NovelToon NovelToon
Cinta Yang Tak Seharusnya Ada

Cinta Yang Tak Seharusnya Ada

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Kembar / Pengganti / Balas Dendam / Cinta setelah menikah
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: SunFlower

Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

#7

Happy Reading...

.

.

.

Raka menatap foto Nayla dengan pandangan yang sulit diartikan. Seandainya Naira itu bukan saudara kembar dari almarhum istrinya, mungkin ia sudah membiarkan dirinya merasa simpati pada Naira. Mungkin ia sudah menganggap Naira sebagai seseorang yang harus dilindungi. Namun kenyataannya berbeda. Justru saat melihat kepedihan yang tersembunyi di balik tatapan Naira, Raka merasakan kepuasan kecil yang sulit ia bantah.

"Jadi hidupmu tidak seindah itu, Naira." batinnya. Ternyata ada luka yang tidak bisa kamu sembunyikan. Mungkin ini awal dari keadilan bagi Nayla.

Setelah percakapan mereka hari itu, keduanya tidak lagi berinteraksi. Tidak ada sapaan, tidak ada pertemuan lain di area proyek. Naira jarang muncul lagi, mungkin karena Arvino semakin ketat mengatur langkahnya. Sedangkan Raka sibuk menenggelamkan diri dalam pekerjaan, meski diam-diam ia menunggu kemungkinan untuk bertemu lagi. Bukan karena rindu, tetapi karena ia ingin melihat bagaimana hidup akan mempertemukan mereka selanjutnya.

Berbulan-bulan berlalu. Proyek pembangunan itu kini hampir selesai, hanya tersisa beberapa tahap akhir sebelum serah terima resmi dilakukan. Pada suatu sore, ketika langit memerah menjelang senja, Raka sedang memeriksa area lobby utama ketika suara langkah pelan terdengar dari belakangnya.

“Pak Raka,” panggil seseorang dengan hati-hati.

Raka menoleh dan mendapati Dimas berdiri bersama dua orang lain. Salah satunya adalah Arvino, dan di sampingnya… Naira.

Raka sempat terdiam beberapa detik sebelum kembali memasang ekspresi dingin seperti biasanya.

“Tuan Arvino, Nona Naira,” ucapnya formal.

Arvino tersenyum tipis. “Kami datang untuk meninjau progres. Pak Dimas bilang semuanya sudah hampir mencapai tahap final.” Ucap Arvino.

“Benar,” jawab Raka. “Jika Anda ingin melihat lebih rinci, saya bisa menjelaskan.”

“Baik, tunjukkan,” kata Arvino sambil melirik Naira sejenak. “Ikut, ya.”

Naira mengangguk pelan tanpa suara.

Mereka berjalan menyusuri koridor. Raka menjelaskan detail mengenai pencahayaan, lantai, dan konsep interior yang diminta Arvino. Sesekali Arvino mengajukan pertanyaan pendek.

“Di bagian ini, apakah Anda sudah menyesuaikan dengan desain yang saya minta bulan lalu?”

“Sudah, Tuan. Hanya ada satu penyesuaian kecil terkait material, tetapi tidak mengubah konsep utama. Sesuai dengan permintaan anda.” Jelas Raka.

“Bagus,” jawab Arvino dengan wajah yang terlihat puas dengan hasil pekerjaan Raka.

Selama itu, Naira hanya diam. Sesekali matanya tertuju pada detail bangunan, namun sebagian besar waktunya ia menunduk, seolah ada ketakutan disana, dan Raka menyadari itu.

Ketika rombongan berhenti di bagian ruang rapat, Arvino harus menerima telepon dan meminta izin untuk pergi sebentar yang otomatis membuatnya harus menjauh. Tanpa rencana, Raka dan Naira kembali berada dalam jarak yang dekat.

Naira memandang ruangan itu, lalu berbisik lirih, “Kalian benar-benar bekerja keras.”

“Sudah menjadi tanggung jawab saya,” jawab Raka singkat. Raka menoleh sedikit. “Saya melakukannya karena itu pekerjaan saya."

Naira tampak ingin mengatakan sesuatu, namun ia mengurungkan niatnya. Ia hanya menarik napas panjang.

"Apa terjadi sesuatu?" Tanya Raka.

Naira menganggukkan kepalanya. “Beberapa bulan ini… banyak hal terjadi,” katanya pelan.

Raka menatapnya tanpa ekspresi. “Saya harap semua baik-baik saja.”

Naira menggeleng lemah. “Tidak selalu.”

Raka merasakan desir dingin dalam dadanya. Bukan empati, tetapi penegasan bahwa dugaannya benar.

"Jalanmu tidak mulus, Naira. Dan mungkin itu bagian dari balasan yang layak untuk kamu." Batin Raka.

Namun bibirnya hanya mengucap pelan, “Apapun itu... Semoga kamu menemukan jalan keluarnya.”

Naira tersenyum samar. “Semoga...”

Percakapan itu terputus ketika Arvino kembali. “Kita lanjut,” katanya tegas.

Raka mengangguk dan berjalan maju, sementara Naira menunduk mengikuti langkah Arvino. Namun tatapan terakhirnya sempat bertemu dengan Raka, tatapan yang penuh sesuatu yang tidak bisa Naira baca.

.

.

.

Hari peresmian gedung baru milik Arvino akhirnya tiba. Setelah berbulan-bulan melalui proses pembangunan dan pengawasan ketat, seluruh ruangan kini berdiri megah sesuai rencana. Pagi itu, suasana sekitar gedung sudah dipenuhi undangan, para petinggi perusahaan serta beberapa rekan bisnis penting.

Raka tiba lebih awal. Ia memastikan semua detail terakhir sudah tertata sempurna sebelum acara dimulai. Saat berdiri di dekat pintu masuk utama, Arvino menghampirinya dengan senyum formal.

“Pak Raka, saya senang Anda bisa hadir,” ucap Arvino sambil menjabat tangannya.

“Terima kasih atas undangannya, Tuan Arvino,” balas Raka sopan.

“Acara baru mulai setengah jam lagi. Nikmati saja. Anda bagian penting dari gedung ini,” ujar Arvino.

Raka hanya mengangguk.

Namun ketenangannya berubah ketika sebuah mobil hitam berhenti di depan gedung. Dari dalam, turun dua orang yang wajahnya sangat ia kenal. Napas Raka tercekat. Kedua tangannya langsung mengepal erat tanpa ia sadari.

Itu adalah kedua orang tua kandung Nayla. Orang tua dari perempuan yang pernah menjadi istrinya. Orang-orang yang dulu menolak keberadaan Nayla, yang membiarkan Nayla pergi tanpa kembali, yang tidak pernah hadir bahkan saat Nayla meninggal.

Raka berdiri kaku. Amarahnya naik perlahan, seperti gelombang yang menekan dadanya.

“Mereka datang…” gumamnya lirih, hampir berbisik namun penuh kebencian.

Kedua orang tua Naira berjalan masuk dengan wajah bahagia. Senyum bangga tergambar jelas ketika mereka melihat gedung baru yang megah. Melihat itu, dada Raka semakin terhimpit.

Bagaimana mereka bisa tersenyum begitu lebar? Bagaimana bisa mereka terlihat sebahagia itu, padahal anak mereka, anak yang satu lagi pergi tanpa pernah mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari mereka berdua.

Tatapan Raka tidak pernah lepas dari gerakan mereka. Setiap langkah yang diambil pasangan itu, setiap kata yang mereka ucapkan pada orang lain hanya membuat Raka ingin memalingkan wajah bahkan berteriak.

Arvino akhirnya menghampiri kedua orang itu. “Papa, Mama,” sapa Arvino sopan. “Terima kasih sudah datang.”

Ibunda Naira tersenyum kecil. “Tentu. Ini momen penting bagimu.” Ucapnya dengan penuh rasa bangga.

Arvino balik menoleh, lalu memanggil, “Pak Raka, kemari sebentar.”

Raka menahan napas sebelum melangkah mendekat. Ia mencoba tetap terlihat profesional, tetapi dalam dirinya, amarah berkecamuk hebat.

Arvino memperkenalkan, “Ini adalah Bapak dan Ibu dari tunangan saya, Naira. Dan ini Pak Raka, arsitek yang memegang penuh pembangunan gedung ini.”

Kedua orang tua itu tersenyum hangat kepada Raka.

“Wah, pekerjaan Anda luar biasa.” kata Romi, papa Naira.

“Iya, hasilnya sangat indah,” timpal sang istri, Mila.

Namun Raka hanya menatap mereka. Tatapannya keras, penuh tekanan, seolah ia sedang menyimpan pertanyaan yang tidak pernah terjawab.

Ibunda Naira mengerutkan kening saat menyadari ada rasa tidak suka dari tatapan Raka kepada dirinya dan sang suami.

Akhirnya Raka berkata dengan nada datar yang nyaris dingin, “Terima kasih.” Tidak ada senyum. Tidak ada sikap ramah.

Arvino sempat melirik Raka, sedikit bingung. “Pak Raka… apakah Anda baik-baik saja?”

“Saya baik,” jawab Raka singkat.

Namun sikap tubuhnya, rahangnya yang mengeras, serta kedua tangannya yang terus mengepal menunjukkan kebalikannya.

Kedua orang tua Naira saling bertukar pandang, heran terhadap sikap aneh dari arsitek yang baru mereka kenal.

“Kalau begitu, kami akan melihat-lihat dulu,” ucap sang Ayah, sopan namun ada sedikit keraguan disana.

Mereka pergi perlahan, namun tatapan Raka terus mengikuti mereka hingga hilang di balik kerumunan tamu.

Arvino menatap Raka lagi. “Anda terlihat tegang. Apakah ada sesuatu yang mengganggu?”

Raka menarik napas panjang dan menatap lurus ke arah tempat kedua orang tua itu pergi. “Tidak ada.”

Arvino masih tampak curiga, tetapi tidak ingin memaksa. “Baiklah. Jika Anda butuh istirahat, silakan.”

Raka mengangguk, tetapi pikirannya masih penuh gejolak. Bagaimana mungkin mereka bisa hidup setenang itu? Bagaimana bisa mereka melangkah tanpa rasa bersalah sedikitpun? Ia memejamkan mata sejenak, menahan diri agar tidak meledak di tempat umum.

Dalam hati, ia berbisik lirih, Nayla… lihat mereka. Mereka hidup seolah kam memang tidak pernah ada. Tapi aku tidak akan melupakanmu. Aku tidak akan membiarkan dunia melupakanmu. aku akan membuat mereka kembali mengingat keberadaan kamu.

.

.

.

Jangan lupa tinggalkan jejak...

1
Tutuk Isnawati
kasihan jingga
Tutuk Isnawati
berarti dua2 emg krg perhatian dan kasih sayang ortu pa jgn2 mreka bkn ank kndung
Tutuk Isnawati
iya bwa pergi aja kyanya tunangan nya nai jg jahat
chochoball: padahal raka juga jahat lohhh
total 1 replies
Tutuk Isnawati
semangat thor.
Tutuk Isnawati
trus hamil ank siapa dong naira
chochoball: Hayoooo anak siapa?
total 1 replies
Tutuk Isnawati
semangat thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!