya /Scream/
Bia_
yaloh mereka udah Callan aja
KaosKaki
huuwwaaa akhirnya mereka ketemu tapi gak kenal /Sob//Sob//Sob/
KaosKaki
ada apa inih, kenapa bapaknya angkasa nongol. tor ada apa ini coba jelaskan
KaosKaki
bener bener dah ya, embun sama langit udah kaya anak abg banget /Facepalm/
Bia_
wow apakah akan ada plot twist Pemirsa 🤭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!