Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.
Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Lima tahun sudah berlalu sejak peristiwa itu, tapi hidup Nay terasa seperti terjebak dalam lingkaran rutinitas yang sama setiap hari. Pagi ini, Nay melangkah ke ruang kelas yayasan tempatnya mengajar Bahasa Indonesia untuk murid SMP dan SMA. Mata Nay mengikuti setiap gerakan anak-anak, suara mereka yang bersemangat dan tawa kecil yang sesekali terdengar, sedikit mengalihkan pikirannya dari bayang-bayang masa lalu. Pekerjaan ini, Nay akui, adalah pelarian yang kurang sempurna menenggelamkan ingatan yang tak ingin dia ingat. Namun ketika bel tanda istirahat berdering, Nay membuka ponsel, dan seketika layar itu menyorot sebuah notifikasi.
Jantung Nay serasa terhenti sesaat, lalu degupnya melambat, saat mata Nay menyapu pesan itu, menggerakkan segala emosi yang dia pikir sudah terkubur dalam-dalam.
Pesan dari Citra tiba-tiba muncul di layar ponselnya, membuat jantung Nay berdetak tak menentu. Nama itu sudah lama asing di pikirannya, tapi kini tiba-tiba muncul dengan foto yang mengacaukan segala harapan. Nay menekan layar, membuka pesan itu pelan. Di sana, Umar dan Citra tampak berdiri dekat, tersenyum lebar dalam sebuah selfie yang penuh kehangatan. Wajah mereka saling mendekat, seolah tak ada dunia lain selain mereka berdua.
Mata Nay tak mau berpaling, meneliti setiap detail foto latar, cahaya, dan ekspresi mereka, berharap menemukan jejak waktu, tapi semuanya seperti baru terjadi beberapa saat lalu. Jemarinya mendadak kaku saat menggenggam ponsel, dadanya terasa sesak.
"Kenapa Citra mengirim ini? Apa maksudnya?" pikir Nay bergemuruh tanpa henti, menyesakkan hingga sulit bernafas.
Nay duduk terdiam, dada berombak saat perasaan kacau mendadak menyerbu. Amarah, kecewa, atau mungkin kebingungan, Nay sendiri tak yakin mana yang paling kuat. Nama Umar terus berulang di kepala, seperti gema yang tak mau pergi. Kenapa masa lalu harus terus menghantui hari ini? Apakah dia terlalu percaya waktu bisa menyembuhkan semua luka?
Empat hari tanpa kabar dari Umar, suaminya, sejak dia bilang akan pergi ceramah di luar kota. Tapi foto itu… Foto yang tiba-tiba mengoyak hati Nay. Umar dan Citra di rumahnya, bukan di tempat yang seharusnya rumah mereka. Air mata Nay hampir jatuh, tapi dia paksa menahan.
Nay menggenggam perutnya yang membuncit, tempat anak keduanya nya tumbuh di dalam sana. “Apa aku hanya ilusinya saja?” gumam Nay pelan, suara bergetar karena sakit.
Anak pertama mereka, Nay dan Umar, gadis kecil berusia lima tahun, menatap wajahnya dengan mata penuh tanya setiap kali bertanya tentang ayahnya. Bibir mungilnya cemberut, harapnya seolah mengikat hati yang sudah retak ini semakin dalam. Usia kandungan Nay hampir delapan bulan sekarang, detik-detik menuju kelahiran terasa berat karena sepi yang mencekam di sekeliling Nay. Pesan singkat dari Citra tiba-tiba muncul di layar ponsel, menghantui pikiran Nay.
"Aku sudah menjadi istri Umar," tulisnya singkat. Kata-kata itu seperti pisau, menusuk dada sampai napas tercekat. Jadi, semua yang selama ini Nay rajut dengan Umar hanyalah dusta? Dia tak hanya membohongi Nay, tapi membangun kehidupan baru di belakang Nay?
Janji dan cinta yang mereka bagi, apakah cuma sebuah sandiwara baginya? Nay terjatuh ke sofa ruang tamu yang sunyi, mencoba meredam badai di pikiran nya. Suara napas Nay tertahan di tenggorokan saat air mata mulai menetes perlahan.
"Kenapa, Umar? Apa aku tak cukup? Apakah aku tak pantas jadi istrimu?" gumam Nay serak, menahan isak yang semakin menggulung dalam dada.
Nay memandangi bingkai foto keluarga yang tergeletak di atas meja. Wajah-wajah mereka tersenyum, penuh kebahagiaan. Tapi kini, senyum itu terasa hambar, seperti ilusi yang rapuh di balik debu waktu.
"Hari ini semuanya bohong," gumam Nay pelan, menelan ludah dengan susah payah.
Jari-jari wanita hamil itu mengepal di ujung meja kerja di ruang guru, napas mulai tersengal oleh rasa sakit yang menusuk dada.
"Mas Umar... selama ini dia membohongiku?"
Mata Nay mulai basah, tapi Nay menahan segala tetesan air itu, berusaha keras agar air mata tak tumpah.
Kenapa harus dia? Lelaki yang dia percaya tanpa sisa, yang dia cintai hingga jiwa, justru menikah dengan Citra, teman baik yang selama ini dijaga hati dan rahasia bersamanya.
Perasaan hancur ini seperti ribuan pisau mendarat tepat di hati Nay, membuat dunia di sekelilingnya runtuh perlahan.
Nay menarik napas dalam-dalam, tapi dadanya tetap terasa sesak, seperti ada yang menekan kuat.
“Apa aku nggak cukup buat dia?” gumam Nay pelan, kata-kata itu keluar seolah dia tanyakan pada udara yang sama tak bisa menjawab.
Bayangan kalau suaminya sudah menikah dengan Citra sejak pamit ke Semarang terus berputar di kepala. Lalu Dia? Hanya sosok yang tersisa di sudut hidupnya, atau cuma bayangan tanpa arti?
Tangan nya gemetar pelan, kepala wanita itu berat seolah ditindih beban yang tak kelihatan. Ada rasa meletup di dalam dada, marah, sedih, kecewa semua bercampur jadi satu tanpa tempat untuk diungkapkan.
“Setiap senyumnya itu bohong, kan? Pelukannya nggak pernah tulus, ya?” batin Nay penuh kepedihan.
Rasa sakit itu datang tiba-tiba, seperti ombak besar yang menghantam dan menariknya jauh ke dasar lautan, membuat Nay merasa kecil, terlupakan, dan tak berarti sama sekali.
Citra menatap Nay tanpa sepatah kata, lalu dengan santai menyodorkan alamat rumahnya tempat dia tinggal bersama Mas Umar, seolah itu tanda kepercayaan terbesar yang bisa dia berikan padanya. Jantung Nay berdegup tak karuan, bayangan kandungan delapan bulan yang sama-sama mereka bawa membuat dada wanita itu sesak.
Anak pertama Umar yang sudah begitu dekat hadir di dunia ini, tapi mengapa Citra bisa setenang itu saat membuka semuanya? Wajahnya datar, tanpa ada setitik rasa bersalah pun saat berkata,
“Aku sudah muak menyembunyikan ini darimu.” Nay hanya mampu menelan ludah, membayangkan apa yang sebenarnya berputar dalam pikirannya.
Kata-kata Citra terus berputar di kepala, mengguratkan rasa perih yang sulit Nay ungkapkan. Apakah benar ia muak terus-menerus menyembunyikan rahasia itu? Atau memang sengaja membuat Nay tahu, bahwa kini dirinya punya kuasa penuh sejak ada kehidupan lain dalam tubuhnya? Nay menelan ludah, dada sesak oleh campuran sakit dan marah yang merambat. Mata wanita itu kosong menatap langit-langit, sementara suara hatinya bergema pelan,
"Ya Tuhan... Mas Umar, kau tega sekali menyembunyikan ini bertahun-tahun dariku." Napas Nay tercekat, dan di dalam keheningan itu, Nay merasa sepi ditinggalkan oleh pria yang dia percaya selama ini.
Nay duduk terhuyung di pojok ruang guru, tangan gemetar menyeka air mata yang tak kunjung berhenti mengalir di pipinya. Perutnya yang sudah membesar menekan dadanya, seolah ikut merasakan sakit yang menggerogoti hatinya.
“Cinta macam apa ini?” gumamnya lirih, napasnya tercekat.
“Kenapa harus Citra? Kenapa harus aku hancur seperti ini?”
Matanya membelalak, bayangan Mas Umar dan Citra yang kini menjadi istri keduanya terus menghantui pikirannya. Sementara hatinya terasa terkoyak tanpa arah. Tiba-tiba Lukita datang, langkahnya cepat namun suara lirih penuh kekhawatiran.
“Nay, kamu kenapa?” tanyanya sambil duduk di samping, tangan hangatnya berusaha merangkul. Tapi Nay hanya memalingkan wajahnya, berusaha menahan duka yang semakin membuncah.
“Dia bilang demi kesetaraan... tapi apa itu keadilan untukku?” Nay bergumam pelan, suaranya pecah oleh tangis yang menyesakkan dada.
Lukita mendekat pelan, matanya penuh perhatian menatapku yang tampak lunglai.
"Nay, ada apa? Kamu kelihatan enggak enak badan," suaranya lembut, tapi ada kekhawatiran yang mengintip di balik kata-katanya. Nay menelan ludah, dada sesak, berjuang menahan gemetar saat akhirnya membuka mulut.
"Lukita," ucap Nay dengan suara serak, mencoba menyembunyikan gundah di dalam hati.
"Aku... tiba-tiba merasa kurang sehat."
Nay tahu dia menunggu lebih dari sekadar kata-kata itu, tapi berat sekali mengungkapkan apa yang benar-benar Nay rasakan. Matanya menajam, menelusuri setiap ekspresi wajah Nay, lalu dia menarik napas panjang, seolah merasakan beban yang sama.
"Kalau begitu, aku akan mengantarmu pulang ke rumah,” katanya tegas, nada suaranya kokoh seperti jangkar yang menambatkan harapan. Nay hanya mengangguk pelan, sesak rasa menekan dada. Rasanya dia tak mampu menolak atau mungkin hanya takut mengungkapkan sepi yang lama dia sembunyikan. Dalam hati, pertanyaan mengganjal: apakah aku terlalu egois memendam semuanya sendirian? Ataukah Nay cuma takut terlihat rapuh, bahkan di hadapan Lukita, sahabat yang selama ini dia pikir paling mengerti?
Namun kini, yang ingin Nay lakukan hanya menjauh, meninggalkan ruang ini yang menyesakkan setiap helaan napasnya.
Setelah sampai di kamar, tangannya bergetar saat dia genggam ponsel. Perlahan, Nay membuka pesan baru dan mulai mengetik. Hatinya berdetak tak karuan, setiap huruf terasa berat.
“Mas, aku butuh penjelasan mu,” tulis Nay singkat, suara Nay nyaris hilang dalam diam. Nay harus tahu… Benarkah dia telah dipoligami tanpa seizinnya? Mengapa semuanya terjadi tanpa kabar dari Nay? Dan jika memang begitu, bagaimana Nay bisa menghadapi pengkhianatan yang mengiris hati ini? Apakah setelah ini, Nay dibebaskan menentukan pilihan, bertahan dengan Umar dalam pernikahan nya atau bercerai dengan suaminya?
Dada Nay tiba-tiba sesak, seperti ada ribuan pertanyaan yang memeluk erat di dalam dada. Tangan Nay mengepal tanpa sadar, napasnya bergetar. Kenapa dia memilih jalan ini tanpa sedikit pun bilang padanya? Hatinya ternyata tak pernah terbuka untuk Nay.
Nay menatap kosong ke depan, berharap ada jawaban sebuah pengakuan yang jujur, walau nanti malah menghancurkan. Rasa cemas merayap masuk, menusuk tiap sudut pikiran.
"Apa aku memang tak cukup buat dia?" gumam Nay lirih, suaranya pecah. Mata Nay panas.
"Tuhan, aku tak sanggup lagi hidup dalam kabut ketidakpastian ini. Apa aku harus mempersiapkan diri menghadapi kenyataan yang lebih pahit dari segala bayanganku?"