NovelToon NovelToon
Seribu Hari Mengulang Waktu

Seribu Hari Mengulang Waktu

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Time Travel / Sistem / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat
Popularitas:982
Nilai: 5
Nama Author: Aplolyn

"Tuan Putri, maaf.. saya hanya memberikan pesan terakhir dari Putra Mahkota untuk anda"
Pria di depan Camilla memberikan sebilah belati dengan lambang kerajaan yang ujungnya terlihat begitu tajam.
.
"Apa katanya?" Tanya Camilla yang tangannya sudah bebas dari ikatan yang beberapa hari belakangan ini telah membelenggunya.
"Putra Mahkota Arthur berpesan, 'biarkan dia memilih, meminum racun di depan banyak orang, atau meninggal sendiri di dalam sel' "
.
Camilla tertawa sedih sebelum mengambil belati itu, kemudian dia berkata, "jika ada kehidupan kedua, aku bersumpah akan membiarkan Arthur mati di tangan Annette!"
Pria di depannya bingung dengan maksud perkataan Camilla.
"Tunggu! Apa maksud anda?"
.
Camilla tidak peduli, detik itu juga dia menusuk begitu dalam pada bagian dada sebelah kiri tepat dimana jantungnya berada, pada helaan nafas terakhirnya, dia ingat bagaimana keluarga Annette berencana untuk membunuh Arthur.
"Ya.. lain kali aku akan membiarkannya.."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

~ Bab 8

Keesokan harinya, lonceng istana berdentang panjang. Para bangsawan dari seluruh penjuru kerajaan berkumpul di Balai Agung. Aula berkilauan, cermin-cermin besar memantulkan cahaya lilin, dan karpet ungu terbentang dari pintu masuk hingga panggung utama.

Camilla berjalan masuk dengan gaun putihnya, kepala tegak, senyum tipis di wajah. Setiap langkahnya diiringi bisikan kagum para undangan. Mary berjalan di belakang, menahan air mata bangga.

Di ujung aula, Arthur berdiri menunggu, wajahnya tampak tenang tapi matanya dingin. Saat mata mereka bertemu, dunia seolah berhenti sejenak.

Camilla melangkah naik ke panggung. Ia menunduk sopan pada Arthur, lalu pada Raja dan Ratu.

Pejabat tinggi kerajaan membuka gulungan emas dan membacakan pengumuman. “Mulai hari ini, atas keputusan dewan dan restu kerajaan, Lady Camilla Barak ditetapkan sebagai tunangan resmi Yang Mulia Putra Mahkota Arthur.”

Tepuk tangan menggema, musik kecapi mengalun. Elenora duduk di kursinya, senyum puas mengembang di wajahnya. Leontinus menegakkan bahu, bangga, sementara Helena menyeka air mata haru.

Arthur menggenggam tangan Camilla sesuai prosesi. Genggaman itu kuat, tapi dingin, seperti logam yang ditempa api.

Camilla menatapnya balik. Senyum di bibirnya tetap anggun, tapi dalam hatinya ia berbisik, Aku tahu kau tidak menginginkan ini. Tapi aku juga tahu.. aku tidak akan kalah.

Malam itu, ketika pesta usai, Camilla berdiri di balkon paviliunnya, menatap langit bertabur bintang. Angin malam menerpa rambutnya, membawa aroma bunga musim dingin.

Mary berdiri di belakangnya. “Lady.. Anda sudah resmi menjadi tunangan Putra Mahkota. Apakah Anda bahagia?”

Camilla menutup mata sejenak, lalu menjawab lirih, “Bahagia bukan kata yang tepat, Mary. Tapi puas, ya. Aku puas.. karena setiap langkah yang kuambil membawaku semakin dekat pada tujuan.”

***

Pagi harinya, Camilla kebingungan, ia di suruh  Mary untuk mengikutinya ke suatu tempat dan berakhir di taman pusat kerajaan.

Apakah ini tempat pertemuan?

Taman pusat istana kekaisaran dapat diakses oleh bangsawan mana pun. Mengingat cuaca yang menyenangkan, banyak bangsawan menikmati taman yang terawat baik.

Namun, ketika Camilla menoleh untuk bertanya kepada Mary, ia sudah menggelar tikar piknik di sudut taman.

Saat itulah ia menyadari pelayan itu membawa perlengkapan piknik seperti tikar dan keranjang.

“Untuk apa semua ini...?” Camilla, karena kebiasaannya bersama Mary, hampir berbicara tidak sopan, tetapi segera mengoreksi dirinya sendiri.

Selama periode ini, ia tidak bisa berbicara informal bahkan kepada seorang pelayan.

Mary menghela nafas kesal, selesai menyiapkan hidangan dan menyeretnya untuk duduk di tengah.

Mary itu berbisik cepat, dekat telinganya. “Dengar baik-baik Lady, eh.. maksud saya Putri.. Duchess memutuskan untuk menyuruhmu pergi piknik karena cuacanya bagus, dan jika secara kebetulan anda bertemu Putra Mahkota, anda di perintahkan untuk membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.”

Omong kosong macam apa itu?

Jelas-jelas Arthur mencintai Annette..

Lagipula, belum saatnya aku menyingkirkan wanita itu..

“Kamu ngomong apa? Siapa?” Camilla begitu terkejut sampai lupa untuk tidak berbicara informal dan bertanya dengan nada kosong.

Mary itu mengulangi dengan lembut.

“Diamlah di sini sampai Yang Mulia lewat. Saya akan menyuruh kusir untuk kembali nanti.”

Setelah mengetakan itu, Mary pun meninggalkannya dalam keadaan setengah linglung, hanya duduk di sana, tak mampu berpikir untuk menghentikannya.

Membuat Arthur jatuh cinta? Matanya saja sudah buta sampai dia mencintai wanita yang akan membunuhnya..

Sangat tidak masuk akal..

Meski Ibu Suri mendukungnya dan mereka telah bertunangan, namun orangtua Camilla tidak bisa duduk dengan tenang, bagaimanapun juga setelah Putra Mahkota naik tahta, ada kemungkinan bahwa pria itu malah menikahi Annette.

Camilla duduk di atas tikar, jemarinya memainkan tepi gaun yang jatuh anggun di rerumputan hijau. Keranjang rotan di sampingnya dipenuhi roti, buah, dan botol anggur ringan yang jelas bukan pilihannya, melainkan susunan Mary.

Ia menghela napas panjang.

Ibu, ibu.. kau pikir semua ini permainan kanak-kanak?

Namun di balik kejengkelannya, Camilla tahu maksud sebenarnya bahwa Helena tidak ingin hanya mengandalkan status pertunangan resmi.

Ia ingin cinta Arthur terikat padanya, atau setidaknya keinginan Arthur tampak condong ke arah Camilla di mata publik. Itulah yang akan membuat posisinya tidak tergoyahkan.

Camilla menutup matanya, mencoba merasakan angin musim semi yang lembut. Taman kerajaan memang indah, jalan setapak batu berpola, patung marmer para pahlawan lama, air mancur yang memantulkan cahaya matahari.

Aroma bunga mawar dan lily bercampur, menenangkan, tapi juga menusuk dengan kepalsuan. Tempat ini dirancang bukan untuk ketulusan.. tapi untuk pertunjukan.

Langkah-langkah berat terdengar mendekat. Suara sepatu bot menghentak tanah berumput, mantap, penuh wibawa.

Camilla membuka mata. Jantungnya berdegup, bukan karena gugup, tapi karena ia tahu siapa yang akan muncul.

Arthur.

Putra Mahkota berjalan dengan jubah biru gelap, ditemani dua pengawal yang berhenti beberapa meter jauhnya. Wajahnya teduh, nyaris tanpa ekspresi.

Saat matanya menangkap sosok Camilla di atas tikar piknik, ia berhenti sejenak. Alisnya sedikit terangkat, seakan bertanya-tanya mengapa tunangannya duduk sendirian di taman seperti rakyat biasa.

“Yang Mulia,” Camilla berdiri, mengangkat sedikit gaunnya untuk memberi salam sopan. Senyum tipis menghiasi wajahnya, senyum yang sudah ia latih berkali-kali di depan cermin, tidak terlalu ramah, tidak terlalu dingin. Tepat di antara pesona dan wibawa.

Arthur menatap sekeliling, lalu kembali pada Camilla. “Apa yang kau lakukan di sini?” suaranya datar, tapi mengandung nada ingin tahu.

Camilla membuka mulut, siap memberi jawaban manis, tapi tatapan Arthur menusuknya sebelum ia sempat bicara.

“Aku tahu ini bukan keinginanmu,” katanya dingin. “Ini permainan Elenora, bukan? Dia mengirimmu ke sini, menaruh keranjang, tikar, makanan… semua demi menciptakan sandiwara ‘kebetulan’. Kau pikir aku tidak bisa melihat tali yang mengikatmu?”

Camilla menahan napas, meski tuduhan yang bahwa itu adalah permainan Ibu Suri namun sandiwara kebetulannya memang di rencanakan oleh Ibu Camilla.

Ya.. ya.. terserah padanya saja..

Dari dulu dia memang selalu sinis ketika berhadapan denganku

Arthur melanjutkan, sinis, “Aku tidak tertarik dengan wanita yang rela menjadi pion di papan catur Ibu Suri. Aku lebih menghargai seseorang yang memiliki kehendak sendiri, bukan yang hidup dari bisikan orang lain.”

Kata-katanya jatuh seperti pedang, dingin dan tak berperasaan.

Camilla menunduk sedikit, menutupi sorot matanya yang berkilat. Senyum tipis terbentuk di bibirnya, senyum yang bukan sekadar menutupi luka, melainkan janji diam-diam pada dirinya sendiri.

"Jangan berharap aku akan tertarik padamu," ucap Arthur lalu pergi meninggalkan Camilla sendiri.

Kedua pengawal yang mengikuti Arthur sempat memandangnya dengan empati, namun tetap tidak bisa membantu apapun karna mereka sendiri tahu bagaimana temperatur Putra Mahkota.

Beberapa saat kemudian, Camilla akhirnya tahu mengapa Adrian datang ke taman kekaisaran.

Di ujung sana, Duchess Vandell memegang ujung gaun mewahnya untuk memberikan penghormatan pada Putra Mahkota.

“Suatu kehormatan bertemu dengan Putra Mahkota.” ucap wanita tua itu.

Mendengar panggilan formal darinya membuat Arthur sedikit menyunggingkan senyum dan berkata, “Duchess Vandell, sudah lama sekali, saya sangat merindukan anda"

"Tolong bicaralah dengan santai. Wanita tua ini bisa terluka."

Yang di maksud Duchess Vandell adalah seorang Putra Mahkota tidak boleh berbicara sopan pada orang dengan status lebih rendah darinya.

"Bicara santai? Mana mungkin.."

Ketika Arthur membuka tangannya, Duchess Vandell tersenyum cerah dan melangkah maju, memeluknya dengan hangat, keduanya bertukar kebahagiaan.

"Astaga! Apa yang terjadi dalam lima tahun terakhir sampai kau tumbuh begitu besar? Terakhir kali aku melihatmu, kau masih tampak seperti anak laki-laki.. Sekarang kau sudah menjadi pria sejati."

Duchess Vandell tak kuasa menahan diri untuk tidak mengagumi tubuh Arthur yang kini lebih besar. Ia telah tumbuh lebih tinggi dan lebih besar selama lima tahun terakhir, dan sulit untuk mengingat kembali sosok pangeran muda yang manis seperti dulu.

“Kamu juga sudah bertambah tua.”

"Tentu saja, aku sudah tua! Kekhawatiranku terhadap Yang Mulia dan putraku setiap tahun membuat kerutan di wajahku semakin banyak."

“Tapi kamu masih cantik, jadi jangan khawatir.”

Arthur memimpin Duchess Vandell saat mereka duduk untuk berbincang, ada banyak hal yang harus mereka bicarakan setelah sekian lama.

Saat mereka menyesap teh, Duchess Vandell membuka topik yang menjadi pusat perhatiannya untuk datang kesana.

“Apakah menurutmu Camilla cantik?”

Arthur langsung menaruh cangkir tehnya.

"Astaga, pertanyaan mu mendadak sekali"

"Aku terkejut, jujur saja bahwa aku pernah bertemu dengan anak Duchess Helena itu, dan terakhir kali saya melihatnya, dia masih kecil dan kurus. Tapi sekarang, setelah lima tahun, dia sudah dewasa."

"Dia sudah tumbuh besar, ya. Penampilannya selalu cantik bahkan dulu. Dia terlihat seperti boneka, ya?"

Arthur tidak dapat mengelak, meski di condong pada Annette namun kedua wanita itu memang memiliki pesona yang indah dari wajah mereka.

"Benar. Tapi aku tidak..."

Duchess Vandell tampaknya memahami pikiran Arthur dan tersenyum lembut setelah menyesap teh.

"Tidak papa, kalian baru bertunangan, masih banyak waktu untuk kamu berfikir kembali tentang pasangan masa depan mu.."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!