NovelToon NovelToon
SHIRAYUKI SAKURA

SHIRAYUKI SAKURA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Fantasi Isekai / Fantasi / Anime / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Reinkarnasi
Popularitas:299
Nilai: 5
Nama Author: IΠD

Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KINGSGUARDS : IKAEDA' YOUNG PRINCE

Di antara jajaran Kingsguards, nama Ikaeda Indra terselip dalam bisikan yang bercampur antara ketakutan dan penghinaan. Ia dikenal dengan julukan mengerikan: "Death Prince," sebuah gelar yang tak disematkan karena garis keturunan, melainkan karena sifat masokis dan kebrutalannya yang tak terduga dalam pertempuran.

Masa lalu Ikaeda adalah sebuah buku yang halamannya robek dan berlumuran darah. Di medan laga, ia adalah seorang aktor ulung. Ia sering tampil lemah dan pesimis, meremehkan dirinya sendiri dan menyerap setiap pukulan, membiarkan lawannya terbuai dalam rasa superioritas palsu. Kelemahan yang dipalsukan ini adalah umpan-sebuah ironi mematikan-sebab di saat yang paling krusial, kekuatan aslinya yang dahsyat akan meledak, menghancurkan musuh-musuhnya tanpa ampun, menyisakan kekosongan dan penyesalan.

Namun, kini, Ikaeda yang lama telah mati, atau setidaknya tertidur lelap. Kekuatan sejatinya jarang ia keluarkan, digantikan oleh sikap malas dan enggan bertarung. Perubahan ini berakar dari sebuah pengalaman traumatis di benua seberang, saat ia mengikuti turnamen gladiator. Dalam panasnya ambisi yang tak terkendali, ia hampir saja memenggal kepala lawannya. Beruntung, pedang di arena gladiator dilindungi oleh sihir penjinak, yang membuat senjata menjadi tumpul, dan lawannya hanya mendapat benjol besar. Insiden itu menjadi titik balik, sebuah sumpah diam untuk lebih berhati-hati dan tidak lagi melukai lawannya secara serius.

Di luar hiruk pikuk pertempuran, Ikaeda menjalani eksistensi yang sepi. Ia sering diabaikan dan dianggap remeh oleh rekan-rekannya di sekitar. Mereka hanya melihat kulit luar yang remeh, sikap merendah yang mereka salah artikan sebagai kelemahan sejati. Tak seorang pun-kecuali segelintir-yang memahami kompleksitas jiwanya, bahwa di balik sikap apatisnya, tersembunyi kekuatan dan tekad yang luar biasa.

Dalam hidup Ikaeda, dua figur mengisi ruang kosong: Evelia, ibu angkatnya, dan Araya Yuki Yamada.

Evelia adalah jangkar bagi Ikaeda. Ia sangat menyayangi putranya, meski ekspresinya sering kali berupa sikap dingin dan tegas. Kasih sayang Evelia adalah satu-satunya benteng pertahanan Ikaeda dari dunia yang menghakiminya.

Sementara itu, Araya Yuki Yamada memiliki ikatan yang lebih mendalam dari sekadar teman. Araya, seorang dengan kemampuan langka membaca pikiran, menyimpan sebuah rahasia besar: ia memandang Ikaeda sebagai putranya sendiri. Sayangnya, Ikaeda tidak menyadari kebenaran ini. Ia hanya menganggap Araya sebagai sahabat baik dari ibu angkatnya, Evelia.

Perasaan keibuan yang terpendam ini mendorong Araya untuk memanjakan Ikaeda secara berlebihan. Perhatian yang melimpah ini kadang membuat Ikaeda merasa tidak nyaman, menciptakan lapisan kebingungan atas tingkah laku Araya. Namun, terlepas dari ketidaknyamanan itu, benang rasa saling menghormati dan menghargai terjalin kuat di antara mereka. Ikaeda mungkin belum sepenuhnya menyadari alasan di balik perhatian Araya yang membingungkan, tetapi ia membalasnya dengan rasa hormat yang tulus.

Di tengah dua sosok yang menyayanginya dan bayangan masa lalu yang kelam, Ikaeda Indra, Sang "Death Prince" yang terkesan malas, terus berjuang menjalani kehidupannya, menjaga agar kekuatan dahsyat di dalam dirinya tetap terkunci, demi sebuah ketenangan yang tak pernah ia temukan saat ambisi berkuasa.

Di tengah padang rumput yang luas, di mana para prajurit Kingsguards berlatih dan bercanda, Ikaeda Indra duduk menyendiri, jubah hitamnya kontras dengan hijaunya padang. Ia mengamati gerombolan yang sibuk dari jauh, sebilah pedang tergeletak di sampingnya, matanya memancarkan keengganan yang mendalam. Tiba-tiba, sebuah suara tegas nan akrab memecah lamunannya. "Ikaeda! Cepat kemari!" Itu adalah suara Ayunda, salah satu pelatih senior yang terkenal akan ketegasannya. Ikaeda menghela napas panjang, bangkit dengan malas, dan melangkah gontai menuju sosok yang memanggilnya, siap menerima omelan atau tugas berat lainnya.

Sesampainya di dekat Ayunda, ia mendapati pelatih itu berdiri di samping sebuah peta gulungan yang terhampar di atas peti kayu. Ayunda tidak membuang waktu. "Dengar baik-baik. Kau akan menjalankan misi khusus ke perbatasan timur. Ini bukan latihan individu. Kau akan pergi bersama beberapa prajurit dari kelompok lain," ujarnya sambil menunjuk beberapa titik di peta dengan ujung jarinya. Mendengar kata 'bersama', ekspresi Ikaeda langsung meredup. "M-misi kelompok, Pelatih? Tapi, saya... saya tidak pandai berbaur. Saya hanya akan terkesan kaku dan merusak formasi mereka. Bukankah lebih baik saya pergi sendiri?" ia menyuarakan keraguannya, nada pesimisnya langsung muncul.

Ayunda melipat tangan di dada, senyum tipis terukir di wajahnya. Ia tahu betul reputasi Ikaeda dan alasan di balik keengganannya. "Aku tahu, Pangeran Kematian. Tapi kali ini berbeda. Kau tidak akan selalu bisa menyendiri. Misi ini membutuhkan kemampuanmu untuk membuat keputusan cepat, dan prajurit yang akan mendampingimu sudah terpilih dengan hati-hati. Mereka butuh kemampuanmu, dan kau perlu belajar mempercayai mereka," jelas Ayunda, matanya menatap tajam ke mata Ikaeda. "Lagipula, aku tidak memintamu menjadi juru bicara mereka. Cukup lakukan bagianmu dan jaga punggung mereka. Aku yakin kau pasti bisa."

Kata-kata Ayunda, yang penuh keyakinan alih-alih teguran, sedikit melunakkan sikap Ikaeda. Ia tahu menolak perintah bukanlah pilihan, dan dalam hati, ia merindukan tantangan, meski takut akan konsekuensinya. "Baik, Pelatih Ayunda. Saya akan menerima misi ini," jawab Ikaeda, meski masih ada ganjalan dalam suaranya. Ayunda mengangguk puas. "Bagus. Sekarang, pergi temui rekan-rekan barumu di tenda logistik. Mereka menunggumu." Ikaeda berbalik, meninggalkan padang rumput, memanggul jubah hitam dan kecemasan barunya, bertanya-tanya seperti apa rupa prajurit yang harus ia pimpin... atau ia ikuti.

Ikaeda melangkah gontai menuju tenda logistik, bayangan akan canggungnya interaksi kelompok sudah membayang di benaknya. Begitu ia mencapai tenda, matanya menangkap siluet yang asing: seorang wanita dengan penampilan tangguh dan mata ungu yang tajam, mengenakan pakaian pemanah yang praktis dan jubah lusuh. Itu pasti salah satu rekan setimnya, pikir Ikaeda. Ia hendak menepi dan menunggu di sudut, kebiasaan lamanya untuk menghindari pusat perhatian, namun pandangannya beralih ke sosok lain. Matanya melebar sedikit, rasa malasnya seketika tergantikan oleh sedikit kejutan. Berdiri di sana, dengan jubah Kingsguards yang sedikit longgar dan senyum lebar yang khas, adalah Imo Fargan.

"Imo? Apa yang kau lakukan di sini?" seru Ikaeda, nada pesimisnya menghilang sebentar, digantikan kehangatan seorang sahabat lama. Imo Fargan, seorang petualang yang dikenal humoris dan terampil, tertawa renyah. "Yah, 'Pangeran Kematian', sepertinya takdir ingin kita reuni, dan di bawah panji Kingsguards pula! Tentu saja aku di sini untuk memastikan kau tidak tertidur saat bertarung," balas Imo, memberikan pukulan ringan yang jahil di bahu Ikaeda. "Aku dengar ini misi besar. Senang melihat wajah murammu lagi!"

Saat kedua sahabat itu sibuk bertukar sapa, Ayunda muncul, membawa gulungan dokumen. Ia berdeham keras, menarik perhatian ketiganya. "Baiklah, para prajurit. Mari kita resmikan ini." Ayunda menunjuk wanita pemanah itu. "Ini adalah Ariel. Meskipun ia tidak terikat langsung dengan struktur militer, ia adalah salah satu pengawal alam terbaik yang kita miliki. Kemampuannya tak perlu dipertanyakan. Ariel, ini Ikaeda dan Imo Fargan. Mereka adalah prajurit Kingsguards."

Ariel membungkuk sedikit dengan kaku, mengamati Ikaeda dan Imo dengan tatapan datar. "Senang bertemu kalian. Aku dengar kalian berdua cukup merepotkan," katanya dengan nada serius yang membuat Imo langsung protes. "Hei! Aku hanya merepotkan Ikaeda! Aku ini pelindung perbatasan yang ulung, Nona Ariel." Ariel hanya mengangkat alis, lalu menatap Ikaeda. "Jujur saja, kau terlihat seperti anak kecil yang merajuk. Apa kau yakin bisa memimpin?" ucap Ariel blak-blakan, menunjukkan sifat terus terang yang mengabaikan gelar. Ikaeda, yang sudah terbiasa diremehkan, hanya mengangkat bahu.

Ayunda, mengabaikan ketegangan kecil itu, langsung membuat keputusan yang mengejutkan. "Meskipun Ariel secara usia yang tertua, aku akan menunjuk Ikaeda sebagai ketua tim untuk misi ini," umum Ayunda, menatap Ikaeda. Ikaeda tersentak. "Tunggu, Pelatih! Aku?" protesnya, wajahnya menunjukkan keterkejutan yang tulus. Imo tertawa terbahak-bahak, sementara Ariel hanya mendengus. "Ya. Kelemahanmu yang pura-pura akan membuat musuh lengah, dan kami butuh kepalamu yang dingin. Selain itu, Imo Fargan ada di sini. Tugas utamamu adalah memimpin pengambilan keputusan, tugas Imo adalah memastikan kau tidak mati, dan tugas Ariel adalah memastikan kalian berdua tidak tersesat."

"Jadi aku harus menjaga si 'Death Prince' dan si bodoh ini?" tanya Ariel dengan nada jengkel, menggelengkan kepalanya. "Sungguh, aku merasa seperti ditugaskan untuk menjaga dua anak anjing yang baru disapih." Imo, yang tidak terima, langsung membalas. "Aku bukan anjing! Aku Imo Fargan, petualang terhebat! Lagipula, Nona Ariel, aku dengar kau hanya pandai bersembunyi di pohon!" Perdebatan kekanak-kanakan itu membuat Ikaeda menghela napas, ia sudah bisa melihat betapa rumitnya misi ini. Namun, di balik rasa pesimis, ada sedikit rasa penasaran. Mungkin, hanya mungkin, tim yang aneh ini tidak akan seburuk yang ia bayangkan.

Debat kecil tentang siapa yang paling merepotkan akhirnya berakhir, dan tim yang tidak lazim itu pun memulai perjalanan mereka menuju perbatasan timur. Ikaeda memimpin di depan dengan langkah gontai yang khas, Imo Fargan berjalan di sampingnya dengan pedang tersarung dan semangat yang meluap-luap, sementara Ariel mengikuti dari belakang, matanya yang tajam mengawasi sekeliling hutan. Ayunda, yang memperhatikan siluet ketiga prajurit itu menjauh hingga menghilang ditelan pepohonan, hanya bisa menghela napas panjang. "Semoga para dewa melindungi mereka. Terutama Ikaeda," gumamnya pelan, lalu berbalik kembali ke lapangan latihan, hatinya dipenuhi campuran harapan dan kekhawatiran.

Perjalanan itu segera berubah menjadi episode komedi yang tidak disengaja. Di permukaan, Ariel terlihat seolah-olah ia jengkel dengan dua prajurit di depannya, namun jauh di lubuk hatinya, ia sebenarnya merasa gemas. Ada daya tarik yang aneh dari sifat pesimis Ikaeda yang pura-pura lemah dan tingkah Imo yang terlalu bersemangat. Ia memutuskan untuk menghabiskan perjalanan dengan bercerita, sebuah taktik untuk mengusir keheningan yang ia rasakan terlalu canggung.

"Jadi," Ariel memulai, suaranya tenang, "di hutan tempatku biasa berburu, ada seorang troll yang sangat konyol. Dia selalu mencuri kaus kaki para prajurit yang lewat. Bukan perak, bukan emas, tapi kaus kaki bau." Ikaeda hanya menoleh sedikit, mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya mengangguk sekali, mengakui cerita itu. Ia lebih suka menjadi pendengar. "Kaus kaki? Troll itu pasti punya masalah hidung yang serius," komentar Imo, tertawa geli. "Kenapa dia tidak mencuri pedang saja? Itu lebih berharga daripada kaus kaki buluk prajurit!"

Ariel melanjutkan, menceritakan pengalamannya berhadapan dengan makhluk-makhluk hutan yang lebih aneh daripada menakutkan. "Suatu kali, aku harus bersembunyi selama tiga hari hanya karena aku tidak sengaja memotong janggut seorang kurcaci penyihir saat aku menguji busur baruku. Kurcaci itu mengejarku sambil mengutukku akan menjadi marmut!" Ekspresinya tetap datar, namun ceritanya lucu. Ikaeda, meski masih pendiam, kali ini mengangguk dua kali.

Imo, tentu saja, selalu punya komentar. "Hahaha! Marmut? Kau harus hati-hati, Ariel. Mungkin rambutmu yang cantik itu sudah mulai berubah jadi bulu cokelat!" goda Imo, mengabaikan tatapan tajam yang dilemparkan Ariel ke arahnya. "Oh, benarkah, Imo Fargan?" balas Ariel, suaranya terdengar dingin. "Aku yakin kalau kau jadi marmut, kau akan jadi marmut yang paling berisik dan paling mudah dimangsa oleh elang. Paling tidak, aku akan menjadi marmut yang pandai bersembunyi."

Ikaeda, yang selama ini hanya menyimak, tiba-tiba mengeluarkan suara tawa kecil yang hampir tidak terdengar, membuat Imo dan Ariel terkejut. Tawa itu menghilang secepat kilat, dan ia kembali ke ekspresi datarnya. "Mungkin... kita harus lebih fokus pada misi, ya?" usul Ikaeda, sedikit malu karena telah mengeluarkan suara. Ariel dan Imo bertukar pandang. Tawa singkat itu, meskipun kecil, adalah pengakuan bahwa Ikaeda sebenarnya terhibur. Mereka berdua menyadari, di balik sifat malas dan pesimisnya, Ikaeda adalah rekan yang bisa diajak bekerja sama, meski dengan cara yang sangat sunyi.

Setelah berjam-jam menyusuri jalur setapak yang berkelok-kelok di antara rimbunnya hutan, kelompok itu akhirnya tiba di sebuah kota kecil. Suasana di kota itu jauh dari kata tenang; sebuah hiruk pikuk yang bising berasal dari alun-alun utama. Ketika mereka mendekat, terlihat jelas alasannya: sedang ada turnamen gladiator yang ramai. Ariel, dengan naluri petualangnya, langsung bersemangat. "Lihat! Ada gladiator! Ayo kita lihat sebentar," ajaknya, menarik lengan Ikaeda yang masih tampak enggan.

Mereka berhasil mencapai barisan bangku penonton. Pemandangan itu memukau: debu beterbangan, dentingan baja beradu, dan sorak-sorai penonton. Ariel dan Imo segera terkesima, mata mereka mengikuti setiap gerakan di arena. Imo berseru, "Wah, lihat teknik pedang orang itu! Kelihatannya cukup bagus, tapi masih lebih lambat dari Ikaeda, tentu saja." Sementara itu, Ikaeda hanya terpukau dalam diam. Wajahnya tidak menunjukkan kegembiraan, hanya intensitas yang dingin saat ia mengamati setiap detail pertempuran, kenangan traumatisnya di arena gladiator benua seberang berkelebat di benaknya.

Tak lama kemudian, seorang panitia yang bertubuh tambun mendekati mereka, melihat seragam dan jubah mereka yang tampak asing. "Selamat datang, para pejuang! Kalian terlihat kuat. Minat untuk ikut serta dalam turnamen kami? Hadiahnya lumayan besar!" tawar panitia itu dengan senyum lebar. Ariel segera memasang tampang tegas. "Kami tidak ikut. Saya dan kedua anak kecil ini hanya sedang jalan-jalan dan menonton saja," tolak Ariel, menunjuk Ikaeda dan Imo dengan sedikit penekanan pada 'anak kecil'.

Namun, sebelum panitia itu sempat berbalik, suara Ikaeda yang jarang terdengar memotong. "Tunggu. Saya mendaftar."

Ariel dan Imo langsung terkejut. Imo sampai tersedak ludahnya sendiri. "Apa?! Ikaeda, kau serius?" tanyanya tak percaya. Ariel segera menarik lengan Ikaeda dengan kuat. "Kau gila? Kau bilang kau tidak mau lagi melukai orang! Kita punya misi, Ketua! Kita harus fokus!" Panitia itu tersenyum puas, siap mencatat namanya. Ikaeda sama sekali tidak menghiraukan keterkejutan mereka. Ia menatap ke arena dengan ekspresi yang tak terbaca, matanya lebih gelap dari biasanya.

Ikaeda menoleh pada mereka, matanya dipenuhi tatapan serius yang jarang ia tunjukkan. "Aku merasakan hal yang aneh di sini. Bukan hanya suasana kompetisi biasa. Ada sesuatu... yang mengganggu," jelasnya pelan, suaranya rendah dan meyakinkan. "Aku harus mendaftar. Aku harus melihat sejauh apa ini akan bertahan dan apa yang tersembunyi di balik keramaian ini." Ariel masih mencoba menariknya menjauh. "Tidak, Ikaeda, jangan konyol! Kita tidak punya waktu untuk ini!"

Imo Fargan melangkah maju, tangannya menahan Ariel yang sedang panik. "Ariel, tenanglah," ujar Imo, matanya menatap Ikaeda sejenak sebelum beralih ke Ariel. "Kalau Ikaeda berkata ada yang aneh, percayalah padanya. Naluri si 'Death Prince' ini jarang salah, bahkan saat dia berpura-pura malas. Biarkan dia melihat apa yang ada di balik tirai. Kita akan mengawasinya dari sini. Dia pasti bisa." Ariel menggigit bibir, menghela napas pasrah, dan melepaskan cengkeramannya pada Ikaeda, memberinya tatapan memperingatkan. Ikaeda mengangguk singkat, sebuah janji tanpa kata, lalu berbalik dan menyerahkan namanya kepada panitia.

Saat Ikaeda melangkah menuju pintu masuk arena, Ariel segera menyusulnya, wajahnya menunjukkan campuran kekhawatiran dan rasa frustrasi. Ia mencengkeram lengan Ikaeda dengan ekspresi serius. "Dengar baik-baik, Pangeran Kematian! Aku tidak peduli kau punya firasat apa, tapi kau tidak boleh mati! Kita punya misi, dan aku tidak mau disalahkan oleh Ayunda karena membiarkanmu melakukan hal bodoh!" ancam Ariel, nadanya terdengar seperti seorang ibu yang memarahi anaknya.

Ikaeda menoleh, dan senyum sinis yang jarang terlihat terukir di wajahnya yang tampan. "Mati? Jika itu terjadi, Ariel, maka aku akan sangat senang," jawab Ikaeda dengan nada datar yang mengerikan, seolah kematian adalah hadiah yang paling ia dambakan. Jawaban itu membuat Ariel terperangah. Imo hanya bisa menghela napas berat. "Astaga, Ikaeda, bisakah kau tidak membuat kami khawatir sebentar saja?" gerutu Imo. Ariel kembali menggerutu pelan, memukul bahu Ikaeda pelan.

Melihat kekesalan Ariel, Imo tersenyum kecil. "Ariel, kau ini seperti kakak kami saja," celetuk Imo. Ariel, yang biasanya cepat membantah, kali ini diam sejenak. Ia menyilangkan tangan di dada dan mengamati Imo dan Ikaeda. "Memang benar. Kalau kalian bersikap bodoh seperti ini, aku merasa aku adalah kakak tertua kalian yang harus memastikan kalian berdua tidak tersangkut di dahan pohon atau tenggelam di genangan air. Anggap saja ini bagian dari misiku," jawab Ariel akhirnya, nadanya melunak. Ia tidak menolak peran sebagai pelindung, sebuah pengakuan diam-diam bahwa ia telah menerima kedua prajurit aneh itu sebagai 'adik' yang harus ia jaga.

Tak lama kemudian, nama Ikaeda dipanggil. Ia memasuki arena dengan langkah malas, jubah hitam Kingsguards-nya berkibar pelan, kontras dengan pakaian pertempuran cerah yang dikenakan oleh lawannya. Lawannya adalah seorang pria berbadan besar dengan kapak, namun matanya terlihat gugup dan gerakannya kaku. "Lawannya tidak terlihat berpengalaman," bisik Ariel dari bangku penonton.

Awalnya, Ikaeda terlihat waspada. Ia mengangkat pedangnya, mengambil posisi bertahan yang sempurna, siap menghadapi serangan yang datang. Namun, ketika lawannya mulai bergerak, polanya terlihat jelas: lambat, mudah ditebak, dan sangat gugup. Setelah mengamati beberapa ayunan kapak yang nyaris meleset, Ikaeda akhirnya beralih menjadi lebih menahan diri, hanya mengelak tipis-tipis, membiarkan kapak lawannya mengenai udara kosong.

"Lihat itu," komentar Imo, menyandarkan siku ke pagar arena. "Dia sudah bosan. Dia hanya memainkan lawannya." Ariel mengangguk, matanya menyipit. "Dia menahan diri," tegas Ariel. "Gerakannya sangat efisien, hampir tidak ada energi yang terbuang. Dia bisa saja mengakhirinya dalam satu tebasan, tapi dia tidak mau. Dia hanya melakukan apa yang harus dia lakukan untuk menang, tanpa melukai serius. Ini adalah Ikaeda yang kita lihat di masa lalu. Aku lega dia masih menepati janjinya." Imo tersenyum. "Kau lihat? Aku bilang juga apa. Dia pasti bisa."

1
Fairuz
semangat kak jngan lupa mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!