Aryan, pemuda berusia 25 tahun, baru saja mendapatkan pekerjaan impiannya sebagai salah satu staf di sebuah hotel mewah, tempat yang seharusnya penuh dengan kemewahan dan pelayanan prima. Namun, di balik fasad megah hotel tanpa nama ini, tersembunyi sebuah rahasia kelam.
Sejak hari pertamanya, Aryan mulai merasakan keanehan. Tatapan dingin dari staf senior, bisikan aneh di koridor sepi, dan yang paling mencolok: Kamar Terlarang. Semua staf diperingatkan untuk tidak pernah mendekati, apalagi memasuki kamar misterius itu.
Rasa penasaran Aryan semakin membesar ketika ia mulai melihat sekilas sosok hantu lokal yang dikenal, Kuntilanak bergaun merah, sering muncul di sekitar sayap kamar terlarang. Sosok itu bukan hanya menampakkan diri, tetapi juga mencoba berkomunikasi, seolah meminta pertolongan atau memberikan peringatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENYELIDIK
Jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Suara dering bel canteen menandakan waktu istirahat makan siang. Para staf berkumpul di dapur, namun Aryan dan Rima memilih duduk di meja paling pojok, jauh dari rekan-rekan lain. Mereka sama sekali tidak menyentuh bekal makan siang mereka.
Kedua wajah mereka dipenuhi ketegangan dan kengerian sisa kejadian semalam. Mereka tahu, hotel ini bukan hanya menakutkan, tetapi juga menyimpan rahasia kelam.
"Kita harus cari tahu, Yan. Aku nggak bisa tenang," bisik Rima, tangannya gemetar saat memegang ponsel.
Aryan mengangguk. "Aku juga. Ini bukan cuma halusinasi. Ini ada hubungannya dengan hotel ini."
Dengan hati-hati, Aryan dan Rima mulai membuka peramban di ponsel mereka. Mereka memasukkan kata kunci yang spesifik: "The Grand Elegance Residency misteri" dan "Hotel [Samaran Nama Hotel] kasus lama".
Dan benar saja, tidak butuh waktu lama. Sebuah artikel berita lama muncul, tertanggal tahun 2007. Judulnya menggelegar di layar kecil itu: Kasus Pembunuhan Misterius di Hotel Mewah, Pelaku Belum Terungkap.
Mereka membaca artikel itu cepat-cepat. Isinya mengkonfirmasi: Hotel ini memang pernah menjadi lokasi kasus pembunuhan seorang wanita muda yang tragis. Jasad korban ditemukan di salah satu kamar sayap lama, dan hingga kini, identitas pelaku pembunuhan itu masih menjadi misteri yang tidak terpecahkan.
Rima menutup mulutnya. "Ya Tuhan, Yan! Jadi hantu itu... dia memang korban pembunuhan di sini!"
"Dan itu terjadi di sayap lama," tambah Aryan, pandangannya langsung tertuju pada Lantai Tujuh. "Wanita bergaun merah itu terikat di sini, di hotel ini. Bisikan 'Tolongggg aku' itu nyata."
Saat mereka sedang menyatukan kepingan misteri itu, perhatian mereka teralih. Nyonya Lia muncul dari ruang administrasi. Ia mendorong meja dorong layanan kamar yang di atasnya tertutup tudung perak mengkilap, seolah membawa hidangan khusus. Namun, ini adalah jam istirahat.
Aryan dan Rima saling pandang. Mereka tahu, Nyonya Lia tidak mungkin mengantar makanan untuk tamu pada jam ini. Apalagi, meja dorong itu bergerak ke arah lift pribadi.
Mereka melihat Nyonya Lia memencet tombol. Kali ini, tidak ada keraguan, tidak ada penyamaran. Tombol lift yang dipencet Nyonya Lia adalah tombol Lantai Tujuh.
Rasa takut seketika lenyap, digantikan oleh adrenalin penyelidikan yang kuat.
"Dia ke Lantai Tujuh," bisik Aryan. "Itu pasti sajen, Rima. Kamu lihat, dia bawa makanan."
"Kita harus lihat. Sekarang, Yan!" Rima mendorong Aryan.
Mereka berdua bangkit pelan-pelan dari meja, meninggalkan makanan mereka. Mereka berjalan secepat mungkin, menghindar dari pandangan staf lain, menuju pintu tangga darurat. Mereka tahu, lift Lia pasti berjalan lebih cepat, jadi tangga darurat adalah satu-satunya cara mereka bisa menyusul.
Mereka berlari menaiki anak tangga, melompati dua hingga tiga anak tangga. Keringat membasahi dahi mereka, tetapi mereka mengabaikannya. Lantai satu, dua, tiga... hingga akhirnya, mereka tiba di Lantai Tujuh.
Aryan dengan hati-hati mendorong pintu tangga darurat. Sesuai dugaan, pintu besi yang rantainya sudah putus itu tertutup, namun tidak terkunci.
Mereka mengintip dari celah pintu besi.
Lorong itu masih gelap, berdebu, dan dingin. Tetapi, di ujung lorong, ada cahaya. Dan di bawah cahaya itu, berdiri Nyonya Lia dan seorang wanita lain: Bu Indah, Pemilik Hotel.
Keduanya berada di depan pintu Kamar 5, tempat Kuntilanak itu muncul semalam.
Aryan dan Rima saling pandang, bingung. Kenapa Pemilik Hotel ada di sini, bersama Kepala Administrasi?
Mereka melihat Nyonya Lia meletakkan meja dorong di dekat ambang pintu Kamar 5. Kemudian, dengan gerakan yang aneh, Nyonya Lia perlahan berlutut di depan pintu kamar itu. Gerakannya terlihat aneh, hampir seperti menyembah.
Bu Indah berdiri di samping Lia, raut wajahnya serius, tidak ada lagi senyum ramah yang biasa ia tunjukkan di lobi.
Nyonya Lia mengambil piring saji dari meja dorong, lalu meletakkannya dengan hati-hati di depan ambang pintu. Itu adalah sajen makanan.
Sesaat setelah sajen diletakkan, suasana lorong menjadi mencekam. Angin dingin tiba-tiba berembus, dan dari dalam Kamar 5, perlahan-lahan, muncul sesuatu.
Pertama, yang terlihat adalah tangan berkuku panjang dan kering. Kemudian, gaun merah itu terlihat, menjulur perlahan dari dalam kamar yang gelap.
Dan kemudian, yang paling mengerikan, badan setengah wujud makhluk itu keluar. Kepalanya menunduk, diselimuti rambut. Ketika makhluk itu mengangkat wajahnya, mata yang menyala merah itu menatap lurus ke arah Nyonya Lia dan Bu Indah.
Aryan dan Rima, yang menyaksikan ritual mengerikan itu, sontak tidak bisa lagi menahan diri. Kenyataan bahwa bos mereka, pemilik hotel, adalah orang yang menyediakan sesajen untuk hantu pembunuhan yang kini menghantui sayap hotel itu, menghancurkan kewarasan mereka.
Ketakutan murni mendesak mereka. Mereka tidak lagi berpikir rasional.
"KABUR!" bisik Aryan, menarik tangan Rima.
Mereka berdua langsung berbalik dan berlari sekuat tenaga menuruni anak tangga darurat.
Suara langkah kaki mereka yang tergesa-gesa itu, meskipun berasal dari lorong darurat, ternyata tidak luput dari pendengaran Nyonya Lia.
Nyonya Lia, yang masih berlutut di depan Kamar 5, tiba-tiba memalingkan wajahnya. Wajahnya yang tadi tegang dalam ritual, kini berubah dingin, dan ia menoleh cepat ke arah pintu keluar tangga darurat.
Ia bangkit dengan gerakan yang patah, lalu berjalan cepat ke pintu besi itu. Dilihatnya pintu besi itu sedikit terbuka, dan rantai gemboknya sudah terlepas dan menggantung.
Nyonya Lia melihat ke dalam lorong tangga darurat. Tidak ada siapa-siapa. Namun, ia tahu. Seseorang baru saja melihat semuanya. Wajahnya kini menjadi ekspresi dingin dan berbahaya, tanpa sedikit pun keramahan yang biasa ia tunjukkan pada stafnya.
Nyonya Lia menatap ke bawah, ke arah tangga darurat yang gelap, menyadari bahwa rahasia utama hotel itu mungkin baru saja terbongkar.
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Shift kerja berakhir. Aryan dan Rima berjalan beriringan menuju area loker dengan perasaan yang campur aduk. Rasa takut setelah melihat ritual sajen di Lantai Tujuh kini bercampur dengan desakan untuk mendapatkan penjelasan. Mereka harus menghadapi Nyonya Lia sebelum mereka pulang.
Mereka menemukan Nyonya Lia sedang merapikan meja administrasi, wajahnya terlihat tenang dan profesional, seolah jam istirahat tadi tidak diisi dengan ritual pemanggilan hantu.
Aryan dan Rima saling pandang, menguatkan diri. Aryan, yang biasanya lebih berani, maju selangkah.
"Nyonya Lia, maaf mengganggu. Kami ada yang ingin ditanyakan," ujar Aryan, berusaha menjaga suaranya tetap formal dan tidak menuduh.
Nyonya Lia mengangkat wajahnya, memberikan senyum ramah yang selalu terasa sedikit dingin. "Ya, Aryan? Ada apa? Apakah ada masalah dengan shift malam kalian?"
Rima mengambil alih. "Bukan soal kerjaan, Nyonya. Tapi soal... Lantai Tujuh."
Ekspresi Nyonya Lia sedikit berubah, meskipun ia cepat menguasainya. Senyumnya tidak hilang, namun matanya memancarkan kewaspadaan.
"Lantai Tujuh? Ada apa dengan lantai itu, Rima? Bukankah sudah saya jelaskan, itu area terlarang karena perbaikan dan kabel yang rusak?" tanya Nyonya Lia, nadanya santai dan sedikit menenangkan, seolah sedang berbicara dengan anak kecil yang penasaran.
Aryan memberanikan diri. "Tapi, Nyonya. Kami tadi... kami melihat Anda di sana. Tadi siang, saat jam istirahat. Kami melihat Anda masuk ke Lantai Tujuh. Bukankah Anda sendiri yang melarang keras kami untuk ke sana?"
Nyonya Lia tertawa kecil, tawa yang terdengar janggal di keheningan lobi. Ia melipat tangannya di dada.
"Astaga, Aryan. Jadi ini yang kalian ributkan? Kalian berdua ini ternyata sangat usil, ya. Kalian mengintip? Sudah saya bilang itu area perbaikan, dan kalian melanggar larangan itu?" Nyonya Lia membalikkan situasi, membuat Aryan dan Rima merasa bersalah.
Rima terlihat cemas. "Bukan begitu, Nyonya. Kami hanya..."
"Tidak perlu banyak alasan, Rima," sela Nyonya Lia, kini nadanya lebih tegas, namun tetap terdengar ramah di telinga orang lain. "Tentu saja saya harus ke sana. Saya Kepala Administrasi hotel ini. Saya yang bertanggung jawab memastikan teknisi bekerja dengan benar dan perbaikan berjalan lancar. Saya masuk untuk mengawasi. Saya tidak mungkin menyuruh kalian masuk ke area berbahaya seperti itu, kan? Itu tugas saya, bukan tugas kalian."
Nyonya Lia mengambil jeda sejenak, tatapannya menyapu wajah Aryan dan Rima.
"Masalahnya, kalian yang melanggar larangan itu. Saya harap ini yang terakhir. Jika saya tahu kalian mengintip atau mencoba mendekati Lantai Tujuh lagi, saya terpaksa harus mengambil tindakan yang lebih serius. Hotel ini tidak mentolerir staf yang melanggar prosedur keselamatan. Paham?"
Nyonya Lia menutup argumennya dengan senyum dan anggukan. Ia menjawab semua pertanyaan mereka dengan logis dan lantang, seolah-olah ia sama sekali tidak melakukan ritual menyeramkan dengan sajen dan hantu bergaun merah. Ia berhasil menutupi semuanya.
Aryan dan Rima hanya bisa mengangguk pasrah. Mereka tahu apa yang mereka lihat, tetapi mereka tidak memiliki bukti, dan mereka tidak bisa menuduh tanpa konsekuensi kehilangan pekerjaan.
"Paham, Nyonya Lia," jawab Aryan pelan.
"Bagus. Sekarang, cepat pulang. Kalian sudah bekerja keras hari ini," tutup Nyonya Lia, kembali fokus pada meja kerjanya, seolah konfrontasi itu hanyalah obrolan kecil tentang prosedur.
Aryan dan Rima berjalan gontai ke loker. Setelah mengganti seragam, mereka berjalan ke luar hotel. Mobil penjemput sudah menunggu Aryan, tetapi Rima yang pulang menggunakan transportasi umum.
"Aku ikut kamu sampai halte bus, Yan," bisik Rima.
Di trotoar yang sepi, mereka berjalan berdampingan, pikiran mereka dipenuhi kebingungan.
"Dia bohong, Yan," ujar Rima, suaranya pelan dan putus asa. "Dia bohong! Itu bukan teknisi, itu sajen. Dan hantu itu... dia nyata. Itu yang membunuh korban di tahun 2007."
"Aku tahu, Rima. Aku juga tahu," Aryan menghela napas berat. "Tapi kita tidak bisa bilang apa-apa. Dia membalikkan situasi. Dia bilang kita yang melanggar, dan dia hanya menjalankan tugas. Kita tidak punya bukti, Bim. Kita tidak bisa menuduh pemilik hotel melakukan ritual sesajen."
Rima menatap ke gedung hotel yang menjulang tinggi, di mana Lantai Tujuh disamarkan oleh kegelapan. "Kenapa mereka melakukan itu? Kenapa mereka malah merawat hantu pembunuh itu? Kenapa hotel ini tetap beroperasi seperti biasa?"
"Mungkin... mungkin hotel ini butuh dia," ujar Aryan, sebuah teori mengerikan muncul di benaknya. "Mungkin kesuksesan, kemewahan hotel ini... bergantung pada wanita bergaun merah itu. Entah sebagai penjaga, atau sebagai tumbal. Aku tidak tahu, Rima."
Mereka tiba di halte. Bima sudah menunggu Aryan di dalam mobil, menatap mereka dari jauh.
"Aku harus pulang, Yan. Kamu juga," kata Rima. "Tapi aku bingung. Aku takut. Aku mau berhenti kerja, tapi aku butuh uang ini. Dan kalau aku berhenti, aku yakin Nyonya Lia akan curiga."
"Aku juga takut, Rima," balas Aryan. "Tapi aku lebih takut kalau aku berhenti, aku enggak akan dapat pekerjaan secepat ini lagi. Kita sudah lihat semuanya. Kita punya rahasia paling berbahaya di hotel ini. Kita harus pura-pura tidak tahu, kerja seperti biasa, dan mencari jalan keluar pelan-pelan."
Aryan menatap Rima, wajahnya penuh kekhawatiran. "Kita harus berhati-hati. Jangan pernah bicara Lantai Tujuh lagi, bahkan kepada Danu dan yang lain. Ini hanya rahasia kita berdua. Dan jangan pernah naik tangga darurat lagi."
Rima mengangguk. "Aku setuju. Tapi aku masih bingung, Yan. Kenapa Bu Indah juga ada di sana? Dia kan Pemilik Hotel."
"Itu berarti hantu itu adalah rahasia terbesar hotel ini, Rima. Rahasia yang dijaga oleh pemiliknya sendiri," Aryan menyimpulkan, nadanya semakin yakin.
Ia menyalami Rima, lalu berjalan ke mobil. Rima melihat Aryan masuk ke mobil mewah penjemput hotel. Meskipun ia sudah aman di dalam mobil, Aryan tahu, ia kini bekerja di neraka berbalut kemewahan. Ia terikat pada kontrak yang menjanjikan gaji besar, namun juga mengikatnya pada takdir seorang wanita bergaun merah di lantai terlarang. Ia harus terus berpura-pura, bekerja, dan mencari tahu apa yang bisa ia lakukan untuk melepaskan diri dari kontrak dan rahasia mengerikan itu.