NovelToon NovelToon
Cinta Sendirian

Cinta Sendirian

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Misteri / Romansa Fantasi / Kehidupan alternatif / Romansa
Popularitas:178
Nilai: 5
Nama Author: Tara Yulina

Aira Nayara seorang putri tunggal dharma Aryasatya iya ditugaskan oleh ayahnya kembali ke tahun 2011 untuk mencari Siluman Bayangan—tanpa pernah tahu bahwa ibunya mati karena siluman yang sama. OPSIL, organisasi rahasia yang dipimpin ayahnya, punya satu aturan mutlak:

Manusia tidak boleh jatuh cinta pada siluman.

Aira berpikir itu mudah…
sampai ia bertemu Aksa Dirgantara, pria pendiam yang misterius, selalu muncul tepat ketika ia butuh pertolongan.

Aksa baik, tapi dingin.
Dekat, tapi selalu menjaga jarak, hanya hal hal tertentu yang membuat mereka dekat.


Aira jatuh cinta pelan-pelan.
Dan Aksa… merasakan hal yang sama, tapi memilih diam.
Karena ia tahu batasnya. Ia tahu siapa dirinya.

Siluman tidak boleh mencintai manusia.
Dan manusia tidak seharusnya mencintai siluman.

Namun hati tidak pernah tunduk pada aturan.

Ini kisah seseorang yang mencintai… sendirian,
dan seseorang yang mencintai… dalam diam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tara Yulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sakit Yang Tak Terucap

“Entah kenapa rasanya sakit sekali mendengar ucapan Aksa barusan,” gumam Aira, suaranya nyaris tak terdengar.

Sementara itu, Aksa yang berjalan menuju ruang musik tak bisa menahan pikirannya. Setibanya di sana, ia terdiam, menatap kosong ke arah piano. Bayangan wajah Aira muncul begitu jelas—terutama ekspresi sedih gadis itu setelah mendengar kata-kata terakhir darinya.

“Maafin gue, Aira…,” bisik Aksa pelan. “Gue ngomong kayak gitu supaya lo nggak punya perasaan apa pun ke gue. Karena gue… gue bukan manusia seutuhnya.”

Di kantin, Aira masih duduk di meja makan, mematung. Ia masih mencoba memahami semuanya. Kebahagiaan yang baru saja ia rasakan—senyum hangat, perhatian kecil dari Aksa—semuanya berubah menjadi luka dalam sekejap. Aira yang sempat percaya bahwa Aksa adalah sosok pangeran dari mimpinya, ternyata salah besar.

“Gue salah duga…,” ucap Aira dengan suara goyah. “Gue yang udah baper duluan. Gue yang terlalu berharap kalau lo itu pangeran yang muncul dalam mimpi gue, Aksa. Tapi ternyata bukan. Lo cuma bayang-bayang dari sosok itu… dan di kenyataan, lo bukan pangeran yang gue bayangin.”

Tanpa ia sadari, air matanya jatuh, mengalir begitu saja. Momen bahagia yang baru saja berlalu terasa sangat berarti baginya—dan justru karena itu, kata-kata Aksa terasa jauh lebih menyakitkan.

“Kebaikan dan perhatian gue hari ini cuma rasa kemanusiaan… bukan berarti kita berteman.”

Ucapan itu terngiang begitu jelas di kepala Aira, menusuk langsung ke jantungnya. Aira terdiam, tak mampu mengatakan apa pun lagi. Yang tersisa hanya rasa perih yang menghimpit dada.

Aira menarik napas panjang.

“Oke, Aira… lo harus semangat. Tujuan lo sekarang itu menjalankan misi dari Ayah buat nyari siluman bayangan. Bukan masalah hati. Lo pasti bisa selesaikan misi ini cepat, dan lo bisa balik ke dunia yang seharusnya jadi tempat lo. Bukan di tahun 2011 ini,” ujarnya pada diri sendiri.

Ia berusaha bangkit dari kursi kantin, meski hatinya masih terasa perih.

Baru beberapa langkah berjalan—

“Aghh—!”

Kakinya tersandung kaki kursi. Tubuhnya hampir jatuh, namun seseorang dengan cepat menangkapnya. Wajah mereka hanya berjarak beberapa centimeter.

“Ini bidadari dari mana sih…” batin seseorang itu.

“Hmm… lepasin gue,” gumam Aira yang malu.

“Oh, iya. Sorry,” jawabnya cepat. Ia melepas tubuh Aira perlahan, memastikan gadis itu tetap seimbang dan aman.

“Thanks ya udah nolongin gue,” ucap Aira.

“Sama-sama. Kenalin, gue Rayhan. Jurusan Sastra Jepang, semester 2.”

“Gue Aira. Sastra Indonesia, semester 2.”

Rayhan menatap wajah Aira cukup lama.

“Ada yang aneh ya dari muka gue?” tanya Aira heran.

“Bukan… gue cuma inget. Lo yang salah kelas dan masuk kelas gue jam pertama tadi, kan?” ujar Rayhan.

“Hm, iya. Jadi lo temen kelasnya Aksa ya?”

“Iya. Lo kenal deket sama Aksa?”

“Enggak,” jawab Aira singkat.

“Kenapa lo tau Aksa?”

“Ya… gue tau waktu dosen nyebut nama dia. Terus dia bilang gue aneh pas gue salah masuk kelas itu.”

“Oh.” Rayhan mengangguk kecil. “Syukur lah kalo lo nggak deket sama Aksa.”

“Lah, kenapa?”

“Nggak apa-apa. Aksa tuh paling beda dari cowok lain.”

“Maksudnya gimana?”

“Ya… dia nggak pernah deket sama cewek manapun. Dia dingin banget, padahal banyak cewek suka sama dia. Tapi karena sikapnya dingin, cewek-cewek jadi pada ngejauh,” jelas Rayhan.

“Oh… karena itu?”

“Iya, Ra.”

“Kirain ada yang lain.”

“Setau gue sih itu aja. Lo beneran aman, kan?”

“Iya, gue aman kok.”

“Gue anter lo pulang ya, boleh?”

“Gue bawa sepeda. Tapi makasih ya tawarannya.”

“Oke, hati-hati ya.”

Aira tersenyum—senyum kecil yang berusaha menutupi luka yang masih menganga di hatinya.

Aira berjalan pelan menyusuri lorong kantin, berusaha mengatur napas dan menenangkan hati yang masih terasa sakit. Namun baru beberapa langkah, dua sosok tiba-tiba menghadang di depannya.

Gina dan Rosa.

Aira terkejut, belum sempat berkata apa pun ketika Gina langsung menarik tangan Aira dengan kasar.

“Ikut gue,” ujar Gina, nadanya penuh kemarahan.

“Gue mau dibawa ke mana? Kalian siapa sih?” Aira berusaha melepaskan diri, tapi genggaman Gina sangat kuat.

“Diem,” bentak Gina pendek.

Gina dan Rosa menyeret Aira menuju sebuah gudang di dekat lorong kantin—tempat yang sepi dan jarang dilewati. Ketika sampai di depan pintu gudang, Gina mendorong tubuh Aira masuk dengan kasar.

Tubuh Aira yang lemas tak mampu menahan, ia terjatuh menabrak tumpukan kardus kosong yang berserakan di lantai.

“Agh…” rintih Aira pelan.

“Kalian siapa? Kenapa lakuin ini ke gue? Gue salah apa?” tanya Aira, suaranya bergetar.

Gina mendekat dengan langkah lambat, lalu meraih dagu Aira dan mencengkeramnya kuat hingga Aira menahan sakit.

“Jauhin Aksa,” ucap Gina tajam. “Jangan pernah coba-coba dekati dia lagi. Aksa itu milik gue. Paham lo?”

Aira menelan ludah, terdiam.

Rosa yang sejak tadi berdiri di dekat pintu menatap tasnya. Ia melihat botol minum milik Gina yang tergantung di sana. Rosa mengambilnya—air di dalamnya masih penuh.

“Gue punya ide,” katanya sambil berjalan mendekati Aira.

Sebelum Aira sempat mengerti, Rosa membuka tutup botol dan menumpahkan seluruh isinya ke kepala Aira. Air dingin mengalir dari rambut Aira, membasahi wajah, pakaian, hingga menggenangi lantai.

Aira menggigil, terkejut sekaligus takut.

“Heh, pinter juga ide lo,” ujar Gina sambil tertawa kecil.

“Yoi dong,” balas Rosa santai.

“itu botol minum gue?” tanya gina.

“yaps”

“keknya kurang basah deh, lo bawa botol minum juga ga?”

Rosa me ngecek isi tas nya, dan ternyata di tas Rosa juga ada botol minum.

“Ada ternyata… ini kopi gue lagi. Tapi gapapa deh, habis ke bajunya,” ujar Rosa sambil menyerahkan botol minum itu kepada Gina.

Gina pun membuka botol minum yang berisi kopi tersebut, lalu menumpahkannya ke baju Aira. Seketika, noda kopi terlihat jelas di baju putih yang Aira kenakan.

“ups ada noda nya.” ujar Rosa.

Gina membungkuk sedikit, menatap Aira dengan senyum mengejek.

“Inget ini, ya. Ini baru peringatan awal. Kalau lo masih coba-coba dekat sama Aksa… gue bisa bikin hidup lo menderita lebih dari ini.”

Gina melepas dagu Aira dengan kasar, membuat kepala Aira terhentak sedikit.

Rosa membuka pintu gudang.

“Yuk, cabut. Kasian Aksanya nanti ngeliat cewek basah kuyup begini.”

Keduanya tertawa sambil keluar, meninggalkan Aira sendirian di ruangan gelap dan dingin itu.

Aira terdiam, air menetes dari ujung rambutnya, matanya terasa panas bukan hanya karena air yang membasahi wajahnya—tapi karena rasa sakit dan ketakutan yang mulai menghimpit hati.

“Tuhan… kenapa semua ini terjadi sama aku? Aku takut…,” ucap Aira sambil menangis, suaranya bergetar. Bajunya sudah basah kuyup oleh air dari botol minum yang tadi ditumpahkan. Tubuhnya kedinginan.

“Ayah… Aira pengen pulang. Ayah, Aira takut…” gumamnya lirih.

Dengan susah payah, Aira berdiri. Rambutnya meneteskan air, bajunya menempel di kulitnya. Ia berjalan perlahan menuju pintu gudang, menunduk dalam-dalam untuk menyembunyikan kondisinya.

Begitu ia keluar melewati lorong sepi itu dan masuk ke lorong kampus yang ramai, suara-suara mahasiswa terdengar riuh. Semua mata sontak tertuju pada Aira—rambut basah, pakaian basah, wajah pucat.

Bisik-bisik mulai terdengar. Tatapan-tatapan heran, kasihan, dan penasaran tertuju kepadanya. Aira menggigit bibir, rasa malu menekan dadanya.

Dari arah lain, Aksa baru keluar dari ruang musik. Ia menoleh saat melihat keramaian kecil itu, dan matanya langsung membesar saat mengenali sosok itu.

“Itu… Aira? Kenapa pakaiannya basah dan kotor begitu?” ucap Aksa, terkejut.

Ia hendak melangkah menghampiri, namun seseorang bergerak terlebih dahulu.

Rayhan.

Ia langsung datang mendekati Aira dengan wajah panik.

“Aira! Lo kenapa bisa basah semua gini, Ra?”

Aira tidak menjawab. “Gue mau pulang,” katanya lirih, terus berjalan sambil menunduk, berusaha menjauh dari tatapan semua orang.

Rayhan tetap mengiringi langkahnya.

“Aira, Aira… lo kenapa? Cerita sama gue, gue bisa jadi temen lo.”

Aira tetap diam. Yang ia inginkan hanyalah keluar dari tempat itu secepat mungkin—jauh dari mata-mata yang terus menyorotinya.

Tiba-tiba Aira mempercepat langkahnya, kemudian berlari menuju area parkiran. Air mata yang sejak tadi ia tahan mulai mengalir lagi.

Rayhan tidak menyerah—ia ikut berlari mengejar Aira.

Sampai di parkiran, Rayhan berhasil menyusulnya.

“Aira… lo kenapa, Ra? Ada apa?”

Aira berhenti. Dadanya naik turun. Wajahnya kacau, rambutnya basah, bajunya menempel dingin di tubuh.

Dan akhirnya—

Aira tidak sanggup menahan semuanya lagi.

Ia langsung memeluk Rayhan, tubuhnya bergetar hebat. Tangisnya pecah di pelukan itu—semua rasa takut, malu, sakit, dan sedih meledak bersamaan.

Rayhan terkejut, tapi segera memegangi pundak Aira dengan hati-hati, membiarkan gadis itu menangis sepuasnya.

Tak jauh dari area parkiran, Aksa menyaksikan jelas pelukan antara Aira dan Rayhan.

Ada sesuatu di dadanya yang tiba-tiba terasa sakit—perasaan yang bahkan sulit ia jelaskan pada dirinya sendiri.

“Sadar, Aksa… sadar. Lo harus kubur semuanya,” gumamnya pelan. “Lo bukan manusia. Lo nggak bisa milikin dia.”

Aksa mengalihkan pandangan, lalu berjalan pergi dengan langkah yang kacau—seolah setiap langkah terasa berat dan tidak stabil.

1
Kama
Penuh emosi deh!
Elyn Bvz
Bener-bener bikin ketagihan.
Phone Oppo
Mantap!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!