SINOPSIS
Nara dan Ingfah bukan sekadar putri pewaris takhta Cankimha Corp, salah satu konglomerat terbesar di Asia. Di balik kehidupan mewah dan rutinitas korporasi mereka yang sempurna, tersimpan masa lalu berdarah yang dimulai di puncak Gunung Meru.
Tujuh belas tahun lalu, mereka adalah balita yang melarikan diri dari pembantaian seorang gubernur haus kuasa, Luang Wicint. Dengan perlindungan alam dan kekuatan mustika kuno keluarga Khon Khaw, mereka bertahan hidup di hutan belantara hingga diadopsi oleh Arun Cankimha, sang raja bisnis yang memiliki rahasianya sendiri.
Kini, Nara telah tumbuh menjadi wanita tangguh dengan wibawa mematikan. Di siang hari, ia adalah eksekutif jenius yang membungkam dewan direksi korup dengan kecerdasannya. Di malam hari, ia adalah ksatria tak terkalahkan yang bersenjatakan Busur Sakti Prema-Vana dan teknologi gravitasi mutakhir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princss Halu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Balas Budi warga desa
Malam itu, Ayutthaya terasa sangat sunyi, namun di bawah permukaan tanah yang tenang, Ingfah bisa merasakan getaran air yang mulai merayap naik, bersiap untuk menerjang.
Langit Ayutthaya yang biasanya cerah perlahan berubah menjadi kelabu pekat. Awan hitam menggantung rendah, seolah-olah perut langit tidak lagi sanggup menahan beban air. Tiga hari berturut-turut, hujan turun tanpa henti, mengubah jalanan debu menjadi parit-parit lumpur yang licin.
Warga yang tadinya mencibir kini mulai gelisah. Mereka melihat permukaan sungai Chao Phraya naik dengan kecepatan yang tidak wajar.
Detik-Detik Kedatangan Air Bah
Malam itu, di rumah panggung Patan, suasana sangat tegang. Ingfah tidak bisa tidur; ia terus menggenggam batu kristal birunya yang kini berpendar lebih terang dari biasanya.
"Ayah... dia datang. Air merahnya sudah dekat," bisik Ingfah tiba-tiba. Matanya menatap ke arah utara, menembus kegelapan malam dan lebatnya hujan.
Patan tidak membuang waktu.
"Nenek, Bibi, Nara! Naik ke gerobak sekarang! Bawa semua karung yang sudah kita siapkan!"
Patan berlari keluar, berteriak memanggil Prawat dan warga lainnya.
"Tanggul utara jebol! Lari ke pohon beringin di bukit! Sekarang!"
Tiba-tiba, suara gemuruh yang mengerikan terdengar dari kejauhan—suara seperti ribuan kuda berlari. Itu adalah suara air yang menghantam apa pun di jalannya. Lampu-lampu minyak di rumah warga mulai padam satu per satu tertiup angin kencang. Dalam kegelapan total, kepanikan pecah.
"Aku tidak bisa melihat jalan!" teriak seorang warga yang skeptis tadi, kini ia menggendong anaknya sambil terperosok di lumpur.
"Tolong! Jalannya tertutup air!"
Cahaya dalam Kegelapan
Patan memacu kerbaunya dengan susah payah. Air sudah setinggi lutut manusia di jalanan desa. Di atas gerobak, Ingfah melihat orang-orang yang berteriak ketakutan di tengah kegelapan. Ia menoleh pada Nara.
"Pii Nara, bantu Fah," ucap Ingfah.
Kedua bocah itu berdiri di atas gerobak yang bergoyang. Mereka saling menggenggam tangan dan mengangkat batu kristal mereka tinggi-tinggi.
Keajaiban terjadi; dari kedua batu itu terpancar sinar yang sangat kuat—perpaduan warna biru laut dan emas yang menembus pekatnya hujan dan kabut.
Cahaya itu membentuk "jalan" yang terang menuju bukit pohon beringin yang ditunjuk Ingfah tempo hari.
"Lihat! Cahaya itu! Ikuti cahaya anak-anak itu!" teriak Prawat sambil membantu warga yang lanjut usia.
Warga yang tadinya membenci Ingfah, kini berlari mengikuti pendar cahaya dari gerobak Patan seolah-olah itu adalah satu-satunya harapan mereka untuk hidup. Air merah berlumpur mulai menyapu rumah-rumah di bawah mereka, menghancurkan bangunan kayu dengan suara berderak yang memilukan.
Ujian di Kaki Bukit
Tepat sebelum mencapai tanjakan bukit, sebuah gelombang besar menghantam bagian belakang gerobak. Kerbau Patan melenguh ketakutan.
"Ayah!" teriak Nara saat gerobak mulai miring.
Patan dengan sigap melompat ke dalam air yang deras untuk menahan roda gerobak agar tidak terbawa arus.
"Genggam terus batunya, anak-anak! Jangan berhenti berdoa!"
Dengan sisa tenaga terakhir, dan dibantu oleh Prawat serta beberapa pria yang tadi diselamatkan oleh cahaya mereka, gerobak itu berhasil didorong naik ke area yang lebih tinggi—tepat di bawah pohon beringin raksasa yang masih kering.
Beberapa menit kemudian, seluruh desa di bawah mereka telah berubah menjadi lautan lumpur merah yang ganas. Dari atas bukit, warga hanya bisa terdiam melihat rumah dan harta benda mereka hilang ditelan air.
Suasana menjadi sunyi, hanya menyisakan suara isak tangis dan deru hujan. Pria gempal yang tadinya menghina Ingfah berlutut di depan gerobak Patan, tubuhnya menggigil karena kedinginan dan penyesalan.
"Maafkan aku... maafkan aku, Nak," isaknya sambil menatap Ingfah.
Ingfah, yang tampak sangat lelah hingga wajahnya pucat, turun dari gerobak dan mendekati pria itu. Ia menyentuh dahi pria itu dengan tangan mungilnya yang hangat.
"Jangan menangis, Paman. Kita semua sudah aman sekarang."
Patan memeluk kedua putrinya dengan erat. Ia sadar, mulai malam ini, tidak akan ada lagi orang yang berani menghina Ingfah. Namun, ia juga tahu bahwa takdir sebagai "Anak Cahaya" akan membawa tanggung jawab yang lebih besar lagi setelah air ini surut.
Pohon beringin raksasa itu kini menjadi pelindung terakhir bagi puluhan warga. Di bawah naungannya yang luas, Patan dan Prawat telah membangun gubuk-gubuk darurat dari bambu dan atap rumbia. Selama satu minggu, mereka bertahan di sana sementara dataran rendah di bawah mereka masih terendam lumpur merah yang pekat.
Persediaan makanan yang dibawa Patan—berkat persiapan matang atas penglihatan Ingfah—menjadi penyelamat nyawa. Nenek Bua, Nenek Prik, dan Bibi Prang bekerja tanpa lelah. Mereka mendirikan dapur umum sederhana, mengolah gabah dan ikan kering menjadi bubur hangat untuk dibagikan kepada pengungsi yang kedinginan.
Di sebuah gubuk kecil yang dibuat khusus oleh Patan untuk keluarganya, Ingfah dan Nara duduk beristirahat. Wajah mereka masih tampak pucat; energi batin yang mereka keluarkan malam itu sangat besar.
Tiba-tiba, seorang wanita berjalan mendekat. Ia adalah istri Prawat, wanita yang pernah diselamatkan Ingfah dari gangguan roh jahat di desa. Wajahnya kini terlihat segar dan matanya jernih, penuh dengan rasa syukur.
Ia berlutut di depan kedua bocah itu, membawa dua potong kain tenun hangat yang ia selamatkan sebelum banjir.
"Nak Ingfah, Nak Nara," ucapnya lembut dengan suara bergetar.
"Terima kasih. Jika bukan karena cahaya dari kalung kalian malam itu, kami semua mungkin sudah hilang ditelan lumpur di kegelapan."
Ingfah tersenyum lemah, tangannya masih memegang batu kristal birunya yang kini terlihat sedikit redup.
"Tante sudah sehat?" tanya Ingfah polos.
Wanita itu mengangguk sambil menyelimuti bahu Ingfah dan Nara dengan kain tenunnya.
"Tante sudah sehat, Sayang. Berkat kalian, Tante bisa melihat anak-anak Tante lagi."
Ia kemudian menatap Patan yang berdiri di dekat pintu gubuk.
"Tuan Patan, anak-anak ini bukan hanya sekadar anak indigo. Mereka adalah berkah bagi Ayutthaya. Warga yang dulu mengejek, sekarang mereka malu untuk menatap mata putri Anda. Mereka semua berutang nyawa."
Patan mengangguk perlahan.
"Kami hanya melakukan apa yang benar, Nyonya. Tapi perjalanan kami masih panjang."
Istri Prawat kemudian membisikkan sesuatu yang membuat Patan waspada.
"Berhati-hatilah, Tuan. Kabar tentang 'Anak yang Membelah Kegelapan' sudah terdengar sampai ke telinga para pejabat di kota. Ada orang-orang dari istana yang mulai bertanya-tanya tentang anak bermata biru yang bisa meramal banjir."
Nara menggenggam tangan Ingfah lebih erat. Ia bisa merasakan kegelisahan ayahnya. Meskipun mereka aman dari air bah, tantangan baru mulai muncul: Perhatian dari dunia luar yang lebih luas.
Di kejauhan, permukaan air mulai menunjukkan tanda-tanda akan surut, meninggalkan jejak-jejak kehancuran yang harus segera dibersihkan.
Namun, bagi Ingfah, penglihatan baru mulai muncul dalam mimpinya—bukan tentang air, melainkan tentang orang-orang berpakaian megah yang datang mencari mereka.
Patan berdiri di tepi tebing pengungsian, menatap hamparan lumpur yang mulai mengering di bawah sana. Namun, pikirannya tidak tertuju pada harta benda yang hilang, melainkan pada peringatan istri Prawat tentang orang-orang kota.
Ia merasa ketakutan yang lebih besar daripada banjir: ketakutan bahwa putrinya akan dijadikan alat politik atau pemuas ambisi para penguasa.
Tepat saat matahari terbenam, sosok berjubah oranye terlihat mendaki bukit. Itu adalah Biksu Agung (Khun Khru). Kehadirannya yang tiba-tiba membawa keheningan di perkemahan yang riuh itu.
Setelah menyapa Patan dengan anggukan tenang, Khun Khru meminta semua warga berkumpul di bawah rindangnya pohon beringin.
"Dengarkan aku, penduduk Ayutthaya," suara Khun Khru bergema, tenang namun penuh wibawa.
"Kalian telah selamat dari amukan alam. Tapi ujian yang lebih besar sering kali datang bukan dari langit, melainkan dari lidah manusia."
Warga mendengarkan dengan khidmat.
"Kabar tentang apa yang terjadi di sini akan menyebar. Orang-orang akan datang mencari 'Anak Cahaya'. Mereka akan datang dengan janji manis, emas, atau ancaman. Tapi ketahuilah, jika cahaya anak-anak ini ditarik keluar dari kesuciannya untuk kepentingan kekuasaan, maka cahaya itu akan padam, dan kegelapan yang lebih besar akan menyelimuti tanah ini."
Biksu Agung menatap tajam satu per satu wajah warga, termasuk mereka yang dulunya skeptis.
"Aku meminta kalian: Sembunyikan kebenaran ini.
Jika ada orang luar bertanya siapa yang menunjukkan jalan saat badai, katakanlah itu adalah bimbingan leluhur dan doa bersama. Jangan pernah sebut nama Ingfah atau Nara. Biarkan mereka tumbuh sebagai anak-anak biasa di bawah perlindungan kita semua."
Prawat adalah orang pertama yang maju dan bersimpuh.
"Hamba mengerti, Khun Khru. Hamba berjanji dengan nyawa hamba. Istri hamba hidup kembali karena mereka, dan hamba tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh atau memanfaatkan mereka sebagai alat."
Warga lainnya, yang merasa berutang nyawa, mulai mengangguk dan bersumpah satu per satu.
Mereka menyadari bahwa melindungi Ingfah dan Nara adalah cara mereka membalas budi.
Patan merasa sedikit lega, namun ia melihat Khun Khru mendekatinya secara pribadi setelah pertemuan itu.
"Patan," bisik Khun Khru.
"Warga mungkin bisa diam, tapi energi yang dipancarkan Ingfah sudah terlanjur bergetar ke angkasa. Orang-orang berilmu tinggi di istana akan merasakannya. Kau harus mulai mengajari Ingfah cara 'menyembunyikan' matanya."
Patan memandang Ingfah yang sedang tertidur lelap di pangkuan Nara. Mata biru itu adalah anugerah sekaligus sasaran empuk.
"Bagaimana caranya, Khun Khru? Dia masih terlalu kecil untuk mengerti tipu daya manusia," tanya Patan cemas.
"Bawa dia kembali ke kuil setelah air benar-benar surut. Aku akan mengajarinya teknik Kambang—bukan untuk menghilang dari pandangan mata, tapi menghilang dari radar batin orang-orang jahat," jawab Biksu Agung.
Patan mengepalkan tangannya. Ia bersumpah dalam hati, meski harus hidup dalam persembunyian selamanya, ia tidak akan membiarkan satu pun bangsawan atau penguasa menyentuh rambut putrinya untuk dijadikan pemuas ambisi mereka.