“Jika mencintaimu adalah dosa, biarkan aku berdosa selamanya.”
Sejak ayahnya menikah lagi, hidup Davina terikat aturan. Ia hanya boleh ke mana pun ditemani Kevin, abang tiri yang dingin, keras, dan nyaris tak tersentuh.
Delapan belas tahun bersama seharusnya membuat mereka terbiasa. Namun siapa sangka, diam-diam Davina justru jatuh pada cinta yang terlarang … cinta pada lelaki yang seharusnya ia panggil 'abang'.
Cinta itu ditolak keluarganya, dianggap aib, dan bahkan disangkal Kevin sendiri. Hingga satu demi satu rahasia terbongkar, memperlihatkan sisi Kevin yang selama ini tersembunyi.
Berani jatuh cinta meski semua orang menentang? Atau menyerah demi keluarga yang bisa menghancurkan mereka?
Sebuah kisah terlarang, penuh luka, godaan, dan cinta yang tak bisa dipadamkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Delapan
Angin sore berubah lebih dingin ketika Davina dan Kevin berdiri di pinggir jalan menunggu taksi. Lalu lintas depan rumah sakit masih ramai, suara klakson bercampur langkah kaki orang-orang yang keluar masuk gedung. Tapi semua itu terasa jauh bagi Davina. Kepalanya masih berputar.
Yang membuatnya takut bukan hanya diagnosis dokter tadi. Tapi tatapan Kevin. Tatapan yang serius, gelap, dan penuh perhitungan.
“Bang … aku masih nggak ngerti,” ucap Davina pelan sambil mencoba merapikan napasnya. “Kok bisa ada orang ngasih obat begitu ke aku.”
Kevin menoleh, menatapnya dalam. “Makanya, mulai sekarang kamu jangan sembarangan minum apa pun. Bahkan dari Mama.”
Davina tersentak. “Bang … masa Mama ....”
“Aku nggak bilang Mama,” potong Kevin cepat namun lembut. “Tapi kamu bilang tiap malam Mama selalu kasih kamu susu, kan? Mulai malam ini, kamu jangan minum apa pun kalau bukan kamu sendiri yang buat.”
Davina menunjukkan wajah bingung dan ketakutan yang bercampur jadi satu. “Tapi kalau Mama nanya?”
“Kamu bilang kamu lagi tidak enak badan. Bilang dokter bilang kamu nggak boleh minum apa pun dulu.”
Davina mengangguk, masih gelisah.
Taksi berhenti. Kevin membuka pintu, mempersilakan Davina masuk duluan. Di perjalanan pulang, Davina diam dengan tatapan tertunduk. Kevin sesekali menoleh, memastikan gadis itu baik-baik saja, meski ia sendiri sedang berperang dengan pikirannya.
Begitu taksi berhenti, Kevin turun duluan lalu menggandeng tangan Davina dengan hati-hati.
“Bang … kamu mau pergi lagi?” tanya Davina.
“Nggak,” jawab Kevin pelan. “Aku anter kamu masuk dulu.”
Davina mengangguk, meski hatinya makin gelisah. Begitu mereka masuk ke dalam, suara langkah seseorang terdengar dari arah ruang keluarga. Mama Kevin atau bagi Davina, mama tiri, muncul sambil mengusap tangan dengan handuk kecil. Ia berhenti begitu melihat mereka.
“Kevin?” suaranya terdengar terkejut. “Kamu … pulang?”
Kevin tidak menjawab segera. Ia berdiri tegak, menjaga Davina di belakangnya secara halus.
Mama menatap Davina, lalu Kevin, lalu Davina lagi. “Kalian pulang bareng? Kenapa?”
Davina menelan ludah, tapi Kevin mendahuluinya. “Aku cuma nganter Davi.”
Mama mendengus pelan. “Kamu pulang hanya untuk antar Davina? Kamu lupa apa kata Papa? Kamu datang ke sini tanpa izin ...."
“Mama.” Kevin mengangkat dagunya sedikit, tatapannya berubah lebih dingin. “Aku nggak mau bahas Papa sekarang.”
Mama mengangkat alis, tidak terima nada bicara putranya. “Kalau Papa tahu kamu pulang hanya karena Davina ....”
“Mama.” Suara Kevin lebih tegas kali ini. “Aku datang bukan untuk ribut. Aku hanya mau bilang satu hal.”
Mama menyilangkan tangan di dada. “Apa?”
Kevin menarik napas, memandang Mamanya tepat di mata. “Jangan pernah lagi melakukan sesuatu pada Davina.”
Davina membeku di belakangnya. Mama terbelalak, sebelum akhirnya tertawa kecil, tapi bukan tawa lucu. Itu tawa terkejut bercampur kesal.
“Kamu … mengancam Mama?” tanya Mama dengan nada tidak percaya.
Kevin menggeleng pelan. “Aku bukan mengancam. Aku mengingatkan.”
“Mengingatkan tentang apa, Kevin? Tentang apa?” Mama melangkah sedikit maju, matanya mengarah pada Davina. “Apa kamu lupa kalau dia cuma adik tiri kamu? Dia bukan siapa-siapa.”
“Mama,” Kevin menghela napas berat, nada suaranya berubah lebih gelap. “Aku tahu Mama melakukan sesuatu pada Davina.”
Davina terperanjat. “B-Bang …”
Kevin meraih tangan Davina sebentar, menandakan tetap di belakangnya. Mama memalingkan wajah cepat, seperti menahan sesuatu. “Kamu menuduh Mama? Kamu lebih membela Davina daripada Mama sendiri?”
“Aku bukan membela,” jawab Kevin pelan tapi tajam. “Aku melindungi Davi dari perbuatan jahat. Dari siapa pun.”
Mama membeku sejenak, lalu tatapannya berubah lebih tajam. “Perbuatan jahat? Kamu pikir Mama melakukan hal jahat pada dia? Hah? Anak itu bahkan ....”
“Mama.” Kevin memotong dengan tegas. “Aku mencintai Davina.”
Davina seketika mengangkat wajah. Napasnya tersengal. Ia tidak siap mendengar Kevin mengakui itu. Takut akan dipisahkan lebih jauh. Mama terpaku, wajahnya berubah pucat lalu merah karena marah.
“Kamu … kamu bilang apa?” suaranya gemetar. “Kamu mencintai dia?”
Kevin mengangguk. “Iya. Dan aku rasa Mama tahu itu dari dulu.”
Hening memenuhi ruangan. Hening yang seperti menarik oksigen keluar dari paru-paru Davina.
Mama akhirnya bicara dengan suara rendah tapi penuh ancaman. “Papa tidak akan pernah merestui hubungan kalian. Kamu tahu itu.”
“Aku tahu,” jawab Kevin tanpa ragu. “Tapi aku juga tahu satu hal.”
“Apa?”
“Aku akan dapatkan cintaku, bagaimana pun caranya.”
Mama mundur setengah langkah, terkejut dengan intensitas tatapan putranya.
Kevin melanjutkan, suaranya turun menjadi gumaman yang tegas. “Sekali pun nyawa taruhannya.”
Davina menutup mulut, matanya berair tanpa ia sadar.
Setelah mengatakan itu, Kevin memegang bahu Davina sebentar. “Aku mau ke atas. Aku mau pastikan kamu istirahat.”
Mereka naik ke lantai dua. Davina terus menunduk, hatinya berdebar kencang bukan hanya karena ketakutan, tapi karena kalimat Kevin tadi berdengung keras di kepalanya. Di kamar, Kevin menuntunnya duduk di tepi ranjang.
“Aku harus pergi sebelum Papa pulang,” kata Kevin pelan, melembut. “Tapi Davi … dengarkan aku baik-baik.”
Davina mendongak, menatapnya.
“Mulai sekarang kamu hati-hati. Jangan minum apa pun dari siapa pun. Kalau kamu butuh minum, kamu buat sendiri."
Davina mengangguk pelan. Kevin meraih wajah Davina dengan satu tangan, tapi hanya membelai pipinya sebentar, cukup untuk membuat Davina menahan napas.
“Aku nggak akan biarin kamu sendirian, ngerti?”
Davina mengangguk lagi, lebih cepat. “Bang … makasih.”
Kevin tersenyum kecil. Senyum yang terlihat sakit. “Kalo bisa aku bawa kamu pergi sekarang juga, aku bawa. Tapi ....”
“Papa?” tanya Davina.
Kevin mengangguk. “Aku nggak mau kamu makin susah gara-gara aku.”
Davina menggigit bibir. “Bang … kamu beneran ....”
Kevin mendekat, memeluk Davina erat. Gandengannya tegas, seolah ingin menenangkan gadis itu sekaligus meyakinkan dirinya sendiri kalau ia masih bisa melindunginya.
Davina tenggelam dalam pelukan itu. Tubuhnya gemetar halus, tapi ada rasa aman di sana. Rasa aman yang hanya Kevin bisa berikan.
Setelah beberapa detik, Kevin melepaskan pelukan itu dengan berat.
“Aku pergi, ya.”
Davina mengangguk, meski jelas ia tidak siap.
Kevin berjalan keluar kamar, membuka pintu, menoleh sekali lagi. “Davi.”
“Hm?”
“Aku serius. Jangan minum apa pun selain yang kamu buat sendiri.”
“Baik, Bang .…”
Kevin mengangguk pelan lalu turun ke lantai bawah. Davina mendengar langkahnya, lalu suara pintu dibuka. Ia berdiri, setengah ingin menahan Kevin, setengah takut.
Beberapa detik kemudian, terdengar suara mesin mobil berhenti tepat di depan rumah.
Davina mengerutkan kening. “Papa …?”
Ia buru-buru ke jendela dan mengintip. Mobil Papa berhenti. Pintu mobil terbuka. Papa turun.
Dan wajahnya langsung berubah terkejut begitu melihat Kevin berdiri di halaman, baru saja mau melangkah menuju pagar.
“Kevin?”
Suara Papa menggema tegas, keras, dan penuh tanda tanya tajam. Kevin berhenti. Tidak menoleh. Punggungnya tegang.
Davina menutup mulut, matanya melebar panik. Papa melangkah maju.
"Kevin ... apa yang kamu lakukan di sini?”
**
Selamat Pagi menjelang siang. Sambil menunggu novel ini update bisa mampir ke novel teman mama di bawah ini. Terima kasih.
TPI kyaknya saka cinta kmu dri pndgn prtama deh Devi....dn mau trima kmu apa adanya.....TPI... entah lah hanya emak yg tau....
ngapain juga kyk gitu ....kolot kuno egoisssss
ternyata papa davin dan ibu kevin pasangan yg cocok sbg ortu yg tdk bijak bersikap!!! anak yg jd korban